SASTRA, Sinkap.info – Hari ini adalah hari yang bahagia bagi Zania Suhaila yang kerap dipanggil dengan nama Aila. bagamana tidak! gadis berusia dua puluh dua tahun itu, siang ini dilamar oleh seorang pemuda yang soleh pujaan hatinya. Pria tampan itu bernama Hamdan.
Hati Aila berbunga-bunga seumpama kuntum yang mekar di pagi hari. Ia tak berhenti tersenyum kecil sendirian di dapur. Sesekali Aila terdengar seperti bernyanyi pelan seakan tergambar jelas rasa bahagia di wajahnya, maklumlah sebagaimana gadis lainnya yang selalu riang ketika berada dalam pinangan.
Aila begitu bersemangat, Aila terus saja mempersiapkan beberapa gelas minuman dan kue-kue yang akan dihantar ke ruangan depan sebagai persembahan menjamu tamu yang tak lain adalah Hamdan dan keluarganya yang sedang bercakap-cakap bersama ayah dan ibu Aila.
Pembicaraan dua keluarga ini telah selesai dan lamaran ini pun tampaknya sudah disetujui oleh pihak keluarga Aila. Mengetahui ini Aila terlihat senang karena itu artinya tak lama lagi ia dan Hamdan akan bersatu seperti yang selalu diimpikan oleh Aila selama ini.
Hamdan adalah pemuda yang baik dan taat ibadahnya. Aila sudah lama mengenal Hamdan. Aila bertemu Hamdan di suatu acara yang di selenggarakan remaja mesjid ketika itu dan sejak itu pula yang membuat mereka saling mengenal lebih dekat.
Hamdan juga merupakan seorang guru honorer di salah satu madrasah tsanawiyah yang ada di kampung itu, sedangkan Aila hanya seorang gadis sederhana. Sehari-hari Aila berperan sebagai staf pengajar di TK Islam yang tak jauh dari rumahnya.
Sesama pendidik keduanya memang sangat serasi, komunikasi mereka selalu nyambung dan ditambah lagi yang satu tampan, soleh serta yang satu lagi cantik rupawan dan juga baik akhlaknya.
Pada malam harinya, orang tua Aila berbincang-bincang di ruang tamu.
“Bu! sudah saatnya Aila tahu yang sebenarnya,” cetus Wahab ayah Aila.
“Tidak Pak! tak usah kau beritahukan itu pada Aila sekarang,” pinta Arpah yang juga ibu Aila.
Tiba-tiba sepotong pembicaraan ayah dan ibunya itu terdengar oleh Aila di balik pintu kamarnya. Dalam hati Aila, ia tak mengerti apa yang sedang dibicarakan oleh Ayah dan ibunya, makanya Aila berusaha mendengar lagi dengan cermat percakapan mereka.
Sedangkan di ruang tamu pembicaraan orang tua Aila tetap saja berlanjut.
“Jangan sekarang Pak! Ibu khawatir bahwa Aila akan meninggalkan ibu,” rayu arpah pada suaminya.
“Bu! Aila berhak tahu siapa orangtua kandungnya yang sebenarnya, sampai kapan kita akan merahasiakan ini darinya, lagi pula apa Aila tidak akan curiga mengapa aku tidak bisa menjadi wali nikahnya nanti,” tegas Wahab pada istrinya
“Aku juga sayang pada Aila Bu! aku bahkan menyayanginya lebih dari nyawaku sendiri, Aila adalah anakku meski bukan anak kandungku, namun aku takut Aila kecewa jika kita tak memberitahukan yang seharusnya pantas ia ketahui.” Wahab melanjutkan perkataannya dengan suara yang bergetar seiring dengan matanya yang berlinang.
Sebagai istri, Arpah hanya tertunduk diam dan sesekali terdengar isak tangisnya seraya berkata.
“Apakah Bapak juga harus menceritakan pada Aila bahwa ia adalah anak dari korban pemerkosaan?” tanya Arpah pada suaminya itu.
Wahab hanya terdiam dengan tangisnya yang tak bersuara itu.
Sementara dari balik pintu kamar, Aila mendengar semuanya, dadanya bergetar, napasnya berguncang bagai orang yang terkena asma. bulir-bulir air matanya berjatuhan mengalir membasahi pipi hingga ke tepian kerudungnya. Baru saja hati Aila bahagia tadi siang, tapi kini rasa bahagia itu telah hilang dan sirna seperti sebuah lukisan di atas pasir pantai yang terhapus karena gerusan ombak.
Aila keluar dari kamarnya, ia berjalan menghampiri kedua orangtua angkatnya itu. Sontak saja Wahab serta Arpah terperanjat melihat Aila berdiri tak jauh di sela pembicaraan mereka.
Aila tetap berdiri menatap kedua orangtua angkatnya itu dan tak lama Aila langsung mendekat dan memeluk wanita yang selama ini Aila anggap sebagai ibu kandungnya sendiri lalu kedua wanita yang saling menyayangi itu tenggelam dalam riuh tangis kesedihan.
“Maafkan Ibu Aila,” ucap Arpah dengan tangisnya dalam pelukan itu.
“Tidak Bu! ibu tak perlu minta maaf, Aila akan selalu jadi anak ibu, iya kan Bu?” Aila meraung dalam pelukan Arpah.
Arpah mengangguk-anggukan kepalanya seusai mendengar permintaan Aila. Lalu Arpah menciumi kening dan kedua pipi anak yang disayanginya itu hingga pelukan mereka terlepas dan Arpah meminta Aila untuk duduk disampingnya.
“Ayah! Aila mohon berceritalah! ceritakan semua yang ayah tahu tentang orangtua kandung Aila, Aila mohon Ayah!” pinta Aila pada Wahab.
Kemudian Wahab mulai bercerita sesuai dengan permintaan Aila dan ia berkata.
“Baiklah Aila, ayah akan ceritakan semuanya, ujar Wahab pada Aila.
“Semenjak kami mulai menikah, kami adalah pasangan yang sulit untuk mendapatkan keturunan, kami selalu merasa kesepian di rumah ini, terutama ibumu yang kerap murung sendiri saat ayah pergi bekerja.
“Hari-hari yang kami lalui sering dibelenggu kesunyian, tak ada tangisan bayi, tak ada suara anak-anak yang mengisi waktu kami di rumah ini.
“Suatu hari kami memutuskan ingin mengadopsi seorang anak untuk menghapus ras sepi itu, namun tak ada seorang anak pun yang berhasil kami adopsi. Sampai suatu ketika, ibumu bercerita pada temannya yang bernama Ratna di Kota Medan dan melalui Ratna inilah kami bertemu denganmu”
“Kabar gembira dari Ratna ini membuat kami pergi ke kota Medan, Namun sudah sebulan kami menunggu pada waktu itu, tapi Ratna tak jua mempertemukan kami dengan ibu kandungmu yang sebelumnya telah berjanji menyerahkan mu pada kami.
“Hari berganti Hari hingga ibumu jatuh sakit karena kecewa dan begitu berharap. Ibumu ini masuk rumah sakit kala itu. Di saat-saat rasa sakitnya, tiba-tiba suara tangisan bayi telah membuat ibumu bangun dari sakitnya. Di sana kami bertemu Ratna bersama seorang wanita yang sedang menggendong bayi perempuan yang cantik dan lucu. Saat itu kami begitu gembira sekali melihat bayi perempuan yang masih berusia tiga bulan itu.
“Ibu kandungmu bernama Ariska dan ia bermohon agar kami tak menceritakan semua tentang dia padamu sampai kapan pun dan semua itu menjadi sebuah rahasia yang tersimpan rapi selama ini.” Wahab menceritakan kisah masa lalu pada Aila.
“Ayah! Apa benar aku ini adalah anak dari hasil pemerkosaan?” tanya Aila pada ayah angkatnya itu dengan rasa sungkan.
Wahab menghela napas panjang seakan begitu berat Wahab menjawab pertanyaan Aila ini, tapi Wahab terus bercerita.
“Menurut cerita Ratna, Ariska dulunya bekerja sebagai pelayan restoran di Kota Medan. Ariska kerap pulang malam karena pekerjaannya itu. Sampai suatu ketika, hari naas itu terjadi, Ariska di culik dan disekap beberapa minggu lalu ia diperkosa oleh teman seprofesinya sendiri karena kesal bahwa Ariska pernah menolak mentah-mentah cinta temannya itu.
“Aku juga mendengar bahwa si pemerkosa itu tak lama di tangkap polisi hingga akhirnya ia mati di penjara. Sebulan kemudian, Ariska terkejut bahwa dirinya hamil akibat pemerkosaan itu dan karena malu maka ibu kandungmu menyerahkanmu pada kami.
“Kau tahu Aila, setelah kami mengadopsimu kami merasa bahagia sekali. Kami sengaja menetap di kota Medan selama dua tahun lamanya sebelum membawamu kembali ke rumah ini, semua itu bertujuan agar tak ada orang di sini yang curiga bahwa kau bukanlah anak kami.
“Kami berdua telah berjanji bahwa kami akan membesarkan mu dengan rasa cinta dan kasih sayang, meskipun kami punya anak kandung sendiri nantinya namun rasa kasih dan sayang padamu tak akan pernah berubah,” ujar Wahab mengingat kembali janjinya bersama sang istri pada dua puluh dua tahun yang lalu.
“Aila! kini kau sudah tahu yang sebenarnya bahwa kami bukanlah orang tua kandungmu, tapi ayah dan ibu berharap jangan pernah menghapus rasa sayangmu pada kami,” pinta Wahab pada anak angkatnya itu.
“Benar Aila, walaupun kau bukanlah anak yang lahir dari rahim ibu, tapi hati ibu selalu menyayangimu, nak!” Mata Arpah semakin basah dengan sebutir air bening yang hendak jatuh dari kelopak matanya.
“Ibu tak ingin kau selalu bersedih begini Aila!” ucap Arpah pada Aila sambil mengusap dan menyeka air mata yang berjatuhan di pipi Aila.
“Sekarang tidurlah, Aila! malam sudah semakin larut,” suruh Arpah pada Aila.
Aila hanya mengangguk perlahan sembari beranjak dan kembali ke kamar tidurnya.
Malam terus semakin larut, detak sang waktu terdengar dari jarum jam yang berjalan dan berganti. Sedangkan hati Aila malam ini tengah dirundung gelisah. Aila sulit sekali memejamkan matanya, rupanya kenyataan yang ia dengar sangatlah menyakitkan, perih dan menikam di ulu hatinya. Kini Aila menyadari bahwa jasadnya lahir ke dunia ini, bukanlah berdasarkan cinta kedua orang tuanya.
Pahit memang ketika Aila mengenang semua itu. Tapi apa boleh buat karena itulah takdir dirinya yang harus Aila terima. Aila juga berpikiran pasti Tuhan punya maksud dan tujuan, mengapa ia dilahirkan kedunia ini dengan cara seperti itu.
Di sela keresahannya, Aila kemudian berwudhu dan langsung melaksanakan sholat tahajjud. Selesai sholat Aila berdoa dengan kedua tangannya yang terbuka.
“Ya Allah ya Rabb …! andai di dalam jasadku, ada darah yang mengalir dari sebuah perbuatan yang tak halal, namun ijinkan aku bermohon padamu agar KAU selalu mengampuni dosa kedua orangtua kandungku.
“Ya Allah …! sungguh aku tak mengerti tentang semua ini, namun aku ikhlas atas takdir hidup yang telah ENGKAU tuliskan padaku, sungguh aku ikhlas.
“Ya Tuhanku …! hamba memang seorang anak yang lahir tanpa dikehendaki, Tapi seandainya hamba masih boleh meminta, usir lah rasa gelisah ini dari hati hamba dan berilah hamba ketenangan jiwa, amin …!
Tetesan air mata Aila terus mengalir dari setiap untaian doa-doa yang dipanjatkannya.
Hati Aila terasa sungguh lelah bergulat dengan pahitnya kenyataan ini dan hingga tanpa sadar Aila tertidur di atas sajadahnya dalam keadaan ia masih mengenakan mukena sampai kumandang adzan subuh menyentuh telinganya dan membangunkan ia dari tidurnya.
Tak lama Matahari mulai tampak mengabarkan datangnya pagi. Suara ayam jantan berkokok sahut-sahutan. Burung-burung berkicau riang bertengger di dahan yang basah dan berembun, cerah sekali suasana pagi itu, namun semua keindahan pagi ini belum mampu menghapus kegelisahan yang masih bertahta dalam kalbu Aila.
Hari ini Aila berniat hendak bertemu Hamdan. Aila berkeinginan agar Hamdan juga mengetahui kenyataan tentang dirinya.
Aila akan jujur pada Hamdan dan Aila juga telah siap mendengar keputusan Hamdan nanti sebagai jawaban Hamdan atas kejujuran Aila bahkan jika Hamdan memutuskan pertunangan mereka, Alia juga telah siap akan semua itu.
“Hamdan! sekarang kau tahu, siapa aku ini dan siapa orang tuaku yang sebenarnya,” kata Aila pada tunangannya itu.
“Jangan kau tanya bagaimana perasaanku padamu, cinta yang ada di lubuk hatiku tak akan pernah berubah sampai kapanpun, namun aku juga siap menerima apapun keputusanmu setelah kau mendengar semua kenyataan ini.” Aila menjelaskan perasaannya pada Hamdan.
“Aila! seharusnya kau tak perlu bertanya apa keputusanku, sebab aku tak akan pernah berubah, baik sebelum atau sesudah aku mendengar semua ceritamu,” ucap Hamdan.
Sedangkan Aila terdiam seribu bahasa dan menatap keteguhan hati tunangannya itu.
“Aila! kau tahu, aku mencintaimu tanpa syarat, jadi aku akan selalu menyayangimu walau apa dan bagaimanapun keadaanmu, kuharap kau mengerti, Aila”
“Hamdan! aku paham kau akan selalu bisa menerimaku, tapi bagaimana dengan keluargamu, apa mungkin mereka juga mau menerimaku setelah nanti mereka tahu bahwa aku ini seorang anak yang lahir dari hasil sebuah pemerkosaan,” jelas Aila dengan mata yang mulai berair.
“Jangan kau pikirkan hal itu dulu, Aila! nanti kita bicarakan semua ini pada keluargaku secara baik-baik dan semoga mereka akan dapat mengerti.” Hamdan berusaha meyakinkan kekasihnya itu.
“Hamdan! terima kasih kau telah sudi mengerti kondisiku, tapi aku mohon satu hal padamu,” ucap Aila
“Aku ingin sekali bertemu dengan ibu kandungku, aku mau ibuku hadir di acara pernikahanku nanti, jadi besok aku akan pergi ke kota Medan untuk mencari ibu, boleh kan Hamdan,” lanjut Aila lagi.
Hamdan mengagukkan kepalanya sebagi ungkapan bahwa ia setuju atas keinginan Aila itu.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Aila pergi dari rumah. Ia terus melaksanakan niat dan tujuannya untuk bertemu dengan ibu kandung nya itu. Aila sengaja tak pamit pada keluarganya namun Aila menitipkan sepucuk surat yang Aila selipkan di samping kaca hias kamarnya.
Ketika Arpah memasuki kamar Aila, Arpah terkejut bahwa Aila sudah tak ada lagi di kamarnya. Tak biasanya Aila pergi pagi-pagi sekali dari rumah. Ponsel Aila sama sekali tidak aktif. Arpah mulai khawatir atas perangai Aila ini dan di sela itu Arpah menemukan sepucuk surat dan surat itu berisi.
[“Assalamualaikum, buat Ayah dan Ibu tercinta, mohon maaf yang sebesar-besarnya dari Aila untuk Ayah dan Ibu, jika Aila terlalu lancang untuk pergi dari rumah tanpa pamit, namun semua itu Aila lakukan sebab Aila tak ingin melihat ayah dan ibu berderai air mata lagi.
[“Ayah, Ibu …! jangan bersedih, Aila pergi hanya sebentar, Aila sekedar ingin bertemu dengan wanita yang melahirkan Aila.
[“Aila ingin menatap mata wanita itu dan Aila juga ingin mendapat jawaban langsung atas pertanyaan-pertanyaan Aila agar Aila tahu dengan pasti apakah wanita yang melahirkan Aila itu benar-benar sayang pada Aila atau bahkan ia sebenarnya tak menghendaki Aila lahir ke dunia ini, sekedar itu yang ingin Aila tahu darinya ibu, ayah.
[“Untuk ibu, tahukah ibu ..! andai saja lahir itu adalah sebuah pilihan, tentu Aila akan memilih untuk lahir dari rahim ibu yang telah membesarkan Aila dengan cinta yang tak terhingga bukan lahir dari perempuan yang tak ingin Aila ada di dunia ini.
[“Jangan khawatir ibu, ayah, setelah Aila bertemu dengannya Aila pasti akan kembali ke pangkuan ibu karena Aila sayang sekali pada ibu dan ayah.
[“Sekali lagi Aila mohon maaf ayah, ibu, doakan Aila selalu dalam lindungan Allah SWT di setiap langkah kaki Aila.
[“Zania Suhaila.
Surat yang ditulis oleh Aila ini menyeret duka yang dalam buat Arpah walau Aila bukan anak kandungnya. Lalu Arpah menjerit histeris.
“Aila… …!” teriak Arpah bersama tangisannya sambil memeluk selembar surat itu.
Sementara Wahab mencoba menenangkan istrinya dan berkata.
“Sudahlah Bu! Aila sudah melakukan hal yang benar, Aila berhak mencari ibu kandungnya.”
“Ayah …! antarkan ibu ke terminal kereta Api , ibu ingin bertemu Aila, Aila pasti masih di sana, setengah jam lagi kereta akan berangkat,” mohon Arpah pada suaminya.
“Cepat …! cepat ayah ..!” desak Arpah pada suaminya.
Kemudian sepasang orangtua yang paruh baya tersebut berangkat ke terminal kereta api dengan menaiki sepeda motor yang Wahab miliki.
Sampai di sana, suasana terminal cukup ramai seperti biasa. Tanpa berpikir panjang Arpah mencoba menguak orang-orang di terminal yang padat itu.
Kemudian Arpah melihat sosok Aila berkerudung biru sedang duduk di bangku terminal. Lalu Arpah berlari mendekati tempat itu.
Sontak saja Aila terkejut ketika Arpah memanggil namanya sambil berlari tanpa alas kaki di tengah keramaian terminal. Hati Aila tersentuh, batinnya menangis. Aila tak menyangka bahwa ibu angkatnya itu akan menyusulnya sampai ke terminal.
“Aila …! , kau tahu apa yang membuat ibu sampai kemari?” tanya Arpah pada Aila.
Aila hanya terdiam menatap ibunya.
“Rasa sayang ibu padamu Aila, itulah yang membawa ibu kemari,” tegas Arpah lagi.
lalu Arpah mengeluarkan sesuatu dari tasnya dan itu adalah sebuah mukena dan beberapa lembar uang buat Aila.
“Bawalah mukena ini bersamamu Aila, ibu tahu kau tak pernah meninggalkan sholat, mukena ini akan mengingatkanmu pada ibu.
“Aila, pergilah …! jika nanti kau sudah bertemu ibu kandungmu, ibu berharap kau jangan lupa bahwa di sini juga ada seorang ibu yang selalu menunggumu dengan penuh harap.”
“Dan jangan lupa juga kabari ibu bila sudah sampai di Medan, hati-hati di jalan ya nak.” Arpah memeluk anak angkatnya begitu erat dengan tangisan yang sangat dalam.
sementara tampaknya kereta mulai berangkat, Aila masuk kedalamnya dan dari balik kaca jendela kereta Aila melihat Perempuan tua itu sedang menyeka air matanya.
“Maafkan Aila ibu,” gumam Aila dalam hatinya dengan rasa bersalah terhadap wanita yang membesarkannya itu.
Laju kereta pun mulai berjalan, deru suara mesin kereta mengendapkan duka hati yang kian mendalam. Tampak perempuan itu tetap menatap anaknya yang pergi hingga lambaian tangannya yang tak berhenti semakin hilang terlihat, Aila pun kini sedang dalam perjalanan mencari ibu kandungnya.
Arpah dan sang suami pulang ke rumah dengan membawa rasa sedih yang masih tersisa. Suasana sepi kembali menggigit nurani Arpah di rumah itu.
Di dalam rumah, Arpah masuk ke kamar Aila, ia pandangi sudut-sudut kamar itu. Begitu banyak kenangan bersama Aila sejak kecil hingga dewasa yang tak mungkin terhapus dalam sekejap. Kenangan-kenangan itu menari-nari dalam ingatan Arpah tak beda seperti film lama yang diulang.
Jelas terlukis di benaknya saat Aila kecil menangis di malam hari yang kerap menggangu tidur Arpah kala itu. Boneka Winnie the Pooh yang bersandar di kamar Aila itu seakan mengangkut kembali kenangan lalu saat Arpah memberikan hadiah di hari ulang tahun Aila waktu itu. Tawa mungil Aila yang lucu, kini begitu membekas dan terpatri kuat dalam ingatan Arpah. Air matanya terus mengalir membuat wajah perempuan paruh baya itu semakin sendu.
Arpah terlihat melipat pakaian Aila yang masih tertinggal di kamarnya. Sekali tampak Arpah menciumi pakaian Aila itu dan ia dekap erat bersama tangisnya.
Wahab hanya melihat tingkah istrinya dari sisi yang tak jauh dari situ. Memang mereka sungguh merasa kehilangan Aila, namun inilah kenyataannya, Aila pergi untuk mencari ibu kandungnya.
“Sudahlah Bu! doakan saja Aila dapat segera bertemu dengan ibu kandungnya dan semoga Aila akan kembali kepada kita,” sahut Wahab menenangkan istrinya.
“Ayah! selama bertahun-tahun kita menyimpan rahasia ini agar Aila selalu bersama kita, tapi kini Anakku sudah pergi ayah! dan jika ia bertemu dengan ibu kandungnya, aku takut Aila akan melupakan aku ayah, aku takut ayah!” Tangis Arpah kembali terdengar.
“Aila itu anak yang baik, Bu! tak akan mungkin ia melupakan kita, aku yakin Aila juga menyayangi kita,” kata Wahab.
“Kau berdoa saja, serahkan semua ini pada yang Maha kuasa,” tambah Wahab lagi.
Sementara di sisi lain, Kereta yang membawa Aila ke kota Medan masih melaju di atas relnya. Aila menyandarkan kepalanya ke kursi penumpang dan memandang dengan tatapan kosong dari balik kaca jendela kereta itu.
Selain itu Aila sempat berkenalan dengan wanita muda yang duduk di sebelahnya, Nama perempuan itu Zaitun, seorang pengajar di salah satu pondok pesantren di kota Medan, Kadang mereka terlihat saling bercerita namun Aila memang tak banyak bicara saat mereka berbincang-bincang.
Akhirnya kereta api tumpangan Aila telah sampai di tempat tujuan. Aila dan teman barunya Zaitun keluar dari kereta itu bersama-sama.
Aila mengambil ponsel dari sakunya. Aila hendak mengabari ibunya yaitu Arpah bahwa dirinya sudah sampai di Medan.
Tiba-tiba Handphone-nya di rampas oleh seorang pencopet dan begitu juga tas kecil yang disandangnya. Aila gugup dan seketika ia berteriak maling, orang yang mendengar teriakan itu berusaha menolong Aila tapi sayang pencopet tersebut tak berhasil di tangkap.
Aila bingung sekali. Sekarang ia tak punya apapun termasuk juga uang. Aila tak tahu apa yang harus ia lakukan.
Di sela rasa kalut Aila, Zaitun mengajak Aila untuk beberapa hari menginap di pondok pesantren ‘Sabilil Mukminin’ tempat ia mengajar, akhirnya tanpa sungkan lagi Aila mengikuti ajakan Zaitun itu.
Sekarang Aila tinggal bersama Zaitun di asrama pondok pesantren
‘Sabilil Mukminin’. Aila menceritakan maksud dan tujuan Aila ke kota Medan kepada Haji Buya Sahran yakni pemilik pondok pesantren itu.
Haji Buya Sahran sangat prihatin mendengar cerita Aila itu. Kemudian Haji Buya Sahran memerintahkan Zaitun dan putra sulungnya yaitu Azlan untuk turut membantu Aila dalam mencari ibu kandungnya.
Besok harinya pencarian itu di mulai. Pertama kali mereka mencari tempat tinggal Ratna yang tak lain adalah teman dari ibunya.
Pencarian ini semakin sulit karena Ratna yang Aila maksud ternyata sudah pindah dan tak tahu kemana rimbanya, tapi Aila tak pernah putus asa semangatnya selalu membara untuk menemukan teman ibunya itu.
Aila, Zaitun dan juga Azlan tetap berusaha mencari keberadaan Ratna. Mereka bertiga menelusuri kota Medan hingga ke sudut-sudutnya.
Kini, sudah dua bulan Aila di Medan, namun Aila belum menemukan titik terang keberadaan Ratna. Sedangkan Azlan tampaknya mulai simpati pada Aila. Kecantikan dan Akhlak Aila membuat Azlan kagum.
Terkadang Aila menyadari bahwa Azlan sering memperhatikannya diam-diam. Tapi Aila tidak peduli akan hal itu ia harus fokus untuk misinya yaitu mencari ibu kandungnya lagi pula tak akan ada yang bisa menggantikan posisi Hamdan dalam hatinya. Itulah alasannya mengapa Aila sering berusaha menjauhi Azlan.
Pencarian terus berlanjut dari hari ke hari hingga pada suatu saat Azlan bertemu teman kuliahnya di sela-sela pencarian. Teman Azlan itu bernama Zaki.
Zaki melihat Azlan memegang fhoto Ratna yang ia bawa dalam pencarian itu. Lalu Zaki mengatakan bahwa ia mengenal wanita setengah baya dalam fhoto itu dan ternyata Ratna adalah tetangganya Zaki serta Zaki lah yang mengantar Aila, Zaitun dan Azlan ke rumah Ratna.
Akhirnya mereka bertemu Ratna yakni seorang wanita yang dulu teman ibunya. Tapi sekali lagi harapan Aila berbuah kecewa sebab sudah lama Ratna putus kontak dengan Ariska yang tak lain adalah ibu kandung Aila.
Ratna menerangkan bahwa kabar terakhir yang ia dengar Bahwa Ariska merantau ke Pekanbaru.
Ratna juga menjelaskan bahwa benar Aila adalah anak hasil dari pemerkosaan yang dilakukan oleh teman kerja Ariska. Pemerkosa itu bernama Wahyu, makamnya tak jauh dari rumah Ratna.
Lalu Aila meminta Ratna mengantarkannya ke makam itu dan sampai di makam, Aila membacakan doa untuk ayahnya dan diatas nisan tua itu hati Aila berkata.
“Ayah! ku panggil engkau dengan sebutan itu sebab apapun dirimu kau tetaplah ayahku, meski aku ada bukan karena cintamu melainkan rasa kebencianmu pada ibu.
“Ayah! Semoga Tuhan mengampuni dosa-dosa mu dan aku berharap doakan aku agar aku bertemu ibu.
“Selamat tinggal ayah! senang bisa mengenalmu walau hanya melalui sepasang nisan ini.
Kemudian Aila pun berlalu meninggalkan makam ayahnya.
Sedangkan dalam keputusasaan itu Aila terlihat murung dan Haji Buya Sahran tak tega melihat Aila seperti itu lalu Haji Buya Sahran meminta Azlan anaknya itu menemani Aila untuk mencari Ibu kandungnya sampai ke Pekanbaru, Kalau masalah biaya Haji Buya Sahran siap menanggungnya.
Sebenarnya Aila keberatan bila harus pergi berdua bersama Azlan tapi apa boleh buat semua itu demi ambisi Aila untuk bertemu ibu kandungnya.
Aila dan Azlan tebang ke Pekanbaru. Berbekal informasi dari Ratna, maka mereka berdua terus berupaya mencari Ariska, ibu kandungnya Aila.
Di sela-sela perjalanan Azlan bertanya.
“Aila! aku ingin tahu, apakah kau tak pernah membenci orang tua kandung yang telah membuangmu?” tanya Azlan
Aila menggelengkan kepalanya
“Aku salut padamu Aila!” puji Azlan
Kemudian Aila berkata. “Tak ada dasarnya untuk aku membenci mereka, jika ibu membuangku pasti ia punya alasan dan aku bisa menerima apapun alasan itu.”
Azlan terpaku mendengar jawaban Aila itu. Azlan berpikir ternyata masih ada wanita yang sebegitu hormatnya pada orangtua. Semua ini membuat Azlan membiarkan benih-benih cinta itu tumbuh dalam kalbunya meskipun ia tahu cintanya tak mungkin berbalas karena Aila sudah punya Hamdan dalam hatinya.
Aila dan Azlan meneruskan perjalanannya sampai akhirnya mereka bertemu orang yang dimaksud Ratna untuk membawa mereka bertemu Ariska.
Sungguh Aila terkejut, rupanya ibu kandung yang selama ini ia cari berada di rumah bordil dan ibunya itu adalah seorang pelacur. Usia ibunya itu memang tidak seberapa tua meskipun memang tak lagi muda.
Sementara orang-orang di tempat itu terheran-heran melihat sosok perempuan berhijab dan berbusana muslim masuk ke tempat seperti ini.
Aila juga merasa canggung di tempat itu tapi itulah jalannya Aila dapat bertemu ibu kandungnya.
Sekian lama sudah pencarian, kini ia berhadapan dengan ibu kandungnya. Akhirnya tanpa basa-basi Aila langsung sujud dan mencium kaki ibunya itu, tangisnya menderu.
orang-orang disitu mulai riuh. Musik yang tadinya hingar tiba-tiba berhenti. orang-orang juga bertanya-tanya tentang apa yang terjadi.
Cukup lama Aila terbungkuk sujud menciumi kaki Ariska, sang ibu kandung gadis yang malang itu.
“Ada apa ini? kau ini siapa?” Ariska bertanya-tanya.
Lalu Azlan yang juga di situ berkata.
“Bu Ariska! dia adalah anakmu yang selama ini mencarimu.”
“Aila,Zania Suhaila.” Ariska memanggil nama yang ia sematkan untuk bayi perempuan yang ia buang dua puluh dua tahun yang lalu.
Aila bangun dari menciumi kaki ibunya itu dan langsung memeluk erat ibu kandungnya seraya menangis pilu. Pun begitu Ariska tenggelam dengan kesedihan yang dalam. Ia tak menyangka bahwa anak nya ia buang puluhan tahun lalu kini hadir mencarinya.
Lalu keduanya berbincang-bincang.
“Mengapa kau kemari Aila! Apa kau tak bahagia hidup bersama mereka?” tanya Ariska dengan ketus.
“Aila bahagia sekali hidup bersama mereka, ayah dan ibu menyayangi Aila bahkan lebih dari nyawa mereka sendiri” kata Aila
“Lalu..?” tanya Ariska penasaran
“Aila rindu ingin bertemu Bunda” jawab Aila.
“Ikutlah bersama Aila Bunda, kita hidup bersama-sama,” lanjut Aila lagi.
“Tidak Aila, di sini tempatku, sekarang kita sudah bertemu, pulanglah dan ini bukan tempat orang-orang sepertimu” ujar Ariska sambil menghisap rokok yang sejak tadi ada di tangannya.
“Apakah Aila salah dari semua yang sudah terjadi Bunda! Aila hanya ingin berbakti kepada Bunda, ibu kandung Aila layaknya seorang anak yang rindu mengabdi pada ibunya sendiri, apa Aila salah Bunda?” tanya Aila pada Ariska.
Mendengar itu Ariska terpaku diam seribu bahasa. Ariska hanya menatap Aila dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
“Bunda! ijinkan Aila untuk menginap malam ini di sini!” Aila memohon pada Ariska.
“Untuk apa, Aila?” tanya Ariska dengan kaget.
“Agar Aila merasakan tidur bersama Ibu kandung sendiri, bukankah tempat yang paling nyaman adalah dalam pelukan ibu? ya kan Bunda?” tanya Aila.
Sekali lagi Ariska tertegun mendengar kata-kata Aila ini, dalam hati Ariska terselip rasa bangga pada anaknya itu.
Akhirnya Ariska tak bisa menolak permintaan Aila dan akhirnya mereka begitu akrab. Sedangkan Azlan mencari tempat penginapan di luar.
Di kamar ibunya, Aila melaksanakan sholat Isya. Aila memandangi mukena yang ibu angkatnya berikan, hatinya juga semakin rindu pada ibu angkatnya yang jauh di sana.
Ariska hanya memandangi anaknya yang sedang sholat itu. Selesai sholat, Aila berdoa dan menoleh kearah ibunya.
Sebelum tidur ibu dan anak ini bercakap-cakap. Ariska bertanya pada Anaknya.
“Aila apa yang kau doakan tadi selesai sholat?”
“Aila berdoa agar Allah mengampuni segala dosa-dosa orang tua Aila termasuk dosa-dosa Bunda,” jawab Aila menjelaskan.
Ariska hanya tersenyum kecil mendengar ucapan gadis berusia dua puluh dua tahun itu.
Tak lama, Aila pun tertidur pulas sambil memeluk ibunya.
Ariska mengusap-usap rambut anaknya yang tertidur itu lalu Ariska mencium kening Aila sebagi tanda kasih sayangnya. Hati Ariska berucap.
“Aku tak tahu, bagaimana Arpah mendidikmu hingga Akhlak mu sesolehah ini, nak! dan aku juga tak tahu Bagaimana Tuhan menitipkan perangai mulia itu ada pada dirimu, padahal kau bukanlah anak yang lahir dari sebuah pernikahan.”
Hati Ariska kini menangis. Ia bangun dari tidurnya lalu menghampiri mukena dan sajadah Aila. Ariska menjamah mukena itu perlahan-lahan dan kembali melipatnya seperti sedia kala.
Ariska mulai menyingkirkan bekas botol minuman keras dan bungkus rokok yang ada dalam kamarnya itu. lalu Ariska kembali tidur bersama Aila.
Subuh telah menjelma, kumandang Adzan membuat Aila bangun dari tidurnya. Aila mencoba membangunkan ibunya yang tampak sedang menggeliat. Namun tak lama Ariska pun bangun dan Aila berkata.
“Ayo Bunda, kita sholat subuh berjamaah!” ajak Aila pada Ariska.
“Apa Bunda pantas untuk sholat nak?” tanya Ariska.
“Tak ada yang tak pantas Bunda!” jawab Aila.
“Aila! Bunda sudah lama mengerjakan sholat, mungkin Bunda sudah lupa caranya,” ujar Ariska.
“Aila akan ajari Bunda,” tegas Aila
Kemudian mereka berdua melaksanakan sholat subuh berjamaah dan begitulah hari demi hari yang mereka lalui bersama.
Sudah beberapa minggu Aila membimbing ibunya ke jalan yang benar. Aila mengajari ibunya sholat dan membaca Alquran. semenjak itu Ariska tak pernah lagi menerima tamu laki-laki hidung belang.
Pada suatu malam, lokalisasi itu ramai pengunjung. Terdapat dua orang pemuda mabuk mencoba menggoda Aila di tempat itu bahkan pemuda yang mabuk ini dengan lancang memegang tangan Aila. Aila memberontak, Aila melawan lalu Ariska datang membela anaknya.
Namun apa yang terjadi?
Ariska malah di dorong oleh kedua pemabuk itu dan meludahi Ariska serta memakinya dengan ucapan.
“Dasar pelacur tua, tak berguna!”
Beruntung ternyata Azlan ada di situ. Azlan langsung sigap melindungi Aila dan Ariska hingga terjadi perkelahian sengit antara Azlan dan kedua pemabuk itu.
Suasana Lokalisasi itu menjadi rusuh. Ariska memeluk Aila yang berdiri. Kemudian salah satu pemabuk itu hendak memukul Ariska dengan botol minuman keras, tapi Azlan langsung melindunginya hingga kepala Azlan terpukul oleh botol minuman keras itu sampai tak sadarkan diri, Azlan tergeletak dengan kepala yang bersimbah darah.
Azlan dibawa ke rumah sakit terdekat, kepalanya dijahit karena luka serta Azlan juga pingsan disebabkan benturan keras di kepala Azlan.
Selama pemulihan Azlan di rawat oleh Aila. Aila merasa bersalah sekali telah melibatkan Azlan ke dalam masalah pribadinya apalagi Azlan terluka karena melindungi Ariska, ibu kandung Aila.
Sementara di kampung halaman Aila, kabar bahwa ibu kandung Aila adalah seorang pelacur sudah santer terdengar. Pada awalnya kabar ini dibawa oleh seseorang yang pernah bertemu Aila secara tak sengaja. Ia melihat Aila di tempat lokalisasi itu. Hal ini juga sampai ke telinga keluarga Hamdan, tunangannya Aila.
Kabar ini menjadi perihal yang buruk buat hubungan pertunangan Aila dan Hamdan. Keluarga Hamdan secara sepihak memutuskan pertunangan, Ibunya Hamdan menjodohkan Hamdan pada wanita lain yang juga sepupu Hamdan. Namun Hamdan tetap bertahan pada pilihannya yaitu Aila.
Sementara Arpah juga kini sering sakit-sakitan, Ia selalu memendam rasa rindu yang berat pada Aila anak yang ia cintai. Arpah selalu berharap Aila akan kembali padanya.
Di sisi lain, setelah kejadian yang menimpa Azlan, Akhirnya Azlan membawa Aila dan Ariska pulang ke kota Medan. Keduanya untuk sementara waktu tinggal di pondok pesantren milik Keluarga Azlan.
Di pondok pesantren itu, Ariska mengenal jalan Tuhan lebih dekat lagi. Ariska memang benar-benar taubat bahkan kini Ariska tak pernah meninggalkan sholatnya.
Sementara itu, Aila mengutarakan keinginannya pada Ariska, yaitu tanggal pernikahannya bersama Hamdan semakin dekat dan Aila mau Ariska turut menyaksikan pernikahannya itu.
Oleh sebab itu, Aila ingin membawa Ariska pulang ke kampung halaman. Selain Aila juga rindu pada Hamdan, terlebih-lebih rindunya juga jauh lebih besar pada Ayah dan ibunya di sana.
Aila dan Ariska pulang ke kampung halaman di Labuhanbatu dan Azlan yang mengantar mereka ke sana.
Setibanya di kampung, Arpah merasa senang melihat anak kesayangannya itu mengucapkan salam di depan pintu.
Tanpa jeda lagi langsung Arpah dan Aila saling berpelukan. Mereka terendam dalam derai air mata rindu yang telah tertahan begitu lama.
Ariska yang sudah berhijab itu pun juga berpelukan dengan Arpah. Ariska mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya buat Arpah dan keluarga yang telah mendidik Aila sehingga menjadi gadis yang baik Budi pekertinya.
Saat mereka berbincang-bincang, Arpah menyodorkan kepada Aila sepucuk surat dari Hamdan buat Aila yang sebenarnya hendak Arpah kirim waktu itu , namun Arpah tak tahu dimana Alamat Aila kala itu.
Aila membuka surat itu yang bertulis.
[“Aila! kekasihku, sebelumnya aku minta maaf, mungkin kata-kata yang tertulis dalam surat ini akan membuatmu terluka.
[“Aila! kurasa Tuhan tidak memilih kita untuk berjodoh dan bersatu dalam ikatan pernikahan atau mungkin aku yang tak punya jalan lain selain ini, selain perpisahan ini.
[“Keluargaku tak menginginkanmu menjadi menantu mereka setelah mereka tahu siapa kau dan ibumu sebenarnya dan mereka telah memilihkan seorang untuk kupersunting sebagai istri.
[“Seperti dirimu, akupun tak ingin jadi anak yang durhaka, oleh karenanya aku memutuskan hubungan kita, meski cinta dalam batinku tak sedikitpun berubah padamu.
[“Aila tercinta! sekali lagi maafkan ketidakberdayaanku ini, kuharap padamu, jadikanlah semua hal tentang kita hanyalah kenangan di masa lalu, jika kenangan itu pahit maka buanglah agar tidak menyisakan luka dan apabila kenangan itu manis maka simpanlah ia rapi-rapi dalam benakmu sebagai tanda bahwa aku pernah menjadi bagian terpenting dalam hidupmu.
[“Selamat tinggal Aila, selamat berpisah.
[“Dari pemuda yang selalu mencintaimu.
[“Hamdan Zuhari.
Surat yang Aila baca itu, sungguh meremukkan batinnya. Harapannya hidup serumah bersama Hamdan telah punah. Sirna sudah impian-impian indah itu.
“Besok Hamdan akan menikah, kau yang sabar ya Aila,” ucap Arpah
Sedangkan Ariska hanya menatap penderitaan batin yang anaknya rasakan itu. Sungguh dalam memang hingga air mata Aila tak terbendung lagi.
Tiba-tiba orang-orang ramai di depan rumah mereka, Warga berteriak-teriak. Suara yang terdengar seperti ucapan
“Usir pelacur-pelacur itu dari kampung ini”
Itulah teriakan orang-orang yang di sulut marah, massa mulai melempari rumah Keluarga Arpah.
Entah siapa yang berbuat dari sekerumunan massa itu, tiba-tiba sebuah lemparan batu yang besar menghantam kepala Ariska, kepalanya berdarah. Darah itu begitu deras mengucur dari kepala bagian belakang Ariska hingga Ariska tumbang dan tergeletak di lantai rumah.
Ariska lalu dibawa ke Puskesmas Kecamatan namun tak lama jantungnya berdetak kencang tak beraturan, Ariska menggenggam tangan Aila dan berkata.
“Aila! terimakasih atas semua yang telah kau lakukan pada Bunda, kau memperkenalkan Bunda pada indahnya surga padahal neraka yang seharusnya lebih pantas buat Bunda.
“Aku bangga padamu nak! kau juga telah membuat aku Merasakan bahagianya menjadi seorang Ibu.
“Arpah! Wahab! untuk kedua kalinya aku titipkan anakku pada kalian.
“Maafkan Ibu Bunda Aila yang dulu pernah menyia-nyiakan mu, sekarang bunda akan pergi jauh Aila! maafkan Bunda.
Lalu Ariska mencoba mengucap dua kalimat syahadat sampai pada hentakan napas panjang yang terakhir sebagai tanda bahwa Ariska sudah tak ada lagi.
Aila berteriak histeris memanggil ibu kandungnya itu bersama tangisannya. Sekali lagi Aila merasakan kehilangan ibu kandungnya dan ini untuk selamanya.
Sedangkan Polisi terus menyelidiki kasus ini dan akhirnya berhasil menangkap pelaku.
Sementara setelah pemakaman Ariska, wajah Aila murung dan matanya terus basah karena tangisnya. Lalu Aila dan keluarga pulang ke rumah mereka.
Kemudian Azlan pamit hendak kembali ke Kota Medan karena Azlan merasa sudah saatnya ia pergi.
Melihat Azlan hendak pergi, Aila mengejar Azlan dan berkata.
“Azlan! Kau mau kemana?”
“Aku mau pulang, untuk apa aku di sini Aila,” jawab Azlan
“Untuk aku, ya …! untuk aku, Azlan!” sahut Aila spontan.
Azlan merasa bingung, sontak Azlan menoleh ke arah Aila
“Azlan! aku sudah banyak kehilangan orang yang kucintai, Hamdan meninggalkanku, ibu juga meninggalkanku, tapi kali ini aku tak akan membiarkan orang yang ku cintai meninggalkanku lagi,” ujar Aila
“Azlan! sudikah kau menjadikan aku istrimu?” tanya Aila
Namun Azlan tak menjawab pertanyaan Aila itu, malah ia hanya senyum dan tertawa sendiri.
Berselang beberapa minggu kemudian Azlan dan keluarganya meminang Aila dan tak lama mereka menikah. Hidup mereka pun bahagia.
Semenjak itu Aila membawa orangtua angkatnya untuk pindah ke kota Medan. Aila menjadi staf pengajar di pondok pesantren milik Keluarga Azlan.
Aila banyak mendapat pelajaran yang berharga dari setiap peristiwa yang ia jalani dan kebahagiaan Aila bersama Azlan kini telah lengkap setelah lahirnya sepasang putra dan putri buah cinta mereka.
SINKAP.info | @Zaidan Akbar
Komentar