Kekerasan Anak Masih Tinggi, Predikat Kabupaten Layak Anak Meranti Dipertanyakan

SELATPANJANG, SINKAP.info – Kabupaten Kepulauan Meranti telah meraih predikat Kabupaten Layak Anak (KLA) kategori Nindya. Namun, predikat tersebut kini dipertanyakan menyusul tingginya angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di wilayah tersebut. Penanganan kasus kekerasan yang dinilai kurang optimal menjadi sorotan berbagai pihak.

Berdasarkan catatan, jumlah kasus kejahatan seksual terhadap anak terus bertambah setiap tahunnya. Dimana pada tahun 2023 tercatat 13 kasus dengan 15 korban. Selanjutnya pada tahun 2024,angka meningkat menjadi 14 kasus dengan 20 korban, termasuk 4 anak laki-laki. Selanjutnya pada tahun 2025 (Januari–Februari): Dalam dua bulan pertama saja sudah terdapat 7 kasus dengan 10 korban, termasuk 2 kasus yang melibatkan anak laki-laki.

Meskipun telah memiliki berbagai program perlindungan anak, pelaksanaannya di lapangan masih jauh dari harapan. Koordinasi antarinstansi yang lemah, serta kurangnya dukungan terhadap tenaga pendamping sosial menjadi salah satu kendala utama dalam menangani kasus kekerasan.

Erma Indah Fitriana, Satuan Bakti Pekerja Sosial (Sakti Peksos) dari Kementerian Sosial RI, mengungkapkan tantangan yang dihadapinya dalam menjalankan tugas di Kepulauan Meranti. Menurutnya, mobilitas yang tinggi menjadi kebutuhan mendasar dalam mendampingi kasus anak, namun masalah biaya transportasi dan operasional sering kali harus ditanggungnya sendiri.

“Pendampingan kasus anak memerlukan mobilitas tinggi, terutama karena wilayah Kepulauan Meranti terdiri dari banyak pulau. Namun, dalam praktiknya, biaya transportasi, konsumsi, dan kebutuhan mendasar lainnya sering kali harus saya tanggung sendiri,” kata Indah.

Ia menambahkan bahwa meskipun anggaran perlindungan anak telah dialokasikan dalam Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA), realisasi penggunaan dana tersebut belum memadai. Beberapa kebutuhan penting, seperti biaya visum dan transportasi korban ke pusat rehabilitasi, belum sepenuhnya terakomodasi.

Di sisi lain, kepolisian juga mengungkapkan keprihatinan terkait lemahnya keterlibatan pemerintah daerah dalam menangani kasus kekerasan anak. Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Satreskrim Polres Kepulauan Meranti, Bripka Dessy Suwita Dewi, mengatakan bahwa sering terjadi kendala dalam koordinasi dengan Dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (Dinsos P3AP2KB) Kepulauan Meranti.

“Kami berharap pemerintah daerah lebih aktif dalam mendampingi kasus-kasus yang melibatkan anak. Saat ada penghargaan, banyak pihak yang hadir. Namun, saat di lapangan, sering kali kami menangani kasus tanpa dukungan yang memadai,” ungkap Dessy.

Menanggapi hal tersebut, Kepala Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Dinsos P3AP2KB Kepulauan Meranti, Desy, menjelaskan bahwa pendampingan baru dapat dilakukan setelah mendapat disposisi dari Kepala Dinas. Meskipun demikian, Desy menegaskan bahwa pihaknya tetap berkolaborasi dengan UPT Perlindungan Perempuan dan Anak dalam penanganan kasus.

“Prosedur internal kami memerlukan disposisi terlebih dahulu sebelum terjun ke lapangan,” jelas Desy.

Terkait anggaran operasional pendampingan kasus anak, Desy mengatakan bahwa hal tersebut merupakan tanggung jawab bidang lain dalam dinasnya.

Berbagai pihak kini berharap agar pemerintah daerah lebih serius dalam mengoptimalkan kebijakan perlindungan anak. Pengalokasian anggaran yang tepat, koordinasi yang lebih erat antarinstansi, serta kebijakan yang berpihak pada korban diharapkan dapat memperbaiki kondisi ini. Tanpa langkah konkret, predikat Kabupaten Layak Anak yang disandang Kepulauan Meranti dikhawatirkan hanya akan menjadi simbol tanpa implementasi nyata dalam perlindungan hak-hak anak dan perempuan.