Rumah Kita Jendela Bambu

KOLOM, Sastra216 Dilihat

“Ibu … ! Ayah … !” teriak bocah kecil yang menutup kedua telinganya sesaat setelah ia mendengar suara dentuman petir yang begitu kuat.

Aminah langsung mendekap Azwar dengan erat. Dekapan itu berarti bahwa Aminah sedang berusaha untuk memberikan rasa aman pada anak bungsunya itu.

Malam yang pekat. Hujan turun dengan lebatnya. Aminah melirik sepasang jendela yang terbuat dari bambu. Jendela yang tiba-tiba terbuka dengan sendirinya. Mungkin ini karena kerasnya gempuran angin. Sungguh malam itu adalah malam yang mencekam buat Azwar.

“Arman! cepat kunci jendelanya nak,” perintah Aminah kepada putra sulungnya yang ketika itu sedang meletakkan sebuah ember di bawah atap rumah mereka yang bocor.

Arman langsung bergegas mengunci jendela bambu itu dengan sebatang kayu yang ia ikat dengan tali rapiah.

Tiba-tiba tangan kekar laki-laki memegang pundak Aminah. Aminah pun tersentak dari lamunannya. Hal ini membuat kenangan lama itu hilang seketika. Bayangan tentang anak-anaknya tadi adalah sepenggal ingatan di waktu dulu saat Arman dan Azwar masih kedua bocah dan tinggal bersama mereka.

“Apa yang kau lamunkan Buk?” tanya laki-laki paruh baya itu pada istrinya

“Pak! saat hujan begini, aku jadi teringat anak-anak kita, waktu itu Azwar begitu takut dengan suara petir yang didengarnya, sampai-sampai ia menutup kedua telinganya” jawab Aminah menjelaskan isi lamunannya kepada Yusuf, suaminya.

“Sudahlah Buk!, tak perlu kau pikirkan itu, lagi pula Azwar setiap tahun juga pulang, bukan?” papar Yusuf sambil meraih korek api yang terletak tidak jauh dari tempat duduknya. Kemudian Yusuf menyulutkan api untuk memasang sebatang rokok yang tersumbat di mulutnya.

“Lalu bagaimana dengan Arman Pak?” tanya Aminah

“Arman sudah lima belas tahun tak pernah kembali,” lanjut Aminah

“Jangan pernah kau sebut nama anak yang tak tahu diuntung itu di hadapanku Buk, aku sudah lama menganggapnya tak ada lagi di dunia ini” kata Yusuf bernada geram.

“Aku begitu merindukan Arman, Pak! kita tidak tahu di mana kini ia berada dan bagaimana kabarnya sekarang” ucap Aminah dengan kelopak mata yang mulai berembun.

“Itu pantas untuknya Buk!, ketika aku mengusirnya saat itu juga aku sudah menghapus namanya dalam hatiku,” ujar Yusuf sebagai bentuk ketegasan seorang ayah.

Mendengar ucapan Yusuf, maka Aminah pun menggeleng-gelengkan kepalanya sebagai isyarat bahwa Aminah tak mengerti betapa keras hati sang suami yang bagai batu itu.

Aminah langsung berkata.
“Pak! kau mengusirnya waktu itu saat usianya masih dua belas tahun.”

“Tapi Arman itu mencuri Buk! dan aku malu karena kelakuannya” ucap Yusuf dengan tegas.

“Bukankah Bapak tahu alasan Arman mencuri? Arman mencuri uang empat ratus tujuh puluh ribu dari grosir Haji Sahnan itu untuk menambahi tabungannya demi membelikan Bapak sepeda baru, meskipun Bapak tak pernah sekalipun memakai sepeda itu, Bapak lebih memilih berjalan kaki.” Aminah mengatakan itu sembari menunjuk sebuah sepeda tua di pojok dapur.

“Bahkan Haji Sahnan mengikhlaskan itu karena ia paham alasan Arman mencuri, namun ayahnya sendiri tak pernah memaafkannya. Kau memukul kakinya begitu keras sebagai hukuman. Ia tak melawan, ia hanya menangis meminta maafmu, tapi hatimu terlalu keras. Kau malah mengusirnya hingga ia pergi dengan membawa penyesalannya.

“Aku mencoba mengejar Arman namun kau melarang aku. Aku hanya menyaksikannya pergi, ia berjalan terpincang-pincang sedangkan kau diam saja. Aku memperhatikan itu dari balik jendela bambu ini.” Aminah mengurai tangisnya yang terisak-isak.

“Aku mencari Arman berhari-hari, tapi aku tak pernah menemukannya, kata orang mereka melihat Arman berangkat ke arah kota,” lanjut Aminah lagi.

Yusuf diam terpaku dan hanya memandangi istrinya yang menangis itu seraya berkata.

“Buk! aku hanya seorang penjual balon. Aku tak butuh sepeda. Aku sudah terbiasa berjualan dengan berjalan kaki,” ucap Yusuf

“Memang kita hidup miskin, tapi bukan berarti kita boleh mencuri, bagaimanapun kita masih punya harga diri, seharusnya Arman dapat mengerti itu,” lanjut Yusuf

“Tapi saat itu Arman masih bocah dua belas tahun Pak … ! tentu ia belum memahami itu.”

“Mestinya ia paham, karena mencuri itu perilaku yang terhina.” Yusuf memotong ucapan istrinya

“Pencuri tetaplah pencuri, Buk! dan tak ada tempat bagi pencuri di rumah ini.” Yusuf menyatakan ini sebagai prinsip yang ia pegang teguh.

“Oh ya Pak! aku lupa bahwa dirimu hanyalah seorang ayah bukan seorang ibu, jadi kau tak akan pernah mengerti apa yang aku rasakan sebagai seorang ibu,” tutup Aminah untuk mengakhiri perdebatan mereka sembari Aminah beranjak meninggalkan suaminya sendiri di situ.

Sementara di luar, hujan mulai mereda. Malam semakin larut, suara jangkrik terdengar bersungut di sela sepinya malam. Sedangkan api kecil di ujung lampu teplok yang tergantung di dinding seperti menari-nari dan sejak tadi menyaksikan pertengkaran sepasang suami istri itu berdebat tentang anaknya.

Di suatu tempat yang jauh, di perantauan, Azwar juga teringat pada Ayah dan Ibunya di kampung. Azwar merasa kehidupan kini makin terasa sulit. Dagangan sate kelilingnya akhir-akhir ini sepi. Azwar berpikiran hendak pulang kampung saja. Azwar berniat membawa istri dan anaknya untuk menetap di sana sekaligus untuk menjaga ayah dan ibunya yang sudah tua.

“Dek! bagaimana kalau kita pindah ke kampungku. Kita menetap di sana, apa kau bersedia?” ujar Azwar meminta pendapat Jamilah, istrinya.

Jamilah hanya tersenyum dan berkata.
“Sebagai seorang istri, aku ikuti apapun yang menjadi keputusanmu bang!.”

“Tapi, bagaimana dengan sekolahnya Dedi, anak kita bang?” tanya Jamilah pada suaminya

“Kalau masalah itu adek jangan khawatir, Dedi akan pindah sekolah dan melanjutkannya di kampung, sebab di sana pun ada SD Negeri, Dedi akan bersekolah di situ” ucap Azwar.

Azwar terlihat mengumpulkan seluruh uang tabungannya untuk biaya mereka pulang kampung. Azwar membuka kaleng celengan itu dan membongkarnya. Setelah uang-uang itu dikumpulkan ternyata biaya yang dibutuhkan masihlah kurang.

Sementara di kampung halaman, suasana alam hari ini tampak mendung. Satu persatu rintik hujan mulai berjatuhan. Gerimis hari ini menusuk hati Aminah dengan perasaan rindu yang membeku. Rindu dalam penantian kepulangan anak-anaknya.

Aminah begitu khusyuk dalam penantian. Ia selalu menanti dengan penuh harapan di balik sepasang jendela bambu rumahnya. Bayangan kedua putranya yang kembali pulang kerap hadir dalam ruang hayalan Aminah.

Hari demi hari silih berganti, penantian Aminah semakin tak berujung. Kedua putranya belum jua kunjung pulang. Sepasang jendela bambu ini turut menjadi saksi bisu atas penantian Aminah yang penuh harap itu.

Sementara Azwar terus saja giat dan bekerja keras untuk mengumpulkan uang agar ia sekeluarga dapat pulang kampung tahun ini. Tak perduli panas ataupun hujan, siang dan juga malam. Azwar tetap mendorong gerobak sate dagangannya untuk mendapatkan uang.

Pada suatu sore menjelang senja, rumah Azwar dikunjungi oleh seorang pria dewasa.

Ayah … ! ada orang mencarimu ayah!” teriak Dedi sambil berlari memanggil ayahnya.

“Siapa nak?” tanya Azwar

Dedi menggeleng, itu tandanya bocah sembilan tahun itu tak mengenal laki-laki yang datang ke rumah mereka.

“Betulkah saudara yang bernama Azwarsyah Yusuf?” tanya laki-laki brewok itu

“Ya benar, tapi anda ini siapa?” tanya Azwar kembali

“Namaku Armansyah Yusuf!” ucap laki-laki itu dengan mata yang berkaca-kaca.

“Bang Arman!” Azwar terperanjat sambil memeluk laki-laki itu.

Azwar dan Arman kini bertemu setelah kedua saudara ini berpisah selama lima belas tahun. Pelukan mereka belum terlepas, mereka saling mengurai rindu antara satu dengan yang lainnya.

Azwar hampir lupa mempersilahkan Arman untuk masuk ke rumahnya karena begitu girangnya Azwar setelah bertemu Arman.

Arman duduk di bangku rotan ruang tamu rumah kontrakan Azwar. Lalu Azwar memperkenalkan Arman kepada istri dan anaknya.

Jamilah sedikit memperhatikan Arman yang berpenampilan seperti preman. Tampang Arman terlihat sangar. Rambutnya yang gondrong, leher bertato dan memakai anting-anting di telinga kanannya.

Jamilah menyuguhkan dua gelas air teh hangat untuk minuman mereka berdua. kakak beradik ini terlihat sangat akrab bercengkrama.

“Kemana saja Abang selama ini?” tanya Azwar.

“Aku berpindah-pindah War!” jawab Arman dengan singkat.

“Azwar, apa boleh aku menginap di rumahmu untuk malam ini saja? Polisi sedang mencariku” ujar Arman pada adiknya.

Azwar tercengang mendengar abangnya dicari oleh Polisi, maka Azwar pun bertanya.
“Apa yang telah kau perbuat bang?”

Lalu Arman menghela napasnya dan berucap.
“Aku sudah lelah dengan semua ini, Azwar! aku melakukan banyak sekali kejahatan, aku lelah sekali, aku capek bila terus hidup dalam pelarian.”

“Serahkan dirimu pada Polisi Bang!” saran Azwar pada Arman.

“Pasti! pasti aku akan menyerahkan diriku pada Polisi, namun tidak sekarang” ujar Arman.

“Lantas kapan Bang? tanya Azwar

“Entahlah, aku tidak tahu War!” jawab Arman

“Kalau begitu, pulanglah bersamaku, aku pulang minggu depan, ibu sangat rindu padamu” ajak Azwar

“Pulang? kemana aku akan pulang?” Arman kembali bertanya pada adiknya.

“Ke rumah kita, rumah di mana kita dilahirkan. Rumah berjendela bambu, itukan yang kau katakan dulu tentang rumah kita.” Azwar menjelaskan maksudnya.

“Rumah yang kau katakan itu bukan rumahku Azwar!, rumah itu tak akan pernah menerimaku kembali lagi. Ayah selalu membenciku, apalagi andai ayah tahu bahwa kini aku adalah seorang penjahat, seorang buronan, maka ayah tak akan mengizinkan aku untuk menginjakkan kaki ke rumah itu.” Arman mengemukakan alasannya untuk tidak ingin kembali ke rumah.

Tiba-tiba suara adzan maghrib menyela pembicaraan Azwar dan Arman. Arman bergegas ingin berwudhu untuk melaksanakan sholat maghrib. Lalu Arman berkata.

“Azwar, adikku, ajari aku sholat, aku lupa cara sholat karena sudah terlalu lama aku tak mengerjakannya.”

Azwar tersenyum lalu menarik tangan abangnya untuk mengambil air wudhu bersama-sama. mereka sholat maghrib berjamaah, begitu juga sholat Isya, namun pada sholat subuh Azwar pulas tertidur hingga pada sholat subuh itu, Arman hanya sholat sendirian saja. Sesuai sholat Arman langsung pergi begitu saja tanpa pamit saat suasana masih pagi-pagi sekali.

Tibalah saatnya Azwar beserta keluarga pulang ke kampung halaman tercinta. Perjalanan yang cukup jauh sangat melelahkan buat mereka. Namun rasa lelah itu lunas terbayar dengan ungkapan rindu Azwar kepada ayah dan ibunya.

Azwar menceritakan pertemuannya dengan Arman kepada ibunya. Sepasang mata Aminah mulai berair mendengar cerita dari Azwar, anaknya.

Sore itu pelangi terjuntai di langit seusai gerimis seperti biasanya. Aminah dan Dedi bercanda di bawah sepasang jendela bambu rumahnya, atap rumbia rumah itu memberikan kesejukan karena terpapar angin sepoi yang menyelinap masuk di antara rongga-rongga dinding anyaman bambu. Sementara Azwar dan Ayahnya terlihat bercakap-cakap di teras rumah sambil menikmati seduhan kopi hitam yang sudah terhidang.

Tak lama, Yusuf terpaksa meninggalkan anaknya Azwar. Yusuf beranjak ke luar dari rumah dengan memegang beberapa buah balon untuk di jajakan hari ini. Balon-balon itu adalah balon harapan yang menghidupi keluarga Yusuf dari dulu hingga kini.

Azwar menatap langkah kaki sang ayah yang terlihat berjalan dengan sedikit gemetar. Azwar merasa iba dengan ayahnya dengan usia setua itu masih saja bekerja.

Berselang kemudian, terdengar suara parau seorang laki-laki mengucap salam dari luar rumah. Azwar menjawab salam itu dan Azwar sontak terkejut karena yang dilihatnya adalah Arman, Abang kandungnya.

“Bang Arman!” pekik Azwar
pekikan itu terdengar oleh telinga Aminah hingga membuat ia berlari dengan sepasang kaki tuanya menuju depan rumah.

“Arman, Anakku!” Aminah langsung memeluk Arman sambil berderai tangis. Keduanya larut dalam suasana haru. Mereka berdua kini bermandi air mata. Kerinduan Aminah ia tumpahkan saat itu dan Arman juga melepas rasa rindunya pada sang ibu yang sudah lima belas tahun tak bertemu.

“Maafkan aku Bu! maafkan anakmu yang selama ini menyusahkanmu” ucap Arman dengan tangisnya

“Ya Arman, ibu sudah lama memaafkanmu, nak! sahut ibunya.

Setelah pelukan mereka terlepas, Aminah langsung menarik tangan anaknya dan menyuruh Arman duduk di sebelahnya. Aminah mengambil sepiring nasi beserta lauk dan langsung menyuapi sang anak yang ia rindukan itu. Sementara Arman hanya mengikuti keinginan ibunya tanpa berkata apa-apa lagi.

Tiba-tiba

“Mengapa kau kembali bajingan!” bentak Yusuf dengan lantang setelah melihat Arman sedang berada di rumahnya.

” Ini Arman, anakmu Pak!” ujar Aminah sambil menangis.

“Ya, aku tahu, aku mendengar berita kepulangannya dari Rahmat yang mengantar ia sampai ke sini, makanya aku pulang.” Yusuf menunjuk Arman.

“Pergi kau dari rumah ini! aku tak sudi menerima kau kembali, pergi …! kau bukan anakku, pergi … ! usir Yusuf pada Arman.

“Tidak … ! Arman akan tetap di sini,” bantah Aminah

“Buk! jangan halangi aku untuk mengusir bajingan ini, jika tidak kau juga boleh angkat kaki beserta ia” ancam Yusuf kepada istrinya.

Arman yang mendengar ancaman sang ayah pada ibunya itu, perlahan mulai beranjak pergi dari rumah yang menyimpan kenangan indah bersama ayah dan ibunya. Arman kini terusir untuk kedua kalinya.

Sedangkan Azwar hanya menitikkan air mata menyaksikan pertengkaran ayah dan ibunya itu tanpa bisa berbuat apa-apa.

Pada malam harinya, Yusuf pergi keluar rumah karena ada urusan. Yusuf berjalan kaki saja seperti biasa. Sepulangnya Yusuf melewati sebuah musholla. Kemudian mata Yusuf tak sengaja melihat Arman di mushola itu sendirian sambil mengerjakan sholat dengan pakaian Ala premannya.

Yusuf menghampiri dan mendekati musholla itu. Yusuf mendengar Arman berdoa dengan ucapan

“Ya Allah, aku umpama debu yang tak berarti, duniaku hitam tanpa pelita, Namun jika aku masih mungkin untuk bermohon pada-Mu, maka aku ingin melihat senyum ayah yang seperti dulu padaku, aku ingin sekali merasakan hangatnya pelukan ayah, aku rindu rangkulan Ayah di pundakku.

“Tuhanku yang Maha Kuasa, kau tahu bahwa taubatku bukan mainan. selama ini aku memang berlumuran dosa, namun andai aku boleh meminta buatlah hati ayahku luluh agar aku bisa hadir dalam hatinya, sungguh aku sangat menyayanginya dan sangat mencintainya … Amin.”

Setelah mendengar doa-doa Arman, maka Yusuf pun mulai sadar bahwa Arman adalah putra sulungnya yang sebenarnya sangat ia sayangi. Lalu tanpa sepengetahuan Arman, Yusuf pulang sendiri ke rumah.

Setibanya di rumah Yusuf termenung dengan beribu penyesalan, namun tak lama Yusuf termenung, Azwar memberi tahu ayahnya bahwa Arman telah ditangkap oleh Polisi dan sebagai buronan tentu Arman akan di jebloskan ke dalam penjara.

Lalu Yusuf dan Azwar melihat Arman yang tertangkap Polisi itu.

Dalam keadaan tangan diborgol, Arman meminta maaf pada ibunya yang juga ada di situ dan ibunya berharap agar semua ini jadi pelajaran yang berharga buat Arman.

Arman tak punya waktu lagi. Arman langsung masuk ke dalam mobil yang sudah disiapkan oleh Polisi. Kemudian Polisi segera membawanya langsung ke kota di mana seharusnya Arman dipenjarakan. Setelah mobil itu jauh terlihat barulah Yusuf dan Azwar muncul dan Yusuf hanya menyaksikan mobil pembawa Arman dari kejauhan saja. Mata Yusuf lekat menatap itu dengan tatapan yang berlinang air mata penyesalan.

Setelah hari itu, Yusuf terus bekerja keras untuk mengumpulkan uang agar ia bisa menjenguk Arman di penjara yang letaknya sangat jauh dari kampung Yusuf. Ia ingin sekali punya kesempatan bertemu Arman lagi.

Namun tak ada yang tahu tentang takdir. Setelah enam bulan lamanya Arman di penjara, maka Yusuf menerima berita duka dari balik penjara. Arman meninggal dunia karena peradangan paru-paru yang diidapnya sejak lama.

Pihak lembaga pemasyarakatan mengirim mayat Arman setelah diautopsi ke rumah duka. Arman telah kembali namun kini ia hanya tinggal jasad saja. Selain mayatnya juga ada surat terakhir yang di tulis Arman selama ia hidup dan surat itu Arman tujukan untuk sang ayah.

Surat itu bertuliskan.

[ Untuk Ayah tercinta. Surat ini menjadi wakil diriku untuk memohonkan sejuta maaf dari mu, andai nanti ayah memberikan maaf itu untukku maka aku ikhlas napasku berhenti saat itu juga, aku rela melepaskan nyawaku, ayah!]

[Ayah, aku tahu betapa marahnya kau padaku, aku tahu betapa bencinya dirimu padaku, tapi aku juga tahu betapa sayangnya kau padaku. Aku lihat kedua matamu berarti sungguh betapa kau mencintaiku.]

[Ayahku, aku sering menangis saat mengenang waktu dulu ketika ayah sedang menggendongku, saat aku rebah dalam pangkuanmu hingga tidurku menjadi tidur paling indah.]

[ Belajarlah menyayangiku kembali seperti dulu, ayah! karna aku juga sangat menyayangi dan mencintai ayah.]

[ Dari anakmu, Armansyah Yusuf]

Membaca surat ini membuat Yusuf tertegun, tangisnya yang tak bersuara membuat bibirnya menggigil, tangannya gemetar memegang surat itu, penyesalannya begitu dalam. Tak ada satu kata maaf yang pernah Yusuf ucapkan buat Arman, anak yang ia sayangi.

Kini keluarga dalam rumah berjendela bambu itu dihantam kesedihan yang dahsyat. Kepergian Arman sangat membekas di hati Yusuf. Kini Yusuf merawat dan memperbaiki sepeda peninggalan Arman. Sepeda yang menjadi awal kemarahan Yusuf kepada Arman. oleh karena itu Yusuf selalu menjaganya sepenuh hati sebagai tanda Yusuf selalu mengenang Arman dalam hatinya. Sekarang Yusuf masih berjualan balon tapi tidak lagi berjalan kaki melainkan dengan bersepeda menjajakan balonnya.

Komentar