Gadis Kecil Dari Tempat Pengasingan

KOLOM, Sastra230 Dilihat

SASTRA, Sinkap.info11 Juni 1984, hari itu Jakarta masih seperti hari biasanya. Banyak aktifitas yang terlihat menjelang sore itu, namun ada yang tak biasa di hati Darman. Selama dalam perjalanan, mata Darman terus berkaca-kaca sambil kedua tangan pria itu tetap menyetir mobil miliknya. Mobil merah itu terus melaju ke arah sebuah rumah sakit.

Ini menjadi hari terkelam buat Darman setelah ia mendengar berita keguguran yang dialami oleh Linda yang kini sedang dirawat di rumah sakit. Betapa pilunya batin Darman saat mengetahui calon bayinya sudah tak ada lagi.

Bukan hanya itu, tapi dokter juga mengatakan bahwa rahim sang istri terpaksa diangkat seusai peristiwa ini. Sebagai akibatnya Linda tak mungkin bisa hamil lagi dan itu berarti tak ada kemungkinan buat Darman untuk mendapatkan keturunan dari Linda.

“Maafkan Inda mas,” ucap Linda sambil meraih tangan kekar suaminya itu.

“Ya, tidak apa-apa, ini bukan salahmu,” jawab Darman dengan mata yang berair sembari membalas genggaman tangan istrinya.

“Sekarang kita pulang ya?” ajak Darman

Linda hanya mengangguk saja sambil ia berusaha untuk tersenyum menyahut ajakan suaminya itu.

Pasangan Darman dan Linda sudah lama memimpikan momongan. Telah sebelas tahun mereka menikah, tapi rumah tangga mereka begitu sepi tanpa adanya keceriaan seorang anak dan mereka merindukan itu. Tapi apa mau dikata jika takdir berkehendak lain.

Pada hari berikutnya Darman mendapat tugas dari kantor. Darman ditunjuk sebagai pengawas untuk pembangunan proyek beberapa jembatan di sebuah daerah terpencil di pesisir timur Sumatera.

Darman merasa senang sekali, Karena ini adalah pertama kali ia dipercaya sebagai pengawas proyek dan ini pula saatnya Darman membuktikan kinerjanya. Hal ini cukup baik buat Darman untuk promosi kenaikan jabatannya di perusahaan kontraktor tempat ia bekerja.

Tugas yang Darman emban mengharuskan ia untuk tinggal menetap di daerah proyek selama tiga minggu guna mengawasi tahap finishing proyek tersebut.

Rute perjalan Darman ini menuju lokasi proyek ternyata cukup melelahkan. Waktu yang ditempuh dalam perjalanan memakan waktu tiga hari dua malam

Darman memulai keberangkatannya dengan melakukan perjalanan udara dari Jakarta ke sebuah Ibukota provinsi dan dilanjutkan dengan menaiki bus sampai ke sebuah tempat yang ditentukan. Setelah itu Darman terpaksa berganti bus lagi untuk meneruskan perjalanan hingga bus berhenti di sebuah pelabuhan penyeberangan.

Jalur sungai menjadi satu-satunya akses menuju daerah di mana proyek itu dikerjakan. Tentunya angkutan yang digunakan adalah sebuah perahu sampai ke pelabuhanan tujuan.

Sementara di pelabuhan, Darman dijemput oleh seorang mandor lapangan proyek. Namanya Amin dan Aminlah yang akan mengantar Darman sampai ke tempat pengerjaan proyek itu. Untuk mencapai ke lokasi, Amin membonceng Darman dengan sepeda motornya.

Selama dalam boncengan, Darman banyak bertanya tentang seluk-beluk daerah ini kepada Amin yang memang merupakan penduduk asli di situ. Mereka nampak bercakap-cakap dan terlihat akrab, padahal mereka baru saja bertemu.

Darman melihat kiri dan kanan pada sisi jalan. Ia menyaksikan kehidupan masyarakat yang begitu sederhana. Di sepanjang perjalanan banyak mesjid dan mushola yang berdiri di daerah itu. Pemandangan ini menggambarkan bahwa penduduk di sini merupakan kaum religius dan agamis.

Di tengah perjalanan, ada satu hal yang mengundang tanya di hati Darman setelah ia melihat sebuah gubuk reyot yang jauh dari pemukiman penduduk. Gubuk tua itu persis berada di sebuah kawasan hutan. Potret ini Darman saksikan dari sisi jalan yang mereka lalui.

“Amin! ini kan kawasan hutan lindung, kenapa ada gubuk tua yang berdiri terpencil di tengah hutan itu? apakah ada orang di situ?” tanya Darman penasaran.

Amin hanya diam saja seolah-olah tak mendengar pertanyaan Darman

“Amin! Amin! aku bertanya padamu, apa kau tak dengar?” Darman lebih memperkeras suaranya.

“Oh ya Pak! aku lupa menyampaikan satu hal pada Pak Darman, kuharap Bapak jangan pernah bertanya tentang gubuk itu dan orang-orang yang tinggal di situ” ucap Amin

“T-tapi m-mengapa aku tidak boleh bertanya?” tanya amin tergagap-gagap karena bingungnya

“Begitulah Pak! pokoknya Bapak jangan tanya soal gubuk tua itu lagi atau tidak nanti Bapak akan dibenci oleh warga di sini.” Amin mencoba menjelaskan.

Penjelasan Amin itu malah membingungkan Darman dan membuat Darman semakin penasaran. Sementara Amin terus saja menarik gas sepeda motornya hingga sampai ke tempat tujuan.

“Akhirnya kita sampai juga Pak” ucap Amin dengan lega

“Dusun ini diberi nama dusun Taman Muslim, ya … mungkin karena orang-orang di sini agamis, fanatik dan begitulah” lanjut Amin dengan tersenyum.

“Di sini tak ada listrik Pak! dan semoga Bapak betah tinggal di sini,” kata Amin lagi menutup ucapannya

Darman hanya mengangguk dan tersenyum sambil mengucapkan terimakasih pada Amin.

Darman dan Amin turun dari sepeda motor sesaat setelah sampai di halaman rumah Amin. kemudian Amin mempersilahkan Darman untuk masuk ke rumahnya.

Rencananya selama di daerah itu, Darman akan tinggal bersama Amin. Kebetulan Amin adalah seorang lajang tua yang belum beristri, jadi Darman pun tak merasa sungkan untuk tinggal di situ selama tiga minggu ini.

Setelah beristirahat sebentar, Darman dan Amin langsung meninjau lokasi proyek mereka. Banyak hal yang mereka lakukan di sana. Tiba-tiba terdengar suara adzan Ashar yang menggema. Tentunya sebagai seorang muslim, Darman haruslah menunaikan kewajibannya.

Darman sholat ashar berjamaah bersama warga sekitar. Mereka sholat di sebuah musholla yang tak jauh dari lokasi proyek.

Setelah sholat ashar, Darman menyempatkan diri membaca beberapa buku agama yang ada di musholla itu.

Tak lama kemudian, Darman mendengar suara berisik anak-anak di luar musholla. Mereka sepertinya sedang berantem dan entah apa yang mereka pertengkarkan. Lalu Darman mulai mendekati mereka dengan perlahan-lahan hingga Darman mendengar percakapan mereka.

“Ngapain kamu di sini, orang-orang tidak suka melihatmu” bentak seorang anak yang sengaja keluar dari mushola itu.

“Aku hanya ingin ikut belajar mengaji, ijinkan aku” ucap anak yang berkerudung putih itu sambil tampak seperti sangat bermohon.

Tiba-tiba datang seorang laki- laki dan langsung mengusir anak perempuan yang berkerudung putih itu untuk menjauh dari musholla.

“Pergi sana, tempatmu bukan di sini, pergi … ! dasar anak yang tak tahu diuntung,” hardik laki-laki dewasa itu kepada gadis kecil yang malang tersebut.

Melihat ini Darman tak tinggal diam dan ia langsung menghampiri mereka dan berkata.

“Abang gak boleh kasar gitu, apalagi sama anak-anak, kasihan dia,” ucap Darman pada laki-laki itu.

“Hey, Bapak jangan ikut campur, ini bukan urusan Bapak, Bapak ini orang pendatang dan tak tahu apa-apa, nanti Bapak menyesal.” Orang itu menunjuk-nunjuk wajah Darman.

“Tapi apa yang Abang lakukan ini tidak benar,” kata Darman

“Bapak yang tak benar.” Lalu pria pemarah ini mulai mengayunkan tinjunya kepada Darman

Beruntung Amin segera datang dan langsung mencegah perbuatan laki-laki yang sudah tersulut emosi itu.

“Apa-apaan ini Daud!” sergah Amin kepada laki-laki yang ternyata bernama Daud itu

“Tak bisakah kau sopan terhadap orang lain? Bapak ini atasanku.” Amin menerangkan tentang siapa sebenarnya Darman.

Tak lama dari perselisihan itu, terdengar pula suara seorang nenek tua yang sedang memanggil-manggil.

“Aisyah! Aisyah! cucu nenek!” seru nenek tua itu sambil memeluk sang bocah dengan tangisnya.

“Sudah nenek bilang jangan keluar” tegas nenek itu

“Aisyah hanya ingin belajar ngaji nek, Aisyah mau seperti anak-anak yang lain” ucap Aisyah sambil menangis.

“Tidak boleh Aisyah! kau tidak boleh belajar ngaji di musholla ini.”

“Tapi kenapa nek?” Bocah perempuan sembilan tahun itu meminta penjelasan dari neneknya.

Sang nenek tidak menjawab apa-apa. Ia hanya menangis dan sekali lagi ia mendekap cucu kesayangannya itu.

Nek Nimah … ! seru Daud pada nenek tua itu.

“Cepat kau pergi dan bawa cucumu dari sini, karena kalau kalian berlama-lama di sini, nanti musholla ini ikut terkena najis oleh kalian.” Daud membentak seraya mengusir Nek Nimah dan Aisyah, cucunya.

Darman menyaksikan semua yang terjadi. Perasaan Darman bercampur aduk. Ada kesedihan, bingung, geram dan juga marah melihat perlakuan Daud kepada kedua perempuan lemah itu.

Setelah orang-orang bubar dari situ, ternyata diam-diam Darman mengikuti Nek Nimah dan Aisyah tanpa mereka sadari. Di sepanjang jalan mereka berdua dicaci maki oleh masyarakat dan bahkan ada yang melempari mereka.

Darman sungguh terkejut dengan kebencian masyarakat terhadap Aisyah dan neneknya. Darman menyaksikan itu dengan rasa haru. Darman melihat keduanya masuk ke gubuk tua di kawasan hutan.

Darman teringat ucapan Amin bahwa jangan bertanya tentang gubuk dan orang-orang yang tinggal di situ. Ternyata Aisyah dan neneknya tinggal di gubuk terpencil itu.

Pada malam hari, sinar bulan yang seadanya menerangi seisi kampung, sungutan jangkrik membawa Darman hanyut dalam lamunan. Ia termenung seorang diri.

Ada banyak tanda tanya di kepala Darman. Diantaranya adalah tentang Aisyah dan neneknya yang seperti diasingkan di dusun ini.

Lalu Amin datang membawa dua cangkir kopi. Amin menyodorkan salah satunya untuk Darman hingga lamunan Darman buyar saat itu juga. Darman pun meraih secangkir kopi yang diberikan oleh Amin.

“Bapak kenapa, kok melamun?” tanya Amin sambil duduk di kursi dekat Darman.

“Aku bingung Min! tentang peristiwa tadi siang, sebenarnya apa yang telah terjadi di sini” ucap Darman membuka pembicaraan.

“Sudahlah Pak! tak usah Bapak pikirkan, lagi pula Bapak kan tak lama tinggal di sini. Yang terpenting sekarang bagaimana kita membuat proyek kita cepat selesai,” kata Amin

“Bukan begitu Min! Aku hanya ingin tahu saja, berceritalah padaku agar aku mengerti,” pinta Darman dengan serius.

Amin menghela napas panjang dan lalu ia berkata.

“Rodam, ya … Rodam.”

“Rodam … ” Darman mengulangi kata-kata Amin seraya mengerutkan dahinya

“Aisyah dan neneknya terkena Rodam oleh masyarakat dusun ini,” ungkap Amin

“Min! coba kau bicara dengan jelas, aku tak mengerti apa yang kau maksud, Rodam itu apa?” tanya Darman yang kelihatan semakin bingung.

“Rodam adalah istilah orang di sini
untuk menyebut suatu hukuman kepada seseorang dan keluarganya karena telah berbuat maksiat dan dinilai telah mencemarkan nama baik dusun Taman Muslim ini,” Amin menerangkan apa yang ia maksud.

“Lalu perbuatan maksiat apa yang telah dilakukan oleh Aisyah dan Nek Nimah?”

mendengar Darman bertanya kembali, Amin sekali lagi menghela napas panjang dan Amin pun berkata.

“Baiklah Pak! aku akan ceritakan semua yang terjadi di sini.”

“Dua belas tahun yang lalu ada seorang gadis remaja cantik yang tinggal di dusun ini. Namanya Sutriyah. Bahkan bisa dibilang Sutriyah adalah gadis yang paling cantik di sini.

“Sutriyah ingin sekali membahagiakan ibunya karena ia tak punya ayah lagi, Sutriyah bercita-cita merubah kehidupan ibunya yang miskin menjadi serba berkecukupan.

“Oleh ambisinya itu, Sutriyah merantau ke Malaysia. Dalam kurun satu tahun, Sutriyah sudah mampu membelikan ibunya sebuah rumah yang layak tinggal, sebidang tanah untuk ibunya bertanam padi dan satu perahu penangkap ikan. Semua itu Sutriyah beli untuk satu-satunya orangtua yang ia miliki yaitu ibunya

“Namun pada tahun berikutnya, terjadi pemulangan TKI besar-besaran dari Malaysia. Yang dianggap ilegal dipulangkan dengan tidak layak, termasuk Sutriyah.

“Kepulangan Sutriyah saat itu berbeda sekali. Sutriyah pulang dalam kondisi Hamil tua tanpa suami. Usut punya usut ternyata selama di Malaysia Sutriyah berprofesi sebagai seorang pelacur.

“Warga sangat marah padanya, mereka diusir, rumah mereka dibakar dan tanah serta usaha mereka dirampas. Mereka pun dikucilkan serta diasingkan di sebuah gubuk tua di kawasan hutan.

“Sampai akhirnya Sutriyah melahirkan seorang bayi perempuan yang cantik yang diberi mana Aisyah. Tiga hari setelah melahirkan Sutriyah bunuh diri dengan cara menggantung lehernya.

“Sekarang Aisyah mungkin berusia sekitar sembilan tahunan. Ia tinggal bersama neneknya di gubuk tua dalam hutan dan bocah kecil yang malang itulah yang kau lihat tadi siang.

“Sejak itu Aisyah dan Nek Nimah selalu diperlakukan buruk oleh warga-warga di sini. Setiap mereka bertemu penduduk dusun, Mereka selalu dihina, dicaci bahkan Aisyah yang tak mengerti apa-apa juga terkena imbasnya.

“Lalu sampai kapan orang-orang akan menghukum mereka seperti itu?” tanya Darman pada Amin

“Seumur hidup,” jawab Amin.

Mendengar ucapan Amin maka Darman tercengang di sela air mata yang sudah menggumpal di kedua bola matanya.

“Bagaimana nanti masa depan Aisyah? tanya Darman kembali

“Entahlah pak! kalau itu aku tak tahu, tapi kurasa memang Aisyah tak akan punya masa depan,” sahut Amin.

“Aku kerap melihat Aisyah ingin bersekolah di Ibtidaiyah, namun ia tak diterima, Aisyah itu ingin sekali belajar mengaji, Aisyah ingin tahu bagaimana cara membaca Al-Qur’an, tapi kesempatan itu tak akan pernah ada untuknya. Pahit betul kehidupan gadis bocah itu,” kata Amin sambil menyeruput kopinya yang mulai dingin.

“Pantas Daud begitu marah pada mereka berdua,” ujar Darman

“Daud? yang Bapak lihat dari Daud tadi siang itu bukan hanya sekedar marah tapi juga dendam,” kata Amin

Sekali lagi Darman mengerutkan keningnya.

“Dulu Daud pernah meminang Sutriyah sebelum Sutriyah berangkat ke Malaysia, tapi Sutriyah menolak Daud mentah-mentah. Daud sangat sakit hati terhadap Sutriyah dan keluarganya, Bahkan Daud selalu membuat isu macam-macam kepada warga agar semakin membenci Aisyah dan Nek Nimah.” Amin memberi penjelasan pada Darman.

“Kadang aku tak paham, katanya orang di sini adalah orang-orang yang taat beragama. Sedangkan agama tak pernah mengajarkan untuk menghukum orang yang tak bersalah” ucap Darman menyampaikan Argumennya.

“Itulah yang tak ku mengerti pak! ‘Rodam’ bukanlah adat, ‘Rodam’ hanya sebuah kesepakatan bersama diantara penduduk tapi hukumannya sungguh mengerikan dan tidak Manusiawi.” Amin mencoba menyampaikan pendapatnya.

“Ya udah lah pak!” sekarang kita tidur dulu, istirahat dulu sebab besok kita akan bekerja lagi. lalu keduanya masuk ke dalam rumah untuk tidur dan istirahat.

Sudah satu minggu Darman di daerah itu, Namun Darman tak pernah lagi melihat Aisyah, sang bocah yang ingin belajar mengaji kemarin.

Darman memutuskan untuk mengunjungi gubuk tua dalam hutan itu. Sesampainya di gubuk tua Darman melihat betapa miskinnya kehidupan mereka.

Darman membawa sebuah Al-Qur’an, sajadah dan mukena yang sengaja ingin Darman berikan kepada Aisyah.

Ternyata di dalam rumah tampak Aisyah duduk di samping neneknya yang sedang sakit. Sementara itu Aisyah sangat terkejut saat melihat kedatangan orang asing di gubuk mereka. Mungkin anak ini selalu depresi melihat orang-orang di sekitarnya.

“Jangan takut, Aisyah! aku tak seperti mereka, aku tak akan melukai kalian” cetus Darman untuk meyakinkan

Lalu Darman mendekati Aisyah dan berkata. “ini untukmu, Aisyah!” sambil menyodorkan apa yang ia bawa.

“Nenekmu kenapa?”
“N-nenek s-sakit Paman!” jawab Aisyah tergagap-gagap.

“Ambilkan semangkok air dingin, nenekmu akan dikompres biar panasnya reda” pinta Darman pada gadis kecil itu.

Aisyah lalu ke dapur dan mengambil semangkok air dan kemudian Darman meletakkannya ke dahi Nek Nimah.

“Katanya Aisyah ingin belajar ngaji, sini paman ajari” kata Darman

“Ya Paman.” Aisyah nampak tersenyum riang.

Beberapa kali Darman datang ke gubuk untuk mengajari Aisyah mengaji membaca Al-Qur’an sampai suatu ketika Nek Nimah dipanggil yang Maha Kuasa dalam sakitnya.
Yang lebih mirisnya lagi, tak ada satupun warga dusun yang Sudi datang dan menyelesaikan Fardhu kifayahnya, hanya Darman dan Amin yang mengambil peran itu.

Kini Aisyah tinggal sebatang kara dan untuk menemani rasa sedih serta sepinya, Darman semakin sering berkunjung ke gubuk itu.

Pada suatu hari Daud memprovokasi warga untuk mengusir Darman dari dusun Taman Muslim karena dinilai melanggar pantangan dan adat di situ.

Darman yang di temani Amin sedang berada di gubuk itu bersama Aisyah yang belajar mengaji. Mereka sangat terkejut waktu warga beramai-ramai datang dan bersorak.

“Usir orang kota itu, usir anak pelacur, usir anak haram itu.” begitu sorakan warga yang terdengar dengan keras.

“Tunggu, berikan kesempatanku untuk bicara” mohon Darman kepada warga.

Sejenak suasana menjadi hening dan Darman melanjutkan bicaranya.

“Aku ingin bertanya satu hal pada kalian semua, Apa yang salah pada diri anak ini?”

“Coba kalian pandang tatapan matanya yang polos itu, tatap dengan hati sanubari kalian, apakah ia pernah menyakiti hati kalian?”

“Ahh … ! kau mana tahu apa yang sebenarnya terjadi, kau ini orang baru,” sergah Daud dengan lantang

“Aku tahu,” sambut Darman
“Kalian menghukum anak ini karena ibunya bukan? karena ibunya seorang pelacur dan kalian tak pernah tahu siapa ayahnya.

“Lalu kalian asingkan dia, kalian hina dia, kalian hardik dan kalian caci maki anak ini, kemudian itu yang kalian sebut dengan hukuman ‘Rodam’, Rodam ini telah kalian jadikan adat, sedangkan Rodam hanyalah keputusan yang kalian buat sendiri untuk mewujudkan rasa marah kalian.

“Aku tahu, kau tahu, semua orang juga tahu tapi apakah Aisyah tahu mengapa kalian menghukumnya. Aisyah tak pernah tahu alasan itu, bahkan arti dari kata pelacur pun ia tidak tahu.

“Sebegitu terhormat kah kalian hingga merasa perlu menghukum anak yang tak berdosa ini.

“Lihatlah, Aisyah hanya ingin seperti anak-anak lainnya. ia ingin belajar mengaji, ia ingin belajar sholat dan ia juga ingin bersekolah seperti anak-anak kalian tapi kesempatan itu tak pernah ia dapatkan.

“Aku tahu, Aisyah ini bukan semulia Aisyah putrinya Abu Bakar dan Aisyah ini bukan pula sesuci Aisyah Ummu Sayyidah. Ia hanyalah Aisyah kecil yang sekedar ingin belajar mengaji, Aisyah yang sangat rindu sekali pandai membaca Al-Qur’an dan ia ingin mengumandangkan ayat-ayat suci Al-Qur’an itu. Apakah sekedar itupun ia tak berhak?

“Apakah anak ini terlalu kotor di mata kalian? sehingga kalian harus membuangnya.”

Darman memyampaikan semua itu dengan air mata yang berderai dan dengan ketulusan hati yang terdalam. Sementara orang-orang yang mendengar itu hanya terdiam dan tak ada satu patah katapun yang keluar dari mulut mereka.

Kemudian Darman memegang kedua bahu dan menatap kedua mata Aisyah seraya berucap.

“Aisyah! hati mereka hanyalah segumpal daging yang berada di antara paru-paru, kau tak akan menemukan nurani di dalamnya.

“Hati mereka sudah terlalu dipenuhi kebencian, hingga tak ada ruang kosong yang tersisa untuk tempatmu di dalam hati mereka.

“Mereka tak bisa belajar memahami perasaanmu, itu artinya tak ada lagi tempat bagimu di dusun Taman Muslim ini.

“Aisyah! ikutlah dengan paman. Paman akan membawamu ke sebuah tempat di mana tak akan ada lagi orang yang bertanya tentang siapa ayah dan ibumu, karena paman akan menjadi ayah untukmu dan istri paman akan menjadi ibu bagimu.

“Kami akan menyayangimu seperti darah daging kami sendiri dan akan selalu melindungimu lebih dari nyawa kami.

“Apakah kau mau?” tanya Darman dengan mata berlinang.

Aisyah mengangguk-angguk sambil menangis dan langsung memeluk Darman. Pelukan itu erat sekali

“Ayah!” ucap Aisyah di telinga Darman seperti berbisik. Lalu Darman tersenyum di sela tangisnya sambil menghapus air mata Aisyah yang masih lekat di pipi kiri dan kanannya.

Tiba-tiba
“Kurang ajar, kau terlalu banyak bicara.” Suara Daud terdengar lantang sambil tinjunya memukul keras rahang kiri Darman hingga Darman tersungkur.

Melihat Darman tersungkur, maka Amin menarik Daud dan memukulnya hingga terjatuh. Perkelahian antara Daud dan Amin tak bisa terelakkan. Perkelahian ini terjadi begitu sengit. Beberapa kali terlihat Daud terjungkir balik karena tak mampu menahan pukulan dari Amin. Amin berkali-kali menjatuhkan Daud.

Sementara orang-orang yang ada di situ berlarian melihat kericuhan yang terjadi dan ada di antara mereka yang memanggil pihak keamanan.

Sedangkan pergulatan antara Daud dan Amin masih berlangsung hingga Daud terlempar ke tempat yang tak jauh dari Darman yang sedang memeluk Aisyah. Daud sontak menarik pisau dari pinggangnya dan hendak menusuk Darman namun dalam upaya mencegah ini Perut Aminlah yang akhirnya terkena tusukan pisau Daud.

Darah kental keluar dan bercucuran dari perut Amin, lalu Darman memangku Amin yang sedang sekarat itu. Sebelum napas Amin berakhir, Amin sempat berucap pada Darman dengan terengah-engah.

“Pak Darman! bawa Aisyah dari tempat ini, jaga dan lindungilah Aisyah.” Setelah mengatakan itu maka Amin menghembuskan napas terakhirnya.

Darman menangis keras dan mendekap mayat Amin yang berlumuran darah itu.

Tak lama pihak berwajib pun datang dan menjebloskan Daud ke penjara dalam waktu yang begitu lama karena pembunuhan yang dilakukan Daud terhadap Amin.

Karena peristiwa ini, Darman di pecat dari pekerjaannya. Darman dianggap tak becus dalam melaksanakan tugas.

Darman tak kecewa dengan keputusan Perusahaan sebab pekerjaan dapat dicari. Yang terpenting kini adalah Darman dapat membawa Aisyah pulang bersamanya ke Jakarta.

Darman menceritakan hal yang terjadi pada Aisyah kepada Linda istrinya. Linda merasa senang sekali atas kehadiran Aisyah di rumah mereka. Aisyah kini menjadi cahaya di tengah gulitanya rumah tangga Darman dan Linda yang selama ini memimpikan seorang anak.

Aisyah dibesarkan oleh Darman dan Linda dengan penuh kasih sayang, Aisyah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari keluarga mereka hingga kini.

Tak terasa sudah sepuluh tahun berlalu sejak peristiwa menyedihkan itu. Sekarang Aisyah telah berusia sembilan belas tahun. Ia tumbuh menjadi remaja yang cantik dan solehah serta yang mengagumkan lagi, kini Aisyah adalah seorang hafidz Qur’an. Aisyah telah menghafal lima belas Juz Al-Qur’an.

Aisyah yang sekarang selalu terlihat tersenyum dan ceria sebagai tanda kebahagiaan seperti yang terdengar pada sapaan riangnya kepada Darman dan Linda setiap paginya

“Ayah …! Ibu … ! Assalamualaikum, selamat pagi, aku sayang kalian berdua,” ucap Aisyah dengan gembira.

#kisah_ini_hanya_fiktif_belaka
#nama_tokoh_dan_tempat_kejadian_hanya_imajinasi
#tak_ada_dosa_keturunan
#jadilah_cahaya_buat_sesama
#mohon_maaf_jika_ada_kesalahan

Komentar