Rakyat Korban Karhutla? Aksi Gamali dan Penguatan Pakar Ahli Bergema Kembali

MERANTI, Sinkap.info – Gerakan Aliansi Mahasiswa dan Pemuda Peduli Meranti (Gamali) kembali menggelar hearing (dengar pendapat) terkait kasus Kebakaran Lahan dan Hutan (Karlahut). Sebelumnya bersama Komisi I DPRD Kabupaten Kepulauan Meranti, pertemuan Gamali di rumah rakyat tersebut berlangsung sengit, karena kedua belah pihak tak tercapai kesamaan persepsi.

Waluyo, aktivis Gamali yang juga Ketua Umum HMI Cabang Kepulauan Meranti mengatakan Biro Hukum Pemkab Meranti yang ikut hadir tak bisa berbuat banyak.

“Ya, kami ingin Wakil Rakyat memperhatikan aspirasi masyarakat. Tugas dewan kan memperjuangkan, menelaah apa yang berkembang di Masyarakat. Kami dari HMI sudah investigasi di lapangan, sungguh miris tuduhan pada Pak Mujiman. Kami minta Komisi I menginvestigasi dan mengecek laporan kami. Tapi sayang sekali, perwakilan biro hukum mengaku proses hukum susah nak diapa-apakan lagi,” ungkap Waluyo berapi api.

Menurut informasi dan selebaran yang diterima Kru Sinkap.info, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Kepulauan Meranti melanjutkan aksi damai (31/8) untuk menuntut Keadilan hukum Pembebasan Mujiman.

Diketahui, Mujiman warga desa Lukit sedang menjalani persidangan dengan dakwaan membakar lahan di Pengadilan Negeri Bengkalis dengan agenda Pledoi (pembelaan) pada Selasa (2/9) depan.

Dihubungi terpisah, Pakar Lingkungan Dr. Elviriadi menyampaikan rasa prihatin atas kejadian itu. “Wadummmaaaak, ajaplah rakyat kami di Riau ini Wak!,” ujarnya.

Kepala Departemen Perubahan Iklim Majelis Nasional KAHMI itu meminta supaya pemerintah mengevaluasi perizinan dan pengecekan tata batas.

Mengawali pokok pembahasan, Dr. Elviriadi menjelaskan, solusi Karhutla ini kan pada evaluasi penggunaan lahan yang sembrono. Kurangilah ekstrimitas penggunaan lahan konsesi niscaya pulihlah daya dukung lingkungan, yang tidak mampu kelola izin sesuai aturan, cabut izin (parsial) area konsesi yang terbakar.

“Silahkan check tata batas yang melebihi ijin, kan dah banyak diberitakan itu perusahaan mana aja. Wilayah Riau 1, 2 juta illegal, belum yang menambah sendiri diluar tata batas. Itu smua pangkal pokok terjadi Karhutla itu,” jelas putra kelahiran Meranti itu.

Tapi sungguh sayang, kata Pengurus LAM Riau itu, yang terjadi justru pendekatan hukum pada rakyat pedesaan yang tak tau menahu soal politik para elit yang mengeksploitasi alam demi entah apa.

“Ah, payah lah, UU No. 32 tahun 2009 yang dipakai itu, satu pun tak ada bicara penduduk lokal yang skala usahanya kecil. Dari pasal 65 tentang larangan, 70, 71, 75, 80-101 itu bicara dampak penting, AMDAL, strick liability (tanggung jawab spontan) dan instrumen yuridis skala usaha besar yang massif dan menimbulkan kerusakan lingkungan signifikan.

“Ini masak tanah warga terbakar diukur ukur pulak oleh ahli dari tanah seberang ngitung ngitung emisi, rehabilitasi lahan sampai bermilyard, eeeh, diproses hukum dan ditangkap,” terang Elv.

Ketahuilah, sambung Elv, tanah warga itu kan dilindungi pasal 551 KUHP, tak boleh sembarangan masuk dan menghitung hitung. Lagian biaya rehabilitasi tanah hak milik sendiri terbakar sedikit, kok negara pulak yang menuntut. Kalau perusahaan iya lah bisa itu strick liability, status tanah milik negara.

“Kacau ini, tak beralas pengetahuan memadai. Mau jadi apa negara kita ini?,” pungkas tokoh muda melayu yang istiqamah gunduli kepala demi nasib hutan.

SINKAP.info | Editor: Mkh

Komentar