ISLAM, SINKAP.info – (1) Di ujung Qs.2:185 Allah Subhānahu wa Ta‘ālā berfirman:
ولتكملوا العدة ولتكبروا الله على ما هداكم ولعلكم تشكرون
“… dan hendaklah kalian sempurnakan bilangan puasa kalian lalu (jika sudah sempurna) besarkanlah nama Allah yang telah memberi kalian hidayah (dalam melakukan Puasa) dan agar kalian senantiasa bersyukur.”
Indah sekali anjuran Allah itu. Sangat nikmat bunyinya. Menyentuh kalbu dan menyejukkan jiwa.
Dalam Fī Zhilāl al-Qur’ān (Di Bawah Naungan Al-Qur’an) Sayyid Qutb menyatakan bahwa Puasa itu adalah nikmat. Maka ia berhak untuk mendapat takzim melalui ungkapan takbir dan syukur. Dan merupakan puncak kewajiban ketika orang-orang Mukmin merasakan nikmat hidayah yang dimudahkan Allah meraihnya. Dan hidayah ini mereka temukan selama Puasa yang tidak mereka nikmati sedahsyat masa ini.
Hati kaum beriman benar-benar tertutup dari berpikir untuk melakukan maksiat. Dan, seluruh anggota tubuh mereka terkunci kuat: tidak ingin mengerjakan maksiat itu. Hidayah benar-benar mereka rasakan. Maka, hendaklah mereka bertakbir atas hidayah ini dan bersyukur atas nikmat hidayah ini. Dengan begitu hati-hati mereka kembali kepada Allah untuk melakukan ketaatan. (Sayyid Qutb, Fī Zhilāl al-Qur’ān (Kairo: Maktabah as-Syurūq ad-Dawliyyah, 1423 H/2003 M): 1/172).
Kalau bukan karena hidayah, petunjuk dan bimbingan Allah rasanya memang sulit untuk mengerjakan Puasa. Itu sebabnya yang dipanggil oleh Allah adalah ‘kaum beriman’ (al-ladzīn āmanū) karena Puasa dasarnya adalah iman kepada Allah dan rasul-Nya. Keimanan inilah yang dimasukkan oleh Allah ke dalam hati hamba-Nya sehingga begitu ringan bagi mereka melakukan ibadah Puasa.
(2)
Nah, dengan hidayah Allah itulah Puasa ini dapat dituntaskan dengan sempurna. Tentu dengan segala rangkaian ibadah yang ada di dalamnya: sahur, berbuka, qiyam Ramadhan (tarawih), tadarus Al-Qur’an, berbagi bukaan, shalar berjamaah, hingga Iktikaf selama sepuluh hari sepuluh malam.
Bukankah tanpa hidayah Allah semua itu sangat memberatkan dan melelahkan. Karena semuanya harus dilakukan sebulan penuh. Maka, hidayah ini patut dibesarkan dengan mengagungkan nama Allah, Allahu Akbar!. Dan, karena hidayah ini merupakan nikmat yang begitu agung, ia harus disyukuri dengan semaksimal mungkin. Itulah ekspresi “terima-kasih” kita kepada Allah yang telah menganugerahkan nikmat agung ini.
(3)
Usai mengharuskan kita bertakbir dan bersyukur karena hati dan jiwa kita telah mendapatkan “pencerahan ruhani” atau biasa disebut dengan “isyrāq”. Maka ia harus kepada Allah yang telah memberinya taufiq dalam menunaikan Puasanya. Ibadah Puasa yang kita duga menyulitkan dan menyusahkan ternyata dengan taufiq Allah begitu ringan. Maka, bersyukurlah. Meskipun sejak terbit fajar nikmat makan, minum dan hubungan biologis hingga terbenam matahari benar-benar ditahan karena dilarang Allah, tapi di sebalik larangan sementara itu terdapat nikmat yang lebih besar. Diantaranya adalah nikmat “pencahayaan” dan “penyinaran” qalbu. Jiwa pun kembali bersinar. Sehingga syariat Puasa pun terasa nikmat dan menyenangkan. Allahu Akbar. Allahu Akbar. Maka, bertakbirlah kita. Kita agungkan nama Allah.
Dengan penghayatan seperti ini sampailah kita kepada kesimpulan penting bahwa di balik setiap perintah Allah terdapat hikmah besar. Ia akan tersingkap ketika kita ikhlas menerima dan mengerjakannya. Maka, dalam Puasa hikmah-hikmah itu diberikan oleh Allah kepada kita. Dan hikmah paling utama adalah: Puasa adalah wasilah menggapai derajat takwa.
Maka, sekali lagi, mari kita sempurnakan bilangan Puasa kita. Kita genapkan bilangannya. Ibarat pepatah nenek-moyang dahulu: “Berlayar sampai ke pula, berjalan sampai ke batas.” Puasa jangan tanggung. Harus lengkap. Dan ketika usai berarti Allah telah memberikan hidayah dan taufiq-Nya sehingga kita tuntas menunaikan perintah-Nya. Maka, takbirkan nama-Nya; Allahu Akbar. Dan, syukuri nikmat hidayah dan taufiq itu dengan sungguh-sungguh dan sepenuh hati. Allahu Akbar. Allahu Akbar. Wa Lillahi’l-hamd. (Ahad, 30 Ramadhan 1443 H/1 Mei 2022 M).