JAKARTA, SINKAP.info – Akademisi dan pengamat hubungan luar negeri menekankan pentingnya Indonesia menjaga keseimbangan dalam diplomasi pertahanan dengan China, tanpa mengorbankan hubungan strategis dengan negara-negara lain, termasuk negara-negara Barat. Hal ini disampaikan dalam seminar publik yang diselenggarakan oleh Program Studi Keamanan Maritim Universitas Pertahanan (Unhan) dengan tema “Jatuh Bangun Hubungan Pertahanan dan Keamanan Indonesia-China”.
Seminar yang diadakan di Jakarta ini didukung oleh Forum Sinologi Indonesia (FSI) dan Indonesian Maritime Initiative (Indomasive), serta dimoderatori oleh Direktur Penelitian Indo-Pacific Strategic Intelligence (ISI) Indonesia, Aisha Rasyidila Kusumasomantri. Pembukaan acara dilakukan oleh Ketua Prodi Keamanan Maritim Unhan, Kolonel Laut (E) Lukman Yudho Prakoso.
Johanes Herlijanto, Ketua FSI yang juga Dosen Pascasarjana Universitas Pelita Harapan, menyampaikan pandangannya tentang hubungan pertahanan Indonesia-China. Menurutnya, Indonesia perlu berhati-hati dalam meningkatkan kerja sama pertahanan dengan China, terutama dalam konteks klaim teritorial di Laut Natuna Utara yang melibatkan China.
“Beijing mungkin berusaha untuk membuat militer Indonesia lebih lunak terkait klaim sepihak mereka di kawasan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia,” ujar Johanes.
Selain itu, ia menambahkan, kerja sama ini berpotensi menimbulkan ketergantungan Indonesia pada alat utama sistem senjata (alutsista) dari China, yang dapat mengundang kekhawatiran dari negara-negara Barat yang memiliki hubungan militer dengan Indonesia.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Dave A. F. Laksono, mengungkapkan bahwa kerja sama pertahanan Indonesia-China masih menjadi aspek yang lemah dalam hubungan bilateral kedua negara. Salah satu hambatan utama adalah sikap konfrontatif China di Laut China Selatan (LCS) yang berkontribusi pada ketegangan hubungan pertahanan.
“Keputusan Indonesia untuk menghentikan latihan militer Sharp Knife dengan China pada 2015 adalah salah satu bukti ketegangan ini,” ujar Dave.
Dave juga menyoroti risiko yang timbul dari kerja sama pertahanan dengan China, di antaranya ketegangan dengan negara-negara Barat yang menganggap China sebagai ancaman, serta risiko ketergantungan pada teknologi dan alat pertahanan dari China yang dapat mempengaruhi kedaulatan Indonesia.
Namun, meskipun ada potensi risiko, Dave menegaskan bahwa Indonesia bisa memanfaatkan kerja sama pertahanan dengan China untuk kepentingan nasional, misalnya dengan menggunakan forum kerja sama untuk menyampaikan protes terkait tindakan sepihak China di Laut Natuna Utara.
Lebih lanjut, Laksamana Muda TNI (Purn) Surya Wiranto dan Direktur Eksekutif ISI, Curie Maharani, menyampaikan pandangan mereka terkait kerja sama ini. Curie mengungkapkan bahwa China berpotensi menjadi sumber impor senjata bagi Indonesia tanpa ikatan politik yang mengikat, sementara Surya menekankan pentingnya Indonesia memperkuat diplomasi multilateral dan menjaga transparansi dalam kerja sama pertahanan dengan China.
“Langkah strategis lainnya adalah meningkatkan kemandirian ekonomi Indonesia untuk mengurangi ketergantungan pada China,” kata Surya menutup pembahasannya.
Dengan demikian, meskipun kerja sama pertahanan Indonesia-China memiliki keuntungan dan kerugian, para pembicara sepakat bahwa Indonesia perlu menjalankan strategi diplomasi yang bijaksana untuk mengelola hubungan ini demi kepentingan nasional.