OPINI, Sinkap.info – Sejak diumumkannya pasien pertama Covid-19 di Indonesia pada 2 maret 2020 lalu hingga kini meluasnya wilayah sebaran dan semakin banyaknya korban yang terinfeksi Covid-19, sampai saat ini belum ada langkah konkret yang dilakukan pemerintah untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19.
Seperti yang sudah kita ketahui dari awal penyebaran virus ini di Wuhan Cina sudah menyebabkan banyaknya korban dengan kecepatan penyebaran yang begitu signifikan setiap harinya. Sudah ribuan pasien yang terinfeksi dan ribuan pula yang meninggal, bahkan virus tersebut sudah menyebar ke seluruh negara tak terkecuali negara-negara maju dengan segala kecanggihan teknologinya contoh saja seperti Italy, Amerika, Jepang, Korea Selatan dan lain-lain tidak mampu menahan serangan dari virus Covid-19 ini.
Negara-negara yang terkena dampak sebaran Covid-19 melakukan lockdown dan mengarantina seluruh rakyatnya baik yang sudah terinfeksi maupun yang sehat, lalu bagaimana dengan Indonesia?
Melihat begitu cepatnya sebaran Covid-19 di dunia, Indonesia harusnya mampu melihat dan mampu belajar dari apa yang terjadi pada negara-negara tersebut dan mengambil tindakan dini untuk pencegahan sehingga dapat meninimalkan risiko sebarannya. Namun hingga diumumkannya pasien pertama oleh presiden tak juga membuat pemerintah sadar dan waspada disaat masyarakat mengalami kepanikan akan bahayanya Covid-19. Pemerintah tak berupaya untuk melakukan pembatasan kunjungan turis maupun perjalanan luar negeri. Pemerintah lamban tangani penyebaran covid-19.
Hingga akhirnya kepala daerah DKI Jakarta mengambil sebuah tindakan yang justru menampakkan bahwa lambatnya pemerintah kita dalam menanggapi wabah pandemi ini. Seolah-olah pemerintah tidak menganggap serius penanganan wabah ini dan melepaskan tanggung jawab kepada kepala daerah. Seperti yang diperintahkan Presiden Jokowi kepada kepala daerah untuk menentukan status bencana di daerah masing-masing dengan berkonsultasi bersama BNPB. Semestinya seorang presiden yang memegang otoritas penuh dalam menyampaikan sebuah kebijakan nasional sehingga tidak akan terjadi kerancuan kebijakan di tiap-tiap daerah.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Who Tedros Adhanom Ghebreyesus lewat suratnya kepada Jokowi, 10 Maret 2020, menyarankan dengan sangat (strongly recommends) agar Jokowi meningkatkan mekanisme tanggap darurat (emergency response), termasuk mendeklarasikan darurat nasional.
Melihat betapa lambannya respon pemerintah dalam penanganan wabah pandemi ini, Indonesia bagaikan sebuah negara tanpa adanya pemimpin negara yang mampu melindungi rakyatnya, bahkan terhadap para tim medis yang berada di barisan garda terdepan pun tak terlihan keseriusan seorang kepala negara dalam memfasilitasi tim medis dengan peralatan yang sesuai dengan standar kesehatan untuk melindungi diri dan menangani sebuah wabah pandemi yang hingga kini belum ada vaksinnya.
Padahal, dalam undang-undang tentang penanggulangan bencana menjelaskan pihak yang menetapkan status keadaan darurat adalah pemerintah atas rekomendasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Berikut ini bunyi pasal 1 nomor 19, undang-undang tentang penanggulangan bencana: “Status keadaan darurat bencana adalah suatu keadaan yang ditetapkan oleh pemerintah untuk jangka waktu tertentu atas dasar rekomendasi badan yang diberi tugas untuk menanggulangi bencana.”
Jadi sebuah kebijakan dalam mengatasi sebuah bencana wabah pandemi merupakan kewajiban dari seorang pemimpin negara yang sangat diharapkan oleh seluruh rakyat. Yakni sebuah kebijakan-kebijakan tegas dan cepat tanggap dalam merespon sebuah bencana, sebuah kebijakan yang tidak sembrono dan tak produktif yang diambil oleh seorang kepala negara. []
Penulis: Nora Trisna Tumewa
Komentar