SASTRA, Sinkap.info – “Bagaimana kondisi Nuri, anak kami, dok?” tanya seorang pria berdasi bersama istrinya yang dari tadi terlihat begitu cemas.
“Begini, Pak Fadli! kondisi Nuri semakin lama akan semakin melemah, artinya kita harus lakukan secepatnya operasi transplantasi hati, tapi kita belum menemukan pendonor buat Nuri,” papar dokter itu pada Fadli.
“Dokter, lakukan yang terbaik pada anak kami, berapapun besar biayanya itu tak masalah,” pinta Fadli.
“Bapak dan Ibu berdoa saja, insyaallah akan ada jalan terbaik buat Nuri,” ujar dokter Yudha.
“Terimakasih banyak, dok!” ucap Fadli pada dokter Yudha.
“Baiklah Pak Fadli, Bu Ida saya permisi dulu,” kata dokter itu sembari meninggalkan Fadli dan istrinya.
Sementara Nuri masih terbaring di ranjang pesakitan. Anak perempuan berusia lima belas tahun itu, sudah terlalu sering keluar masuk Rumah Sakit ini. Peralatan medis, selang oksigen dan sebotol cairan infus seakan ikut berjuang membantu Nuri dalam melawan penyakitnya sendiri. Peradangan hati yang diidap Nuri, membuat kesehatan Nuri yang kian hari kian terus menurun.
Tentu saja kondisi Nuri ini sangat mengkhawatirkan kedua orang tuanya. Sebagai orang tua, Fadli dan Ida terus berharap agar Tuhan secepatnya mengirimkan malaikat pendonor hati supaya operasi dapat segera dilakukan.
Sudah seminggu Nuri di Rumah Sakit. Hari ini Nuri telah merasa sedikit lebih baik dan dokter pun sudah mengijinkan Nuri untuk pulang ke rumahnya.
Rumah Nuri begitu megah, namun Nuri tetap merasa kesepian di situ. Kesibukan kedua orangtuanya membuat Nuri selalu dibelenggu sunyi, sendiri dan tiada teman berbagi cerita.
Fadli berprofesi sebagai seorang manajer perusahaan dan begitu pula dengan Ida yang sedang mengembangkan usaha butik miliknya yang ia geluti sejak lama bahkan jauh sebelum ia menikah.
Surabaya menjadi kota bisnis yang menjanjikan buat Fadli dan Ida dalam meniti karir mereka, namun ambisi Fadli dan Ida ternyata menyeret keduanya menjadi bagian dari masyarakat urban yang materialistis. Hari-hari mereka sibuk dengan urusan pekerjaan dan pekerjaan saja, hingga kedua orang tua ini tak punya waktu banyak untuk menemani Nuri dalam mengisi hari-harinya yang sepi itu.
Selama ini, Nuri hanya diurus oleh seorang pembantu, tapi kali ini seperti kesunyian ini semakin pekat terasa di benak Nuri sebab Bi Ijah ‘Si Pembantu’ itu tak lagi bekerja di rumah mereka sejak seminggu yang lalu.
Nampaknya, Fadli mulai memahami kondisi anaknya itu. Makanya pada libur sekolah tahun ini, Fadli dan keluarga memutuskan untuk berlibur ke kampung halaman Fadli yaitu di Sei Berombang, sebuah perkampungan pesisir di mana dulu Fadli pernah lahirkan di sana.
Hampir dua puluh tahun lamanya, Fadli tak pernah kembali ke tanah kelahirannya itu. Hal ini karena memang Fadli adalah seorang yatim piatu. Kehidupan sebatang kara yang penuh kepahitan ini, memaksa Fadli harus merantau dan berkelana. Sampai pada puncaknya Fadli menemukan Ida sebagai tambatan hati yang dinikahinya delapan belas tahun silam.
Kepulangan Fadli kali ini, selain bertujuan untuk berziarah ke makam ayah dan ibunya, Fadli juga ingin memberikan suasana baru buat Nuri, setidaknya dalam beberapa hari ini, Fadli dan Ida dapat menghabiskan waktu bersama anak semata wayang mereka.
Untuk beberapa hari di Sei Berombang, Fadli dan keluarga tinggal di rumah sahabat baiknya yaitu Tamrin. Dulu Fadli dan Tamrin merupakan teman dekat, teman yang saling memahami antara satu dan yang lainnya.
Hari-hari Nuri terasa bahagia. Kebersamaan Nuri berserta ayah dan ibunya telah berhasil mengukir senyum di bibir gadis kecil itu.
Pada suatu ketika, Nuri diajak berbelanja oleh ibunya di sebuah pasar tradisional. Berbagai kebutuhan rumah tangga ada di situ.
Di sela kebisingan suara pasar, tanpa sengaja Nuri melihat seorang Ibu tak seberapa tua sedang berjalan kaki sambil mengendong seorang bocah perempuan. Bocah itu kita kira seumuran dengan Nuri.
Sepasang bola mata Nuri terus saja lekat menyoroti Ibu dan anak itu. Nuri meninggalkan ibunya yang tengah sibuk memilih-milih barang yang hendak mereka beli. Nuri pun berjalan menghampiri apa yang ia lihat dari tadi.
Nuri semakin mendekat, ternyata ibu yang dilihat Nuri ini adalah seorang pedagang sapu lidi. Terdapat empat ikat sapu lidi yang ia jajakan di situ. Sedangkan anak perempuan yang ibu gendong tersebut sepertinya kondisi bocah perempuan itu lumpuh dan buta.
“Ada apa nak? mau beli sapu lidi ibu?” tanya Ibu perempuan itu pada Nuri.
Nuri hanya menggelengkan kepalanya. Kemudian ibu pedagang sapu lidi itu hanya tersenyum saja melihat Nuri.
“Siapa Bu? pembeli ya? tanya bocah buta dan lumpuh itu pada Ibunya.
“Ibu! kalau dagangan kita habis terjual, maka hari ini kita akan beli beras kan Bu, hari ini kita tak akan makan ubi lagi, iya kan Bu?” bocah cacat itu melanjutkan pertanyaannya.
“Ibunya hanya diam, matanya sedikit bergenang air. Ia hanya mengelus-elus kepala anaknya yang bertanya itu.
Sedangkan Nuri merasa iba pada ibu dan anak ini. Nuri merogoh kantongnya sambil bertanya.
“Bu, seikat sapu lidinya berapa sih Bu?”
“Tujuh ribu,” sambut anak buta dan lumpuh itu menjawab pertanyaan Nuri
“Kalau begitu, saya beli semua, empat ikat sapu lidi ini,” ujar Nuri sembari menyerahkan selembar uang lima puluh ribuan.
“Tak ada uang kembalian nak!” ucap ibu pedagang itu.
“Tak usah Bu! kembalinya untuk ibu saja,” pungkas Nuri sambil pergi membawa empat ikat sapu lidi yang dibelinya itu.
Ibu pedagang tersebut hanya tercengang dan tak bisa berbuat apa-apa lagi bahkan ucapan terimakasih pun tak sempat ia ucapkan pada Nuri.
Tiba-tiba, Nuri dipanggil oleh Ida, ibunya.
“Nuri, untuk apa kau beli sapu lidi sebanyak ini?” tanya ibunya dengan nada heran.
Untuk menjawab pertanyaan ibunya, Nuri menceritakan apa yang ia saksikan di pasar tadi. Nuri mengatakan bahwa ia merasa kasihan sekali sehingga Nuri membeli semua sapu lidi yang dijual Ibu itu.
Sesampainya di rumah, Ida bercerita pada Rosmah istrinya Tamrin. Ida menceritakan perilaku Nuri saat di pasar tadi.
Rosmah menjelaskan bahwa yang dimaksud Nuri itu mungkin adalah Hawa. Hawa ini sehari-hari memang menjual sapu lidi buatan sendiri untuk ia jual di pasar. Hawa merupakan Janda dengan satu anak perempuan yang bersusia lima belas tahun. Anak itu bernama Bulan.
Bulan adalah bocah perempuan yang cacat. Ia lumpuh dan buta. Hawa selalu menggendong Bulan saat pergi dan pulang berjualan. Semua ini terpaksa Hawa lakukan sebab tak ada yang mengurus Bulan di rumah saat Hawa berdagang. Hawa bertempat tinggal pada sebuah gang yang tidak jauh dari kediaman Tamrin.
Keesokan harinya, Nuri berniat bertandang ke rumah Bulan. Nuri ingin berteman dengan Bulan. Nuri masih ingat alamat Bulan seperti yang dikatakan Bu Rosmah kemarin.
“Assalamualaikum.” Nuri mengucapkan salam di depan rumah Bulan.
“Waalaikum salam,” sahut Hawa dari dalam rumah seraya membuka pintu rumahnya.
Sejenak Hawa mencoba mengenali perempuan kecil yang datang kerumahnya itu.
“Saya Nuri, Bu! kita bertemu kemarin di pasar,” ujar Nuri mengingatkan.
“Oh iya, maaf ibu lupa mengucapkan terimakasih kasih waktu itu,” kata Hawa.
Nuri hanya tersenyum dan berkata.
“Bulan ada Bu?” tanya Nuri pada Hawa.
“Kau mengenal Bulan?” Hawa balik bertanya pada Nuri dengan sedikit bingung.
Nuri kembali tersenyum dan ia menjelaskan bahwa niatnya ingin berteman dengan Bulan.
“Baiklah, Nuri! Bulan ada di taman samping rumah, ayo ibu antar nak Nuri menemui Bulan,” ajak Hawa.
Sesampainya di taman bunga, Nuri seperti terperanjat melihat keindahan bunga-bunga yang di tanam di situ. sementara Nuri mendapati Bulan yang sedang meraba-raba bunga yang ada dalam jambangan- jambangan itu.
“Bulan, aku Nuri.” ucap Nuri memperkenalkan diri sambil meraih tangan Bulan.
“Kemarin kita bertemu di pasar, aku yang membeli sapu lidi dagangan ibumu,” lanjut Nuri untuk meyakinkan Bulan.
Bulan terlihat tersenyum dan Bulan meletakkan telapak tangannya ke arah muka Nuri dan ia mengusap wajah Nuri sebagi upaya untuk menghafal dan mengenali wajah Nuri. Lalu bulan berkata.
“Terimakasih, Nuri! kau telah sudi mengunjungiku, selama ini aku tak pernah punya seorang teman, aku terperangkap dalam kegelapan ini,” ungkap Nuri.
“Mulai sekarang aku akan menjadi temanmu Bulan! meski aku hanya beberapa hari di sini” tegas Nuri pada Bulan.
“Terimakasih Nur” ucap Bulan.
“Sungguh indah taman ini, bunga-bunga yang tumbuh berwarna-warni.” Nuri menyatakan apa yang sedang ia rasakan.
“Apa bedanya bagiku, Nur! dalam hidup ini, aku hanya mengerti satu wana saja yaitu gelap, tak ada selain itu. Bulan juga mengungkapkan apa yang ia rasa.
“Jangan khawatir Lan! aku akan menceritakan semua yang ingin kau lihat, aku akan menjadi mata bagimu, apa kau mau?”
Bulan hanya mengangguk saja mendengar ucapan Nuri itu. Percakapan antara Nuri dan Bulan kian terlihat akrab. Mereka berdua tertawa bersama dan saling bergurau.
Sesekali tampak Bulan dan Nuri bermain tebak-tebakan warna bunga-bunga yang ada di taman itu. Agar permainan tebak-tebakan warna bunga ini terasa lebih adil, maka Nuri menutup kedua matanya dengan sehelai kain.
Dari kejauhan, Hawa melihat keakraban anaknya Bulan dan teman barunya Nuri. Sontak air mata Hawa mengalir bagai air sungai yang keluar di kaki bukit. kelopak mata wanita tak bersuami itu basah di banjiri bahagia bercampur haru.
Bagaimana tidak, sepanjang hidup Hawa, ia tak pernah melihat Bulan sebahagia hari ini.
Sore pun tiba, langit mulai hitam. Matahari sebentar lagi akan pulang kepangkuan alam, itu tandanya senja akan segera datang menjelma. Nuri pun pamit pulang. Ia juga tak ingin ayah dan ibunya khawatir karena mencarinya.
Semenjak itu, Nuri semakin sering bermain bersama Bulan. Kedekatan mereka semakin erat dari hari ke hari. Persahabatan mereka pun semakin kuat. Nuri sengaja tak memberitahu Bulan maupun ibunya, Hawa tentang penyakit yang selama ini diderita Nuri, karena Nuri dilarang oleh Ayah dan ibunya memberitahu siapapun tentang penyakitnya.
Sementara Fadli dan Ida sebagai orang tua dari Nuri tampak bahagia sebab akhir-akhir ini Nuri terlihat begitu ceria dan gembira, mereka juga ikut senang melihat perkembangan mental Nuri.
Namun ada satu hal yang membuat Fadli dan Ida merasa heran yaitu selepas Sholat Zhuhur, Nuri pasti menghilang dan kembali baru pada sore harinya. Untuk menjawab kebingungan ini, maka pada suatu hari, diam-diam Fadli mengikuti anaknya sampai pada akhirnya ia sampai ke rumah Bulan.
Di rumah Bulan, Fadli kaget setelah melihat sosok Hawa. Fadli dan Hawa saling bertatapan. Mereka terpaku sejenak. Hawa yang Fadli lihat ini adalah Hawa yang sama yang ia kenal sejak dua puluh tahun yang lalu.
Hawa yang dulu pernah mengisi hati Fadli di masa mudanya, Hawa yang dulu bersama Fadli pernah berjanji sehidup semati sewaktu mereka adalah sepasang kekasih. Keluarga Hawa yang menolak Fadli karena Keluarga Hawa memiliki adat pernikahan antar sepupu seperti juga kebanyakan orang-orang disini. Hawa yang tak bisa menentang adat keluarganya.
Ini adalah Hawa yang dulu menjadi salah satu alasan Bagi Fadli meninggalkan tanah kelahirannya dan merantau tak tentu arah. Hawa yang ada di hadapan Fadli kini ialah sepenggal kisah masa lalunya di perkampungan Sei Berombang ini.
“Apa kabar bang Fadli?” cetus Hawa dengan pertanyaan basa-basinya.
“Baik Wa!, ini Nuri anakku,” ucap Fadli
“Dan ini Bulan, anakku, sambut Hawa, tapi ia tak seberuntung Nuri, anakku terlahir cacat, Bulan lumpuh dan buta,” ujar Hawa dengan suara yang bergetar dan mata yang berkaca-kaca.
Fadli yang masih saja berdiri di teras rumah itu lalu memandang ke segala sisi dari luar rumah, rumah yang bisa dikatakan lebih mirip dengan sebuah gubuk tua.
“Beginilah keadaanku sekarang bang,” kata Hawa.
“Ayah dan mertuaku bangkrut, gudang ikan dan usaha laut milik mereka terpaksa dijual untuk menutupi hutang, sampai-sampai suamiku harus bekerja menjadi buruh nelayan yang akhirnya membuat ia kehilangan nyawanya saat mencari nafkah di laut.” Hawa menjelaskan kehidupannya pada Fadli dengan tangisnya yang tersedu-sedu.
“Sekarang, hanya Bulan satu-satunya yang ku punya di dunia ini, walau tak sempurna ia yang selalu menguatkan hidupku, kemana aku pergi aku selalu menggendong Bulan bahkan saat aku berjualan sapu lidi sekalipun aku tetap menggendongnya ke pasar.
“Jadi Usman suamimu, meninggal dalam kecelakaan di laut?” tanya Fadli.
Hawa terdiam saja dan air matanya terus mengalir tertumpah mengenang semua itu.
“Bersabarlah Wa, mungkin itu sudah jalan takdirnya,” ujar Fadli untuk menenangkan Hawa.
Tiba-Tiba, entah dari arah mana Ida muncul dan mendapati suaminya, Fadli sedang berbincang bersama Hawa, sang mantan.
“Mas Fadli!, jadi ini Hawa yang sering kau ceritakan padaku dan kini di belakangku, kau mulai menemui mantan kekasihmu ini, tega kamu ya mas!” ucap Ida dengan nada geram.
“Ida! ini tak seperti yang kau pikirkan, aku kemari hanya mencari Nuri dan aku tidak tahu bahwa ini adalah Rumahnya Hawa.” Fadli coba untuk menjelaskan.
“Ida! lagi pula aku dan Hawa sekarang tak ada hubungan apa-apa, semua itu hanya masa lalu, percayalah Ida! ujar Fadli untuk meyakinkan istrinya.
“Sekarang juga kita pulang ke Surabaya,” pinta Ida dengan tegas.
Kemudian Ida membalikkan badannya beranjak pergi dari situ.
Sementara Nuri tak mengerti mengapa kedua orang tuanya bertengkar di situ dan Fadli juga tak bisa bicara banyak, ia hanya mengajak Nuri untuk pulang.
Pertengkaran Fadli dan Ida berlanjut di rumah kediaman Tamrin. Di sela-sela pertengkaran itu Nuri juga angkat bicara. Nuri mengatakan bahwa Nuri mau saja kembali ke Surabaya, asalkan Bulan juga turut serta ikut ke sana bersama Nuri.
“Ibu tak setuju, Nuri!” bantah Ida terhadap usulan anaknya itu.
“Kalau kita membawa Bulan, itu berarti perempuan mantan ayahmu itu juga akan turut serta,” ujar Ida lagi.
Mendengar kata ibunya, Nuri menangis bermohon dengan tangan bersimpuh.
“Ayah, Ibu, selama ini aku tak punya teman, tapi kali ini aku merasa bahagia sekali punya teman seperti Bulan yang tulus dan ikhlas.
“Aku belajar banyak hal dari Bulan, meski ia terlahir tak sempurna tapi ia tak pernah marah pada Tuhan, ia tak pernah mengutuk nasibnya, Bulan selalu ceria, ia terus saja riang, Bulan selalu berkata bahwa hidup itu begitu indah walaupun yang ia lihat sepanjang hidupnya hanyalah sebuah ruang gelap. Bulan juga berkata padaku bahwa cacat fisik yang ia terima adalah kado terindah yang pernah Tuhan berikan padanya.
“Ayah, Ibu, Bulan ingin sekali melihat warna-warna bunga, ia rindu bisa menatap pelangi, lalu aku menceritakan warna bunga dan warna pelangi itu padanya, kemudian ia menghapalkannya, walau sebenarnya ia tak tahu apa bedanya warna-warna itu.
“Ayah, Ibu, aku tahu hidupku tak akan lama lagi, bukan? hatiku semakin lama akan melemah dan mungkin saja aku akan mati, tapi dari Bulan aku punya semangat hidup, Ayah! ibu! aku akan terus berjuang melawan penyakit ini seperti kata Bulan, hidup ini begitu indah, oleh karena itu aku ingin terus merasakan keindahan itu.
“Ayah, Ibu, jika kalian tidak menyetujui keinginanku pun juga tak apa-apa, aku tak bisa membantah kalian, semua ini aku ungkapkan, seandainya aku bisa bermohon, itu saja.”
Air mata Nuri terus bercucuran dalam menyampaikan permohonannya itu.
Sementara keduanya hanya terdiam dan bungkam seribu bahasa. sedangkan Ida mulai menurunkan egonya serta menyetujui Agar Bulan ikut bersama mereka ke Surabaya tentunya juga dengan Hawa.
Akhirnya Hawa dan Bulan ikut bersama keluarga Nuri Ke Surabaya. Nuri merasa sangat senang sekali bisa bersama Bulan sahabatnya itu.
Hari demi hari telah dilalui bahkan berminggu-minggu sudah lamanya Hawa dan Bulan tinggal bersama dengan keluarga Nuri, namun lama kelamaan, perlakuan Ida semakin buruk terhadap Hawa dan Bulan.
Rasa cemburu Ida rupanya belum lagi hilang kepada Hawa, sehingga di belakang suami dan anaknya Ida tega memperlakukan Hawa seperti pembantu. Ida selalu kasar pada Hawa dan Bulan, Ida sering membentak, memaki, mencaci dan menghina Hawa dan Bulan Bahkan Ida tak segan-segan main tangan ketika ia sedang marah pada Hawa dan Bulan.
Terkadang Hawa terlihat selalu menangis, pun begitu juga dengan Bulan meski kadang bulan tak mengeluarkan air mata karena Bulan memang seorang yang buta.
Suatu ketika, Nuri berbincang-bincang kepada ayah dan ibunya.
“Ayah, Ibu, seandainya nanti aku sudah tak kuat lagi melawan penyakit ini dan waktuku telah habis, aku ingin memberikan kedua mataku untuk Bulan, apa ayah dan ibu setuju? tanya Nuri dengan berharap.
“Nuri ..! bicara apa kau ini, ibu tak mau kau bicara seperti ini lagi, sudah, Stop! berhenti bicara, cepat masuk ke kamarmu, tidurlah!, ada-ada saja,” umpat Ida yang tak senang mendengar ucapan anaknya itu.
Sedangkan Fadli hanya menatap anak perempuannya itu berjalan perlahan menuju kamar dengan rasa harunya.
Di sisi lain, di saat Hawa membersihkan ruangan, Hawa tak sengaja menemukan secarik kertas yang berisi riwayat penyakit yang di derita Nuri, peradangan hati akut dan ia baru tahu bahwa Nuri selama ini sedang sakit.
Sementara Ida berpikir bahwa Bulanbtelah membawa pengaruh buruk buat Nuri, hingga Nuri berkeinginan memberikan kedua matanya untuk Bulan.
Dengan diam-diam, Ida menjumpai Hawa dan Bulan. Ida mengusir mereka berdua dengan sangat marah. Sedangkan di luar tengah terjadi hujan lebat. Namun Ida tak peduli, ia tetap mengusir Hawa dan Bulan.
Entah kemana Hawa dan Bulan akan pergi hujan-hujan malam begini, tetapi mereka berdua harus beranjak meninggalkan rumah keluarga itu saat Nuri dan Fadli sedang lelap dalam tidur mereka, terakhir terlihat Hawa menggendong Bulan keluar meninggalkan rumah keluarga Nuri.
Keesokan harinya, Nuri menangis karena merasa kehilangan Bulan. sedangkan Fadli langsung menuduh mentah Ida. Prasangka Fadli menjurus kepada Ida. Ini pasti istrinya yang mengusir Hawa dan Bulan. Akhirnya karena merasa terdesak, Ida pun mengakui pengusiran yang dilakukannya itu.
Fadli mencoba mencari Hawa dan Bulan di seantero kota Surabaya, namun tak pernah ada petunjuk untuk menemukan mereka berdua.
Hari-hari yang dilalui Nuri kini terasa hambar, ia sering termenung dan menangis. Semangat hidupnya kembali menurun. hingga pada suatu hari, Tubuh Nuri menggigil, ia berkeringat, wajahnya pucat dan Nuri merasa lemas, dadanya sesak sampai ia jatuh pingsan. Ini pertanda masa kritis Nuri telah datang.
Fadli dan Ida membawa anak mereka ke Rumah Sakit dan menjumpai dokter Yudha yang biasa menangani Nuri selama ini.
“Bagaimana Nuri, dok?” tanya Fadli dengan cemas.
“Operasi akan kita lakukan segera Pak Fadli! Bapak jangan khawatir, kita sudah mendapatkan pendonor yang cocok untuk Nuri,” ucap dokter itu.
Fadli dan Ida merasa bersyukur. Akhirnya ada donor juga buat Nuri. Ini berarti peluang kesembuhan buat Nuri semakin besar dan sebentar lagi Nuri akan terbebas dari penyakitnya jika operasi ini berjalan lancar meskipun disisi lain mereka berdua cemas selama proses operasi berlangsung.
Sudah empat Jam operasi itu berjalan, Fadli dan isterinya terus di selimuti cemas menuggu hasilnya.
Tiba-Tiba, dokter Yudha keluar dari ruang operasi dan mengucapkan selamat operasi transplantasi hati untuk Nuri berhasil, Nuri telah melewati masa kritisnya dan sebentar lagi Nuri akan siuman.
“Oh ya dok, boleh kami tahu data orang yang telah mendonorkan hatinya untuk anak kami dok?” tanya Fadli dengan penuh penasaran.
“Pendonor itu mendatangi saya bersama ibunya, ia katakan donor ini atas keinginannya sendiri dan setelah ibunya menandatangi beberapa surat pernyataan maka kami lakukan pemeriksaan dan ternyata cocok,” papar dokter Yudha.
“Oh ya! kata pendonor itu, ia mengenal Nuri, makanya sebelum operasi, ia meminta saya untuk merekam suaranya sebagai pesan kepada Nuri, nanti saya kirim ke WhatsApp Pak Fadli, tapi tolong setelah didengar, langsung dihapus atau paling tidak jangan disebarluaskan.
“Ciri-ciri fisik anak itu, ia cacat, buta dan lumpuh, kalau tidak salah namanya Bulan,” ujar dokter Yudha melanjutkan ucapannya.
Mendengar Nama Bulan, Fadli dan Ida langsung menangis haru. Terlebih-lebih lagi Ida yang menyesali perbuatanya pada Hawa dan Bulan.
Setelah Nuri siuman, Fadli memperdengarkan rekaman suara Bulan yang di kirim dokter tadi padanya. Rekaman suara itu berbunyi.
“Untuk Nuri sahabat terbaikku, teruslah tersenyum karena hidup begitu indah bukan?. jangan pernah merasa tidak beruntung walau bagaimanapun keadaan diri, sebab Tuhan selalu punya alasan dan jawaban atas segala pertanyaan kita.
“Nuri, jangan lagi mencariku, karena aku tidak pernah jauh darimu, aku selalu hidup di dalam dadamu, rasakan detak jantungmu, dengarlah sungutanku di situ, sudah kau dengar hatimu? aku cerewet sekali bukan?.
“Nuri, terimakasih telah mengajari aku tentang warna bunga dan pelangi, semua akan aku ingat selalu meski kini aku hanya segumpal danging di dadamu,
“Terimakasih Nuri! dan semoga kau tak pernah bosan memakai hatiku di dadamu.
“Nuri, aku ucapkan selamat punya hati baru dan selamat tinggal, salam dari aku ‘Bulan Tanpa Cahaya’.
Selesai rekaman itu diputar, ruangan seakan banjir air mata. Sementara Ida terus saja menyalahkan dirinya. batinnya penuh dengan penyesalan.
Di pemakaman Bulan di dekat Rumah Sakit itu, Hawa berdiri menatap gundukan tanah penimbun jasad anaknya. Lalu Fadli, Ida dan Nuri datang menghampiri. Kemudian Ida berucap.
“Hawa, maafkan aku, aku sangat menyesal sekali, andai kau berminat, aku ingin kau tinggal bersama kami lagi.”
“Ida, tak ada yang salah dan tak ada yang perlu dimaafkan karena semuanya sudah menjadi kehendak Sang Pencipta.
“Sekarang Nuri adalah Bulan dan Bulan adalah Nuri karena mereka telah bersatu dalam satu tubuh, dalam satu jiwa,” pungkas Hawa.
“Lalu kemana kau akan pergi Hawa?”
tanya Ida.
“Entahlah! yang pasti aku ingin pulang ke kampung halaman di Sei Berombang dan setelah itu entah ke mana lagi nanti angin akan membawa kakiku melangkah,” jawab Hawa.
Lalu Hawa mendekati dada Nuri dan berucap.
“Nak, Ibu pergi dulu, jaga dirimu baik-baik, lalu Hawa memeluk Nuri dengan erat, terasa detak kencang di dada Nuri, Hati Nuri itu terus berdebar dan berdegup dengan cepat hingga membuat Nuri mengeluarkan air mata yang mengucur membasahi pipinya.
Hawa tetap melangkahkan kaki dan pergi jauh dari pandangan Sampai ia tak terlihat lagi oleh mereka.
#cerita_ini_hanya_fiktif_belaka
#menyelamatkan_nyawa_adalah_perbuatan_istimewa_dan_luar_biasa
#jangan_terbakar_luka_masa_lalu
Komentar