SASTRA, Sinkap.info – Suatu saat bunyi beduk terdengar pada senja bulan ramadhan. Itu pertanda waktu berbuka puasa telah tiba. Orang-orang bergegas melepas rasa lapar dan dahaga setelah satu hari penuh berpuasa.
Berjeda sebentar, lalu adzan maghrib dikumandangkan dari mesjid di sekitar perkampungan. Suara adzan itu begitu merdu menyentuh telinga yang mendengarnya termasuk juga bagi Yusna.
Yusna yang kini tengah hamil tua terlihat seperti sedang menghayati bait demi bait lantunan suara adzan yang didengarnya. Yusna terus saja meresapi adzan merdu itu dan sambil meneguk segelas air putih serta mencicipi beberapa buah kurma yang ia terima dari hantaran tetangga. Setelah adzan selesai maka Yusna meraih mukenanya untuk melaksanakan sholat Maghrib.
Yusna memang kagum dengan kemerduan suara adzan tadi. Ibu rumah tangga ini berperawakan manis dengan lesung pipinya yang nampak saat ia tersenyum. Yusna kira-kira berusia dua puluh sembilan tahun. Ia selalu terpesona dengan Suara adzan laki-laki yang satu itu.
“Assalamualaikum,” ucapan salam seorang lelaki terdengar oleh Yusna.
“Waalaikum Salam,” jawab Yusna sembari membukakan pintu.
Kemudian setelah Yusna membuka pintu, ternyata yang datang adalah suami tercinta Yusna. Jalal namanya. Dialah laki-laki yang adzan dengan merdu di mesjid tadi, yang selalu Yusna kagumi suaranya. Lalu seketika Yusna menyambut tangan laki-laki itu dan menciumnya dengan membungkukkan badan sambil memegang perutnya yang besar karena hamil.
Saat-saat ramadhan, Jalal memang membiasakan diri menanti berbuka puasa di mesjid yang tak jauh dari pemukimannya. Sehabis Maghrib baru Jalal pulang untuk berbuka puasa bersama istrinya, Yusna.
Jalal menghampiri makanan yang sudah dipersiapkan oleh istrinya. Sungguh sederhana hidangan itu, yang ada cuma sepiring nasi, terasi bakar dan semangkok mie instan.
“Ayolah kita makan bersama,” ucap Jalal pada Yusna yang duduk di dekatnya. Lalu Jalal membagi dua nasi di piringnya itu ke piring yang satunya lagi dan menyodorkannya kepada Yusna.
“Aku tahu kau juga lapar, bukan?” kata Jalal. Sang istri tidak berkata apa-apa, ia hanya mengikuti saja ajakan suaminya itu. Tampak begitu romantisnya mereka ketika makan bersama. Kuatnya ikatan cinta antara Jalal dan Yusna meskipun kehidupan mereka serba kekurangan.
Jalal hanya pria yang apa adanya, mungkin ia tak tahu banyak hal, usianya lebih tua tiga tahun dari istrinya. pendidikan Jalal hanya lulusan SD.
Secara fisik penampilan Jalal tidaklah menarik. Kulitnya hitam dan postur tubuhnya pun tidak terlalu tinggi. Orang-orang sering menjulukinya dengan sebutan “Si Bilal” karena selain alasan tadi, Jalal memang seorang muadzin di mesjid lingkungannya.
Tapi bagi Yusna, Jalal adalah pangerannya. Yusna memang jatuh hati pada Jalal saat pertemuan pertama mereka. Kala itu di sebuah acara maulid Nabi yang diadakan enam tahun silam oleh remaja mesjid dan Jalal bertugas sebagai pembaca Al-Qur’an di acara itu. Sedangkan waktu itu Yusna adalah putri remaja yang rupawan yang baru kembali setelah ia lulus dari sebuah pesantren di Padang, Sumatera Barat.
Berawal dari situ, hubungan mereka terjalin. Pada awalnya kedua orang tua Yusna tak merestui hubungan Jalal dan Yusna apalagi saat Yusna ingin dipinang oleh seorang PNS yang bertugas di Kantor Kecamatan mereka. Tapi Yusna menolak, ia lebih memilih hidup bersama Jalal, seorang pemuda yatim piatu dan tidak berpendidikan tinggi.
Sedangkan mula-mula kedua orang tua Yusna kecewa atas pilihan Yusna, namun pada akhirnya orang tua Yusna sadar bahwa Jalal lah pria yang tepat untuk Yusna. Hal ini dilihat dari akhlak Jalal yang taat beragama serta sopan santunnya yang hormat kepada orang yang lebih tua.
Itulah sepenggal kisah percintaan Jalal dan Yusna yang akhirnya mereka menjadi suami istri yang saling sayang dan saling setia hingga kini.
Meski hanya lulusan SD, ternyata ada juga prestasi yang telah diukir Jalal. Ia pemenang lomba sayembara adzan antar remaja mesjid dulu.
Bahkan dua tahun belakangan ini Jalal sering mengikuti lomba MTQ dan hasilnya tidak mengecewakan walaupun yang ia raih paling tinggi hanya tingkat kecamatan. Ini terbukti dari piala dan trophy yang ada di rumah reot kontrakan mereka.
Sudah lima tahun Jalal dan Yusna menikah. Pasangan ini cukup lama menanti hadirnya si buah hati. Baru tahun lalu Yusna bisa Mengandung anak pertama mereka dan Ramadan ini sepertinya kandungan Yusna sudah cukup bulan untuk melahirkan.
“Abi..!” Yusna memanggil Jalal dengan sebutan itu. “Mungkin bulan inilah waktunya untuk aku melahirkan anak pertama kita, sedangkan kondisi kita, Abi bisa lihat sendiri,” Yusna menyampaikan isi hatinya pada sang suami.
“Aku paham kondisi kita,” sahut Jalal sambil tertunduk dan seperti orang kelilipan sesuatu dimatanya. mata itu mulai berair di kelopaknya.
“Tapi insyaallah, akan ada jalan jika kita selalu berusaha.” ucap Jalal.
Sebagai nelayan kecil yang hanya seorang anak buah, memang kehidupan Jalal tidaklah mencukupi, apalagi merebaknya wabah virus yang membuat kini hasil laut harganya murah sehingga menambah sulitnya kehidupan nelayan.
Melihat kesedihan suaminya, Yusna mencoba mengibur. “Oh ya Bi, kira-kira anak kita nanti laki-laki atau perempuan ya?” Yusna bertanya sambil mengalihkan pembicaraan untuk mencairkan suasana.
“Laki-laki atau perempuan ngak masalah yang penting sehat,” sambil tersenyum kecil Jalal mengucapkan itu pada istrinya.
“Tapi kalau bulan ramadhan ini anak kita lahir, jika laki-laki akan kuberi nama Ramadhan dan jika perempuan pastilah namanya Ramadhani.” Jalal tertawa kecil mengatakan itu dan sedangkan istrinya juga ikut tertawa. Sungguh bahagianya pasangan sederhana itu.
Tiba-tiba. “Lal,” sapa Pak Amran yang juga tetangga mereka dan seorang pemilik perahu dimana Jalal menjadi anak buahya jika melaut.
“Sebentar lagi Isya, mari kita ke mesjid” ajak Pak Amran. Lalu keduanya berangkat ke mesjid untuk menunaikan sholat Isya dan sekaligus sholat tarawih di sana.
Seusai pulang dari tarawih, saat di rumah, Jalal memberitahu istrinya bahwa sehabis subuh nanti, Jalal dan Pak Amran akan pergi melalut. Tapi kali ini mereka putuskan untuk bermalam tiga hari di laut. Orang-orang sering menyebutnya dengan istilah “membagan laut” yaitu bermalam di laut selama dua atau tiga hari.
Hal ini biasa dilakukan oleh nelayan di situ apabila melaut pulang hari sering terhutang dan tidak memadai.
Semua perbekalan sudah dipersiapkan Jalal untuk pergi melaut bersama Pak Amran. Setelah makan sahur, kali ini Jalal memilih untuk sholat subuh berjamaah di rumah saja bersama istrinya.
“Ini kesempatanku, aku harus bertanggung jawab atas keluarga ini, semoga pulang nanti aku dapat membayar tunggakan sewa kontrakan rumah, membayar cicilan dan hutang walau sedikit dan mungkin juga bisa untuk Persalinan Istriku, kata orang melaut di luar muara Selat Malaka itu hasilnya lumayan,” gumam hati Jalal yang berkata-kata sendiri.
Mungkin karena bagi Jalal, ini baru pertama kali ia ikut “membagan laut”. Sebab biasanya Jalal dan Pak Amran hanya menjaring di sekitar laut di mulut muara saja.
“Ina,” sapaan manja yang biasa Jalal panggil untuk Yusna.
“Ya Abi,” jawab istrinya.
“Tunggu aku pulang ya,” ucap Jalal dengan nada yang rendah.
Mendengar itu, Yusna hanya mengangguk saja.
“Apabila nanti kau mulai sakit dan ada tanda bayi pertama kita akan lahir. Jauh sebelumnya, datanglah pada Buk Milah istri Pak Amran dan katakan agar Buk Milah menghubungi kami, karena Pak Amran membawa Handphone-nya, jika ada berita dari mu aku pasti akan pulang, bagaimanapun caranya, sebab aku sendiri yang akan adzankan anak kita.” ucap Jalal sambil mengelus perut istrinya. “Aku pamit” lanjut Jalal lagi.
Sementara sang istri hanya memandangi kepergian suaminya dengan mata yang mulai basah. Karena Yusna tahu bahwa dalam tiga hari ini ia pasti dicekam rindu dan kesepian sendiri di rumah tanpa seorang suami.
Kemudian Yusna kembali ke dalam rumahnya dan tanpa sengaja Yusna melihat kain sarung Jalal yang tertinggal di rumah. Sarung itu adalah sarung yang biasa dibawa Jalal ketika sholat. Sarung itu, sarung kesayangan Jalal yang ia peroleh sebagai salah satu hadiah saat lomba adzan antar kampung sewaktu dulu
Hari berganti, dua hari sudah terlewati. Yusna semakin merindu dan setiap sore hari menjelang berbuka, Yusna memanggil Rina. Rina itu anak tetangga mereka. Bocah perempuan kelas lima SD yang menjadi murid ngaji suaminya.
Di dalam handphone Rina ada suara Jalal yang sedang melantunkan Surah Ar Rahman yang sengaja Rina rekam dengan aplikasi Handphone-nya. Indah nian lantunan itu. Pantaslah saat ada anak tetangga yang baru lahir dan jika Jalal tidak melaut, maka mereka berharap agar Jalal dapat melantunkan adzan untuk anak mereka yang baru lahir itu. Karena begitu lembut dan syahdunya suara laki-laki yang dikenal ramah itu.
Untuk melepas rindu Yusna selalu memakai sarung Jalal yang tertinggal itu dalam melaksanakan sholat-sholatya dan ketika tidur Yusna sering memeluk baju-baju Jalal. Baru ditinggal dua hari tapi rindu Yusna bagai sudah berpisah dua tahun.
Keesokan harinya, pagi berubah menjadi siang. Yusna terlhat begitu ceria, karena hari ini suami tercintanya akan kembali dari melaut, tinggal menunggu sore saja di mana air pasang sungai akan membawa suaminya pulang.
Siang itu memang cuaca tak bersahabat. Langit mendung, angin bertiup kencang, hujanpun turun begitu deras, guyurannya lebat, petir-petir bersahutan, listrik mati dan beberapa pohon di lapangan tumbang. Begitulah gambaran cuaca alam yang terjadi saat itu. Sementara orang-orang hanya berdiam di dalam rumah sampai menjelang sore.
“Ada apa ini?”, tanya Yusna dalam batin bercampur dengan rasa khawatir tentang suaminya di lautan. Di balik tirai jendela Yusna mengintip bahwa ada beberapa orang nelayan yang sudah pulang dari laut. Namun suaminya tak juga muncul batang hidungnya.
Hati Yusna semakin was-was. Satu persatu nelayan yang ia kenal sudah pulang. Itu Yusna perhatikan dari balik tirai jendela rumahnya. Meski di luar sedang hujan begitu lebat, tapi Yusna tetap mengenali orang-orang yang kembali dari laut , namun tak ada sosok sang suami yang dirindukannya itu.
Dari balik tirai jendela itu, Yusna berdoa dalam hati,
“Ya Allah, Tuhanku yang Maha Bijak dan Perkasa. Kau yang menguasai angin dan hujan,
jadi kumohon pada-Mu, selamatkanlah suami hamba dari kemarahan alam ini. Biarkan ia kembali kepadaku dengan rahmat-Mu,.”
“Ya Tuhanku, dirinya hanya sekedar menunaikan tanggung jawab sebagai seorang suami demi nafkahku, kebutuhanku dan juga calon bayinya.”
“Ya Allah, berikanlah kesempatan bagi laki-laki biasa itu bahagia bersamaku dan anak-anak kami nanti agar anak-anakku nanti bisa mendengar suara suara adzannya, suara adzan yang sering ia kumandangkan, memuji dan menyeru untuk menyebah-Mu.”
“Tuhan, aku makhluk yang tak berhak menuntut-Mu, aku hanya sekedar bermohon saja demi keselamatan suamiku… Aminn..!”
Begitulah bunyi doa-doa yang terucap dalam batin Yusna dengan pengharapan yang sangat besar untuk keselamatan suaminya, air matanya yang mengalir terus bercucuran hingga membasahi ujung kerudung di dagunya.
Tak lama setelah itu, badaipun mereda. Lalu Yusna mendatangi rumah Buk Milah, istri Pak Amran.
Sesampainya di rumah Buk Milah. Ternyata di sana terjadi ratapan yang berair mata. Buk Milah menangis dengan dahsyat setelah ia melihat Yusna hadir ke rumahnya
“Yusna, suamiku dan suamimu …!”
kata-kata Buk Milah itu tak selesai, ia langsung memeluk Yusna dengan tangisnya. Walaupun kalimat Buk milah itu tak selesai, namun Yusna paham apa maksudnya.
Air mata Yusna tak terbendung lagi, mengalir begitu deras. Meski tangisnya tak bersuara, namun hatinya hancur berkeping-keping. Dalam pelukan Buk Milah yang tak berhenti menangis, Yusna hanya terdiam dan terpatung dengan mulut ternganga.
Tiba-tiba sahut orang di situ, ” Jalal dan Pak Amran karam di laut saat badai hebat tadi. Perahu kecil mereka terbalik. Mereka tak bisa diselamatkan. Mayat keduanya ditemukan di muara laut. Kawan-kawan nelayan sedang membawa mayat-mayat mereka kemari, bentar lagi pasti sampai.
Penjelasan itu tak dibutuhkan lagi oleh Yusna. Yang ia tahu bahwa suaminya sudah dipanggil Tuhan. Sekedar itu yang bisa ia pahami.
Yusna goyang, tubuhnya gemetar. Namun ia mencoba betahan agar tak jatuh pingsan. Yusna sedang menguatkan diri dan hatinya atas musibah ini. Tapi Yusna cukup lelah akhirnya perutnya mendadak sakit, air ketubannya keluar.
Situasi semakin kacau. Di tengah-tengah kedukaan, Yusna tenyata sebentar lagi akan melahirkan. Tentu saja orang-orang di situ terus membawa Yusna ke Puskesmas Kecamatan.
Sementara mayat Jalal dan Pak Amran pun tiba. Keduanya langsung difardhu kifayahkan sampai akhirnya dikebumikan sehabis berbuka puasa. Hal ini memang harus dilaksanakan secepatnya. Tak bisa berlama-lama lagi karena kondisi mayat yang mulai rusak akibat air. Perut keduanya membesar dan baunya juga sudah terendus busuk.
Dari sudut Puskesmas, terlihat seorang perempuan yang baru ditinggal mati suami itu terus saja berjuang untuk melahirkan sang buah hati tercinta. Sedangkan Yusna sudah tak sempat lagi melihat wajah suaminya itu untuk terakhir kali dan bahkan ia juga tak menyaksikan jasad suaminya dimakamkan.
Dalam proses persalinannya ,Yusna dibantu oleh bidan-bidan di Puskesmas itu sehingga tak lama berselang kemudian terdengar suara tangisan bayi laki-laki.
Tangisan kecil itu membuat tangis Yusna beranjak reda dan berganti dengan senyuman bercampur sedih. Melihat bayinya, Yusna segera menghapus air mata yang dari tadi terus saja mengalir.
Tanpa berpikir panjang lagi, seorang bidan memanggil perawat laki-laki agar adzan di telinga sang bayi yang baru dilahirkan Yusna, suara perawat itu memang biasa saja. Sekarang adzan sang ayah dari bayi Yusna sudah tergantikan.
Melihat ini, Yusna teringat dengan dukanya bahwa Jalal sang suami telah berjanji akan melantunkan adzan untuk anaknya sendiri bila bayi mereka lahir sebagaimana terkadang ia adzan untuk sebagian bayi-bayi tetangganya. Tapi dalam pikiran Yusna bahwa suara adzan tetaplah suara adzan. Tak peduli suara itu indah atau tidak yang penting adalah hakikat dari itu semua. Begitulah akhirnya kesimpulan yang ada di benak Yusna.
Memang Yusna dan Jalal berkeinginan bahwa sang ayah lah seharusnya adzan untuk anaknya yang baru lahir. Tapi apa hendak dibuat jika suratan berkata lain.
Jalal tak berkesempatan adzan untuk anaknya dan si anak juga tak ditakdirkan mendengar suara adzan ayahnya. Mungkin itu sudah menjadi kehendak yang Maha Kuasa. Sebagai makhluk tentunya hanya bisa menerima saja. Mungkin akan ada hikmah dibalik semua ini.
Yusna selalu ingat pesan sang suami padanya. “Apapun yang terjadi dan menimpa kita, mungkin itulah kehendak terbaik Tuhan yang ia berikan pada kita. Jadi jangan pernah berprasangka buruk kepada Tuhan.” Itulah kutipan kata-kata sang suami yang ada dalam ingatan Yusna.
Setelah beberapa hari baikan, Yusna bersama bayinya berziarah ke makam Jalal yang wafat di pertengahan ramadahan itu. Dalam hatinya Yusna akan memegang teguh kesetiaannya pada Jalal dan tak akan pernah menggantikan Jalal di hati Yusna dengan siapapun sampai akhir hayatnya nanti.
Yusna juga berjanji akan membesarkan anak laki-laki mereka itu sendirian saja dan ia akan mendidiknya dengan sebaik-baiknya. Bayi itu Yusna beri nama “Ramadhan” sesuai keinginan Jalal. Itulah janji Yusna di depan makam sang suami.
Sejenak Yusna dalam renungan di depan kubur suaminya, tiba-tiba terdengar suara adzan zhuhur dari mesjid dekat pemakaman itu. Maka Yusna tersentak dan segera pulang ke rumah untuk menunaikan kewajibannya yaitu sholat zhuhur.
Kini hari hari Yusna disibukkan dengan merawat Ramadhan. Para tetangga simpati pada Yusna, mengingat Jalal dan Yusna adalah orang yang baik dengan tetangga.
Orang-orang mungkin kehilangan Suara adzan Jalal yang merdu itu untuk selamanya. Tapi sebenarnya orang-orang tak pernah kehilangan suara adzan yang terus berkumandang setiap waktu Sholat.
“Selamat jalan buatmu Jalal. Terima kasih atas hadirmu yang pernah ada di antara kami. Kau tak akan pernah dilupakan karena kau menjadi inspirasi bagi anak-anak di sini untuk tekun belajar adzan dan baca Alquran. Mereka adalah murid-muridmu”. Pikiran itu ada di sebagian besar hati orang-orang di perkampungan kecil itu.
SINKAP.info | oleh: Zaidan Akbar
Komentar