Oleh
Umi Fahima Ibdrawati
Bidang Perempuan DPW Gelora Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)
Berkali kita dikejutkan dengan berita seorang ibu muda yang tega membuat nyawa permata hatinya melayang. Menyayat, pilu, sedih, dan buncahan rasa pedih lainnya.
Sebagian mungkin menghujat, bahkan menyematkan sebutan biadab, sadis, dan sematan buruk lainnya atas nama seorang ibu.
Jujur dari nurani terdalam, adakah seorang ibu yang tega dan nekat melakukan tindakan tak waras seperti itu? Jawabnya tidak ada, satupun. Fitrahnya ibu adalah ruh tentang kasih sayang. Itu mengapa, di saat seorang ibu hamil, janin berada di tempat ternyaman yg bernama rahim. Rahim bermakna kasih sayang.
Tapi kenapa bisa tetiba berbalik menjadi sosok yg jahat dan sadis? Dari sudut pandang sisi kemanusiaan, sebuah tindakan biadab.
Tunggu
Ada banyak varian yg bersifat sangat psikologis dan kompleks, yang itu tersematkan dlm sosok ibu. Peran yg mesti diembannya terlalu multi kompleks yg mengharuskan ia memiliki multi tasking. Ia dituntut utk tegar, kokoh, mandiri, super berdaya, di tengah carut marut pemenuhan jiwa yang tak pernah ia dilimpahi.
Perempuan, ibu, sekuat apapun, terlihat tangguh, tetap ia sosok yg menggunakan 90 persen perasaan. Di titik ini jika dua unsur tidak ketemu, tidak balance, maka akan muncul goncangan.
Perempuan, istri, ibu, tetap membutuhkan sandaran. Bahu yg kokoh yang membantunya dalam menghadapi setiap permasalahan, yg bisa jadi teramat rumit. Jiwanya yg secara fitrah dipenuhi kelembutan, membutuhkan penopang agar ia tetap tegar menatap dan menghadapi dunia.
Perempuan, istri, ibu, ia menghajatkan sebentuk cinta, perhatian, peduli, dihargai, didengarkan, dimengerti, disupport. Dari siapa? Dari orang dan lingkungan terdekatnya. Pasangannya, suaminya, keluarganya, dan lingkungannya.
Saat kebutuhan ini nihil, akan teramat rentan bagi perempuan dan tiada cukup bahu nya menyangga sendirian.
Terlalu kompleks sisi kejiwaan yg dihadapi, seperti merasa hampa, sendiri, tanpa cinta, tanpa care, tanpa kasih sayang, terutama dari suami atau pasangan, akan mengakumulasi dalam jiwanya menjadi bola api yg siap meledak. Dan tinggal tunggu momentumnya, semua akan di luar nalar. Ditambah pendaman luka bathin, dari pola pengasuhan sejak kecil hingga dewasa ia merasa tiada cukup asupan perhatian dan cinta, maka bom itu akan bersiap diledakkan. Ditambah rapuhnya jiwa, lemahnya nilai spiritual, mental akan mudah drop, kolaps.
Kita tidak sedang men judge sebuah fenomena menyayat ini. Justru sebaliknya, tulisan ini mewakili dari sesosok perempuan, istri, ibu, yg tentu bisa merasakan situasi kejiwaan yg sama. Pernah mengalami luka bathin yg dalam, merasa gagal menjadi ibu dalam mendampingi dan mendidik anak2 , pernah terpuruk jatuh di jurang dalam, semua ibu mengalami hal yg sama, meski dg skala yg berbeda.
Terlepas bahwa Kanti harus menghadapi konsekwensi hukum, itu pasti. Tapi melihat dg sudut yg lebih luas dan kompleks, akan membuat kita belajar, bahwa perempuan, istri, ibu bisa menjadi Kanti Kanti berikutnya, jika ia hidup dalam kehampaan tanpa cinta, tanpa dukungan, tanpa peduli dari orang2 di sekitarnya. Teramat dibutuhkan support system dari lingkungan. Saling peduli, saling menguatkan kasih sayang, itu hakikat kebutuhan jiwa dan sosial kita.
Secara pribadi, saya teramat sangat prihatin dg kasus Kanti. Semoga tidak akan terjadi kasus seperti ini. Sambil mari kita tengok di rumah kita, sudahkah saling cinta dan support itu kita tebarkan dalam keluarga. Sudahkah setiap anggota keluarga merasakan hangatnya cinta. Suami yg mengasihi istri, bapak yg mengayomi, istri yg berkelimpahan kasih sayang, anak2 yg tumbuh dari orang tua dan lingkungan yg mendukung tumbuh kembangnya.
Lihatlah
Di saat istri, perempuan, ibu, merasa dicintai, maka aura kebahagiaannya akan memancar ke setiap sudut keluarganya dan lingkungannya. Dan ia akan memiliki energi utk mencintai dengan cara yg benar.
Cinta hakikatnya menjaga kewarasan dan memberi energi kepositifan.
Editor : Mas Andre Hariyanto