SUMATRA UTARA,SINKAP.Info – Budidaya ikan dengan menggunakan karamba atau yang dikenal Keramba Jaring Apung (KJA) merupakan alternatif wadah budidaya ikan yang sangat potensial dan sudah bertahun-tahun dikembangkan di Danau Toba.
Keramba Jaring Apung (KJA) di Danau Toba tidaklah hadir secara ujuk-ujuk, tapi justru menjadi bagian integral dari kebijakan strategis pemerintah pusat dalam mengentaskan kemiskinan di Sumatera Utara, yang menjadi salah satu fokus utama pemerintahan nasional di pertengahan 1980.
Maka pada tahun 1986, pemerintah pusat meluncurkan operasi khusus bernama Maduma yang bertujuan untuk akselerasi pengentasan kemiskinan di kawasan Danau Toba. Operasi khusus tersebut dimulai di masa kepemimpinan Gubernur Sumatera Utara, Raja Inal Siregar.
Bertahun-tahun kemudian terbukti bahwa operasi khusus Maduma di kawasan Danau Toba menjadi salah satu program pemerintah yang berhasil. Opsus Maduma menjadi instrumen ekonomi yang efektif dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat di kawasan Danau Toba.
Pelaku usaha KJA dan sektor perikanan di Danau Toba hari ini menikmati penghasilan per kapita yang nyaris melebihi upah minimal di kota-kota besar, tak terkecuali Jakarta. Dengan kata lain, kebijakan pengentasan kemiskinan via Operasi Maduma berjalan dengan sangat baik dengan tingkat pencapaian yang memuaskan.
Bahkan setelah beberapa tahun pemerintah pusat memilih mengubah prioritas pembangunan dan pengembangan Danau Toba ke bidang pariwisata, kontribusi ekonomi KJA di tahun 2020 masih sangat dominan.
Setelah per 2020 jumlah KJA yang sebanyak 7408 dan direncanakan akan dikurangi 20% per 2021 menjadi 5886, ternyata masih mencatatkan kontribusi ekonomi tak kurang dari Rp4 triliun. Angka tersebut ditorehkan oleh KJA, mulai dari hulu sampai hilir untuk menambah daya gedor perekonomian daerah.
Dengan konstribusi tersebut, KJA berhasil mengangkat taraf hidup ribuan tenaga kerja dengan efek bergandanya, memberikan dorongan signifikan pada fiskal daerah dan nasional, dan ikut memberikan warna indah pada eksposur ekspor nasional yang terbukti mampu menambah tebal isi kantong devisa Indonesia.
Secara ekonomi maupun sosial, pemerintah semestinya tidak menutup mata atas pencapaian tersebut. Bahkan sejatinya pencapaian tersebut layak diapresiasi oleh pemerintah pusat untuk kemudian dijadikan pertimbangan yang sangat penting di dalam perumusan kebijakan pengembangan perekonomian Danau Toba untuk tahun-tahun mendatang.
Karena terbukti KJA berhasil mendongkrak pertumbuhan ekonomi daerah secara signifikan di satu sisi dan memberikan jawaban yang riil pada isu sosial kemasyarakatan (kemiskinan) di sisi lain. Dengan kata lain, operasi khusus Maduma berhasil menarget dua sasaran sekaligus dengan satu peluru.
Karena itu dalam kacamata kebijakan publik, sangat tidak elok bagi pemerintah untuk menyalahkan sebuah kebijakan yang telah terbukti mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat setempat hanya untuk memuluskan realisasi prioritas kebijakan di sektor lain, yakni pariwisata.
Justru pemerintah semestinya memberangkatkan kebijakan pembangunan untuk tahun-tahun mendatang dari fakta-fakta objektif yang ada agar KJA bisa lebih efektif dalam mendongkrak kinerja ekonomi daerah, lebih efektif dalam mengentaskan kemiskinan, lebih besar berkontribusi dalam eksposur ekspor nasional, dan berjuang dengan berbagai cara mencarikan berbagai terobosan dalam mengantisipasi berbagai imbas negatifnya. Bukan malah menyudutkan sektor perikanan dan KJA.
Jadi sangat bisa dipahami mengapa sikap pemerintah yang seolah-olah menempatkan sektor pariwisata lebih superior ketimbang sektor perikanan (KJA) serta merta menuai keraguan di mata masyarakat setempat.
Misalnya, pemerintah menghadirkan Peraturan Presiden (PERPRES) Nomor 60 Tahun 2021 tentang Penyelamatan Danau Prioritas Nasional, yang mengaburkan status danau Toba. Tidak jelas apakah Perpres 60/2021 memperlakukan Danau Toba sebagai danau Mesotrophic atau danau Oligotrophic. Padahal semua kebijakan ekonomi di daerah selama ini memperlakukan Danau Toba sebagai Mezotrophic. Karena itulah berbagai aktifitas ekonomi korporasi dan rumah tangga dalam batas wajar masih diperbolehkan.
Dan atas status itu pula Danau Toba selama ini dipandang oleh pelaku usaha KJA sebagai danau yang layak untuk berbisnis. Nah, jika Perpres mengharuskan para pengusaha KJA untuk mengurangi produksi setengah dari yang dihasilkan hari ini, atas nama lingkungan atau atas nama peralihan prioritas ke sektor pariwisata, pemerintah sebenarnya tidak benar-benar ingin menyelamatkan Danau Toba dalam pengertian yang sebenarnya, tapi justru membuat Danau Toba menjadi tidak lagi bersahabat dengan sumber utama penghidupan ekonomi masyarakat setempat.
Karena itulah mengapa saya mengatakan bahwa resistensi dan keengganan masyarakat untuk sebiduk sejalan dengan kebijakan prioritas pariwisata pemerintah pusat sangat bisa dipahami.
Alasan sederhananya. Pertama, karena KJA dan sektor perikanan memang telah terbukti sepak terjangnya dalam mengangkat harkat dan martabat masyarakat kawasan Danau Toba dalam berbagai bidang. Sementara itu, ambisi ekonomi dari sektor pariwisata masih dalam angan-angan dan proyeksi. Dalam hal ini, masyarakat terbukti jauh lebih rasional ketimbang pemerintah karena masyarakat mendasarkan sikapnya atas fakta yang ada, bukan atas janji dan proyeksi pemerintah.
Kedua, masyarakat sangat memahami bahwa Danau Toba yang menjadi ekosistem dinamis dan sumber berbagai macam penghidupan bukanlah milik satu sektor semata, tapi bisa menjadi ekosistem untuk berkembangnya berbagai macam sektor usaha yang akan menopang perekonomiam daerah, mulai dari sektor pertanian perikanan, sektor perdagangan dan transportasi, serta sektor pariwisata.
Dan faktanya memang demikian. Selama ini, berbagai sektor berbaur dengan harmonis di Danau Toba, tanpa banyak resistensi dan konflik. Justru sikap pemerintah yang cenderung kurang bersahabat terhadap sektor lain setelah sektor pariwisata ditetapkan sebagai sektor prioritas di Danau Toba bisa merusak harmonisasi sosial ekonomi yang selama ini telah berlangsung.
Singkat kata, pemerintah perlu menghadirkan sektor pariwisata di Danau Toba dengan wajah yang lebih bersahabat, lebih manusiawi, dan lebih komunikatif-kooperatif terhadap sektor lain yang terlebih dahulu telah eksis di Danau toba dan terbukti berhasil menyejahterakan masyarakat yang menggelutinya.
Pemerintah dituntut untuk bersikap seperti seorang guru kala akan memperkenalkan murid baru di dalam kelas. Hanya guru yang tidak bijaksana yang memperkenalkan seorang murid baru ke dalam kelas, lalu menyalahkan bahkan mengusir murid lain yang sudah terlebih dahulu menjadi murid di dalam kelas tersebut.
Dengan kata lain, pemerintah sangat dituntut untuk bersikap lebih arif dan adil dalam melihat persoalan ikan nila (tilapia) dan KJA di Danau Toba.
Pemerintah tidak bisa menggunakan kacamata hitam putih, karena melarang usaha yang telah terbukti mampu memberi manfaat kepada kehidupan dan kesejahteraan masyarakat, lalu mengalihkannya kepada sektor baru yang belum terbukti khasiatnya bukanlah sebuah kebijakan yang berlandaskan pada kebijaksanaan, tapi lebih berlandaskan kapada sikap gagah-gagahan dari tokoh tertentu yang terkesan ingin dianggap sebagai pahlawan di Danau Toba.
Tentu perlu dihormati, tapi juga perlu diingatkan agar tidak menjadi pahlawan yang kesiangan karena jangan sampai kebijakan di atas kertas pro rakyat namun jika diterapkan tanpa kajian mendalam justru membunuh rakyat khususnya yang berada di wilayah operasi KJA. Semoga tidak demikian adanya.
SINKAP.Info