BERTANJAK bukan sekedar tanjak yabg dipasang pada bagian kepala namun ada bentuk cipta, rasa dan karsa dengan kain sulaman jemari karya anak bangsa yang melambangkan sikap kepahlawanan Melayu.
Filosofis penggunaan tanjak merupakan instrumen sandang seseorang dalam membranding bangsa Melayu. Arus budaya timur bertransmisi dengan eksplisit dan implisit tumbuh subur mengitari sudut sudut Nusantara Meng-Asia seperti komando tak berperintah dan bagaikan burung terbang sejajar dalam melawan angin dan berbaris-baris mengikuti ritme zaman.
Melayu begitu fundamentalime terhadap jati diri istilah datuk-datuk pemegang adat yang menjadi harakah islamiyah ‘Jika Melayu pasti Islam, jika keluar dari Islam Maka Hilanglah Melayu’. Istilah ini terpancarkan sebagai norma bangsa melayu. Pada orde monarki tanjak jarang digunakan oleh kaum awam (masyarakat biasa) tanjak lebih sering dipakai sebagai pembeda bangsawan dan pegawai kerajaan. Saat ini, semua masyarakat dapat menggunakan tanpa legitimasi yang mengikat, pembeda, pembanding dan bahkan mendapatkan kesetaraan sebagai bentuk kepedulian bangsa melayu pada tradisinya.
Kepedulian tersebut terekpresikan melalui khazanah verbal (petuah) serta sikap seseorang sebagai ciri khas dari bangsa yang lain. Momentum tahun kali ini sangat berbeda dari tahun sebelum-sebelumnya terobosan tersebut didongkrak oleh komunitas Azimat Melayu Pesisir yang bertepatan tertanggal 1 syawal 1442 H atau hari raya idul Fitri dimana hari tersebut adalah perayaan bagi umat muslim sedunia yang telah menunaikan ibadah puasa selama 1 bulan penuh dibulan suci ramadhan.
Korelasi tanjak dengan 1 syawal menjadi tanda tanya bagi kaum kritis karna gagasan tersebut belum pernah ada melalui himbauan atau sejenisnya karna tidak sama sekali bagian dari syariat.
Namun, secara tersirat memiliki makna yang dalam bagi kaum filsuf bahwa bangsa Melayu merupakan manifestasi dari syariat Islam. Lihatlah dari tradisi, petuah dan tindakan meletakan segala sesuatunya pada dasar kitabullah. Sehingga tanjak bukanlah sekedar reaksioner belaka melainkan sebagai satu bentuk “Narasi Simbolik” yang dalam penerjemahan indrawi Bangsa Melayu adalah Islam.
Islam adalah agama yang dibawa Baginda Rosul agung Muhammad SAW dengan kitab Al-Qur’an. Suatu sikap yang paripurna tak terbantahkan ketika bangsa melayu menggunakan tanjak di hari raya idul Fitri. Pemakaian tanjak tersebut merupakan pesan yang tersembunyi agar bangsa Melayu memperkuat Islam sebagai pegangan hidup.
Eksistensi Bangsa Melayu masa kini mulai tampak dipermukaan dan letupan-simetris yang konstan selaras perkembangan IPTEK, budaya Melayu tidak akan pernah layu seperti yang dibayangkan oleh kaum sinisme. Bukti Melayu tetap mekar memiliki variabel baku seperti penggunaan ide pokok adat istiadat melingkar di pangkuan Al-Qur’an dan Hadist. Jadi selama bangsa Melayu mengamalkan, mengajarkan dan berpegang pada mushaf Qur’an dan Hadist selama itu pulalah bangsa Melayu tidak mati ditelan zaman.
Bangsa Melayu hanya perlu memantapkan Azzam hidup Berjamaah yang bukan hanya di Masjid juga diluar masjid dengan memperhatikan aspek ekonomi, sosial dan budaya. Bangsa melayu harus menyadari dan tersosialisasikan untuk mengakhiri jebakan pada kebesaran masa lampau namun tetap menatap teguh masa depan dan fokus menghidupkan Marwah Melayu dari zaman ke zaman.