Penulis: Silvia Handayani, Komunitas Muslimah Menulis Kota Depok
OPINI, Sinkap.info – Naiknya harga kedelai membuat para produsen tempe di kawasan Jabodetabek mogok produksi sejak awal tahun baru, tepatnya Jumat, 01 Januari 2021 (Tribunnews.com, 03/01). Ketua Umum Gabungan Koperasi Tempe dan Tahu Indonesia (Gakoptindo) Aip Syarifuddin mengatakan, harga kedelai impor sudah naik hampir 50% dalam beberapa bulan terakhir, hal ini menyebabkan para pengrajin tahu dan tempe kesulitan untuk membuat produknya. Puncaknya, mereka tidak sanggup untuk berproduksi.
Tidak bisa dipungkiri masyarakat Indonesia memang penggemar produk-produk yang berasal dari kedelai. Dari kedelai ini tercipta berbagai makanan tradisional yang digemari masyarakat Indonesia, seperti tahu, tempe, kecap, tauco, susu kedelai, dan sebagainya. Karena kandungan proteinnya yang tinggi serta harganya yang relatif terjangkau, tempe dan tahu menjadi pilihan masyarakat Indonesia pada umumnya, sebagai lauk pengganti daging.
Maka, tidaklah mengherankan ketika harga kedelai naik dan produsen tahu dan tempe mogok berproduksi, masyarakat kelas menengah ke bawah semakin terpuruk. Apalagi di masa pandemi ini, ketika penghasilan masyarakat semakin menurun bahkan banyak yang kehilangan mata pencahariannya, lauk alternatif yang dijadikan sebagai lauk pokok, menghilang dari pasaran. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Ketua Umum Gabungan Koperasi Tahu Tempe Indonesia (Gakoptindo) Aip Syarifudin mengatakan rencana menaikkan harga tempe dan tahu mulai Senin (04/01) merupakan konsekwensi naiknya harga kedelai di pasaran dunia. Tentu saja ini menimbulkan pertanyaan lainnya, mengapa Indonesia tidak sanggup menghasilkan kedelai untuk mencukupi kebutuhan dalam negerinya, sehingga harus mengimpor dari negara lain?
Jika ditinjau dari sisi ketahanan pangan, seyogyanya Indonesia berswasembada kedelai, karena pengadaan kedelai impor rawan terhadap lonjakan harga dan juga kesulitan bila terjadi kelangkaan produk di pasar internasional. Masalah ketahanan pangan di Indonesia sebenarnya memiliki dua dimensi kepentingan, yakni bagaimana masyarakat dapat mengakses pangan dengan harga terjangkau dan bagaimana kesejahteraan petani dapat terlindungi. Dua masalah ini bila tidak diatasi, maka jangan pernah bermimpi Indonesia terbebas dari ketergantungan impor. Apalagi di bawah pengaturan sistem kapitalisme yang diadopsi oleh negara ini, harapan mandiri pangan tak akan terealisasi.
Ketahanan pangan nasional Indonesia terancam, jika kebijakan impor dimudahkan. Sementara lahan pertanian justru diubah menjadi gedung-gedung perkantoran, perumahan, industri dan pariwisata mengakibatkan keseimbangan alam terganggu, komoditas pangan terancam dan nasib petani pun mulai terpinggirkan. Lantas, bagaimana Islam memandang permasalahan ini?
Islam memiliki konsep yang jelas dalam pengelolaan pangan, yaitu dengan visi mewujudkan kemandirian pangan dan jaminan ketersediaan pangan bagi seluruh rakyat. Islam memandang, pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar yang wajib dipenuhi negara. Negara akan melakukan beragam upaya untuk merealisasikannya, seperti peningkatan produktivitas lahan dan produksi pertanian, melalui ekstensifikasi pertanian. Hal ini bisa dilakukan dengan menghidupkan tanah-tanah mati.
Dalam Islam, tanah-tanah mati bisa dihidupkan oleh siapa saja baik dengan cara memagarinya, dengan maksud untuk memproduktifkannya atau menanaminya dan tanah itu menjadi milik orang yang menghidupkannya itu. Sebagaimana sabda Rasul SAW, “Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu menjadi miliknya” (HR Tirmidzi, Abu Dawud).
Jika ada tanah yang ditelantarkan pemiliknya selama tiga tahun, hak kepemilikan atas tanah itu akan hilang dan negara mengambil alih lalu mendistribusikannya kepada individu rakyat yang mampu mengelolanya. Maka, tak ada istilah lahan kosong yang dibiarkan begitu saja. Islam juga mendorong kebijakan intensifikasi pertanian, yakni dengan mengoptimalkan lahan pertanian guna meningkatnya hasil pertanian. Salah satunya melalui peningkatan kualitas benih, pemanfaatan teknologi, hingga membekali para petani dengan ilmu yang diperlukan. Semua aspek itu akan didukung dan disediakan fasilitasnya oleh negara.
Agar pasokan pangan tetap terjamin, Islam akan menetapkan mekanisme pasar yang sehat. Negara akan melarang penimbunan, penipuan, praktik ribawi dan monopoli. Kebijakan pengendalian harga dilakukan melalui mekanisme pasar dengan mengendalikan supply and demand, bukan dengan kebijakan pematokan harga.
Dalam hal ekspor impor, Islam akan melihat dan memperhatikan sejauhmana kebutuhan pangan negara. Ekspor dilakukan jika pasokan pangan negara terpenuhi dan mengalami surplus. Adapun impor, hal ini berkaitan dengan kegiatan perdagangan luar negeri Perdagangan luar negeri ini, dalam pandangan Islam, tidak dilihat dari aspek barang yang diperdagangkan, tetapi dilihat dari orang yang melakukan perdagangan.
Demikianlah, Islam miliki seperangkat sistem yang komprehensif dalam mengatasi pangan. Tidak seperti kapitalisme yang hanya berpijak pada profit oriented, dalam sistem khilafah, kemandirian pangan adalah hal yang sangat mungin untuk diwujudkan. Saatnya Kembali pada aturan dari Sang Khalik, niscaya kesejahteraan dan keamanan umat akan terjaga. Wallahu ‘alam bishshowab.