Narasi Perubahan Iklim dan Retorika Pertambangan Indonesia

KOLOM, Opini318 Dilihat

Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson, meminta negara-negara untuk mendorong sepenuhnya usaha menghentikan pemanasan global, pada batas maksimal pertambahan suhu 1,5 derajat celcius, Pada Forum Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) perubahan iklim Conference of the Parties ke-26 atau COP 26 di Glasglow, Skotlandia (31 Oktober-12 November 2021) yang menghadirkan para pemimpin dunia untuk membangun komitmen bersama dalam memerangi perubahan iklim.

Presiden Joko Widodo menegaskan Pada pembukaan event tersebut, kontribusi Indonesia dalam penanganan perubahan iklim. Presiden mendemonstrasikan prestasi Indonesia yang telah berhasil menurunkan laju deforestasi secara signifikan, diklaim terendah dalam 20 tahun terakhir.

Indonesia juga sedang intens membangun ekosistem mobil listrik berbasis baterai dengan bahan dasar nikel. Ini adalah langkah kongkrit Indonesia dalam mendukung transisi global menuju energi yang lebih ramah lingkungan.

Namun, pengakuan ini perlu dilihat lebih mendalam dan menyeluruh.

Beberapa daerah penghasil nikel utama di Indonesia seperti Sorowako, Kolaka, Konawe, Konawe Utara, dan Morowali di Pulau Sulawesi hingga Halmahera Timur di Maluku Utara, selain menikmati pertumbuhan ekonomi, juga tengah menghadapi ancaman kerusakan lingkungan yang masif akibat eksploitasi nikel yang tidak terkendali.

Penggalian nikel telah menyebabkan pencemaran lingkungan, menggerus daya dukung ekologi, lalu pada akhirnya menghilangkan mata pecaharian penduduk lokal yang telah ada sebelum pertambangan masuk.

Pulau Maniang di Kolaka misalnya ditinggalkan begitu saja oleh PT Aneka Tambang Tbk (Antam) tanpa ada rehabilitasi lahan yang telah mereka eksploitasi sejak 1959. Di Halmahera Timur, salah satu BUMN penghasil nikel utama di Indonesia ini juga merusak Pulau Maba dengan menggali nikel tanpa ada pemulihan lahan bekas tambang.

Perusahaan-perusahaan lain juga tidak banyak berbeda. Konawe, Konawe utara, dan Morowali sedang dilanda kehancuran lingkungan akibat pertambangan nikel. Laut yang dulunya biru belakangan telah berubah warna menjadi cokelat kemerahan akibat erosi lahan-lahan bekas tambang.

Masyarakat sudah mulai familiar dengan banjir yang dulu tidak pernah terbayang bentuknya seperti apa, sekarang sudah mulai sering terjadi Akibatnya, degradasi lingkungan terus terjadi dan menjadi beban yang harus ditanggung oleh negara dan masyarakat di masa depan.

Mata seluruh dunia sedang mengamati ini dengan jelas.

Apa yang terjadi hari ini adalah produk dari power asymmetry (asimetri kekuasaan) dalam tata kelola mineral. Kekuasaan secara de facto didominasi oleh para pemilik modal yang sangat pragmatis, sementara negara gamang, tidak berdaya mengendalikan arah pembangunan yang sifatnya jangka panjang dan berkelanjutan. Pemerintah miskin keterampilan dan pengetahuan mengenai sumberdaya yang mereka kuasai, nilainya dan kompleksitas manajemen publik di sektor ini.

Fenomena seperti ini adalah bentuk kutukan sumber daya pada era modern.

Asimetri kekuasaan muncul ketika saluran informasi dan penguasaan pengetahuan dipimpin oleh agenda korporasi. Pada saat yang sama, negara tidak mampu memainkan peran sebagai penguasa kekayaan alam.

Pemerintah lumpuh karena telah terkooptasi secara sempurna oleh korporasi. Negara gagal mengimbangi agresivitas modal dan birokrasi cenderung hanyut dengan segala kemewahan yang diterima sebagai ekses dari kapital yang berkeliaran.

Asimetri kekuasaan ini dapat diidentifikasi dalam tataran praktis. Hingga saat ini misalnya, nyaris tidak ada perusahaan tambang yang diberhentikan (suspended) karena merusak lingkungan. Perusahaan bahkan tidak pernah sekedar mendapatkan peringatan jika mereka tidak melakukan rehabilitasi lahan bekas tambang.

Penguasaan informasi dan kapasitas pengetahuan perusahaan selalu mumpuni untuk bisa meyakinkan pemerintah agar mereka dapat terus ‘menunda’ kegiatan reklamasi-entah sampai kapan. Mereka selalu lihai dalam menjustifikasi perusakan lingkungan.

Birokrasi yang diwakili inspektur tambang sebagai petugas pemeriksa aspek keselamatan dan lingkungan selalu ‘selesai’ di cafe-cafe, restoran, atau tempat karaoke. Pemeriksaan lapangan hanya sebatas formalitas untuk memenuhi kebutuhan administrasi. Alat negara tersebut selalu pulang dengan gratifikasi yang lebih dari cukup, meninggalkan bekas-bekas tambang yang terlantar dan masyarakat yang menderita.

Interaksi seperti ini sudah menjadi kelaziman, dan secara tidak sadar merepresentasikan dominasi korporasi dalam asimetri kekuasaan.

Semua profil ini pada prinsipnya menegasikan pernyataan dan komitmen Joko Widodo pada COP 26 tersebut. Karena itu, banyak pihak yang bereaksi dengan menuduh presiden omong kosong dan sekedar manis di bibir.

Untuk itu, pemerintah perlu mengambil langkah-langkah strategis, dan berani, jika benar-benar ingin mengantarkan Indonesia sebagai pemain utama dalam melawan perubahan iklim dunia. Ini sekaligus menjadi agenda negara untuk mengakselerasi kejahteraan rakyat melalui pengelolaan sumber daya alam secara ramah lingkungan.

Kunci dari komitmen ini adalah reformasi tata kelola sumber daya mineral secara mendasar. Peningkatan kapasitas birokrasi melalui penguasaan dan penerapan teknologi dalam perlindungan lingkungan mutlak diperlukan.

Misalnya, pengawas pertambangan harus beralih menggunakan teknologi penginderaan jauh untuk memantau kegiatan pertambangan, bukan hanya produksi, tetapi juga kegiatan reklamasi dan rehabilitasi lahan secara rinci.

Bukti-bukti pemantauan tersebut harus terdokumentasi dengan baik dan transparan hingga dapat diakses oleh berbagai pihak. Dokumentasi tersebut kemudian harus menjadi rujukan bagi pemerintah untuk menyetujui (atau tidak) rencana penambangan perusahaan setiap tahun. Pemerintah harus berani membatasi laju bukan tambang jika perusahaan tidak mampu menunjukkan keberhasilan reklamasi yang seimbang.

Dalam tataran yang lebih lanjut, kalkulasi ini hendaknya menjadi dasar bagi pemerintah untuk memberikan penghargaan bagi perusahaan yang ramah lingkungan, dan sebaliknya, menjadi bukti bagi mereka yang lalai sehingga dan harus diberi sanksi.

Agenda ini harus dilakukan secara sistematis, dan disertai dengan implementasi lapangan yang konsisten. Ini adalah langkah awal menuju wajah baru Indonesia sebagai negara yang ramah terhadap investasi hijau di sektor sumberdaya alam, seperti cita-cita yang disiratkan oleh presiden pada  forum COP26.