MERANTI, Sinkap.info – Dalam rangka menanggapi surat permohonan dukungan untuk klarifikasi kawasan Gambut di Kepulauan Meranti oleh Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT), DPRD Kabupaten Kepulauan Meranti dalam hal ini Komisi I menggelar rapat dengar pendapat dengan IPPAT dan Pemerintah Daerah yang diwakili oleh Bagian Tata Pemerintahan dan Otonomi Daerah serta Bagian Hukum dan HAM Sekretariat Daerah Kabupaten Kepulauan Meranti, Kamis, (03/09) di Kantor DPRD Kabupaten Kepulauan Meranti.
Rapat yang diakomodir oleh Komisi I DPRD Kabuapten Kepulauan Meranti dipimpin langsung oleh Pauzi, SE. selaku Ketua Komisi I. Hadir pula H. Khalid Ali sebagai Wakil Ketua DPRD Kabupaten Kepulauan Meranti sekaligus Koordinator Komisi I, Boby Haryadi sebagai Wakil Ketua Komisi I, Al Amin A, S.Pd sebagai Sekretaris Komisi I, serta Auzir dan Khosairi, S.Hi., M.Pd.i, sebagai Anggota Komisi I. Dari perwakilan IPPAT, dihadiri oleh Adelina Hernawaty Gultom, SH., M.Kn sebagai Ketua IPPAT, Nina Surya Fitri, SH., M.Kn sebagai Sekretaris IPPAT, Reni Setiawati, SH., M.Kn, selaku Bendahara beserta Husnalita, SH., M.Kn, dan Sri Wati, SH., M.Kn sebagai pengurus IPPAT Kab. Kepulauan Meranti. Sedangkan dari Pemerintah Daerah diwakili oleh Jhon Hendri selaku Kabag. Tata Pemerintahan dan Otda, beserta jajarannya, dan Bagian Hukum dan HAM yang diwakili oleh Rahmawati selaku Kasubag. Bantuan Hukum, Rahmad Faisal sebagai Pj. Kasubag. Perundang-Undangan dan Siti Rodhiyah selaku Kasubbag. Dokumentasi Hukum.
Dalam Rapat tersebut, Komisi I menyampaikan apresiasi kepada IPPAT telah menyurati DPRD terkait timbulnya persoalan pasca terbitnya kebijakan Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru (PIPPIB) beserta aturan kebijakan turunannya bagi daerah Kepulauan Meranti. mengingat ini merupakan persoalan bersama dan berimbas pada kepentingan masyarakat Kabupaten Kepulauan Meranti pada umumnya. Untuk itu, sebelum DPRD memberi dukungan terhadap permohonan IPPAT tersebut, Komisi I mempertanyakan kronologis persoalan dan meminta IPPAT menjelaskan permasalahan tersebut. Adelina Hernawaty Gultom selaku Ketua IPPAT Kab. Kepulauan Meranti menegaskan bahwa “Sebagai pejabat pembuat akta tanah merasa dirugikan, dan secara otomatis PPAT tidak memiliki pekerjaan di Kabupaten Kepulauan Meranti” sebagai imbas dari kebijakan Surat Edaran Kanwil. BPN Provinsi Riau.
Selanjutnya Husnalita menjelaskan titik persoalan sehingga IPPAT menyurati DPRD Kabupaten Kepulauan Meranti untuk melakukan permohonan dukungan tersebut secara kronologis bahwa persoalan timbul sejak tahun 2019, ketika terbitnya Inpres Nomor 5 tahun 2019 tentang Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Sebenarnya didalam Inpres itu sendiri, terkait tanah rakyat/masyarakat tidak terkena dampak dari Inpres itu sendiri, mengingat Inpres Nomor 5 tahun 2019, Instruksi Ketiga, Angka 3, Huruf a Berbunyi “Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional: a. Menghentikan penerbitan hak-hak atas tanah antara lain hak guna usaha dan hak pakai pada areal penggunaan lain berdasarkan Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru (PIPPIB)”. Jadi hanya Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Pakai yang dihentikan. Pada Inpres tersebut tidak ada sama sekali menyebutkan hak milik. Kemudian, diakhir tahun 2019 BPN berkoordinasi dan antisipasi terhadap lahan-lahan yang ada di Kabupaten Kepulauan Meranti, karna pada bulan Agustus 2019, diwilayah Kabupaten Kepulauan Meranti yang masuk PIPPIB ialah 95 % dari keseluruhan luas wilayah. Dan dilakukan revisi setiap 6 bulan sekali, sehingga di bulan Februari 2020, hasil revisi bukan dikurangi, malah bertambah 1%, sehingga 96 % Kabupaten Kepulauan Meranti yang masuk kedalam PIPPIB.
Kemudian, keluar Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor : SK. 851/MENLHK-PKTL/IPSDH/PLA.1/2/2020, amar Kesebelas Pada huruf d bahwa tanah milik masyarakat perseorangan diareal penggunaan lain (APL) sepanjang disertai bukti hak atas tanah/tanda bukti kepemilikan lainnya hasilnya tersebut dilaporkan kepada Menteri LHK melalui Dirjen Planologi, ini dilakukan jika kita minta pengecualian PIPPIB. Dan prosesnya tidak gampang, mesti didaftarkan dulu ke BPN, cek kawasan, buat surat permohonan ke BPN, dan sekelumit proses pemetaan dan lain sebagainya yang hasil dari BPN tersebut baru dilaporkan ke Dirjen Planologi, itupun jika diberikan atau tidak izin untuk dikeluarkan dari PIPPIB oleh Dirjen Planologi yang memutuskan melalui surat, dan proses ini tidak bisa dilalui dalam waktu yang singkat. Untuk yang sudah ada hak milik, hak guna bangunan, dan tanah-tanah SKGR yang belum menjadi sertifikat yang Masyarakat ajukan untuk jual beli dan anggunan. Sehingga menurut Inpres tersebut tidak ada larangan, Kepmen LHK juga memberikan kesempatan kepada kita, akan tetapi mesti berkoordinasi terlebih dahulu melalui Dirjen Planologi. Setelah ditetapkan PIPPIB, kita tidak mengetahui entah dicek atau tidak oleh pihak terkait sebelum menetapkan PIPPIB mengingat untuk wilayah tebing tinggi, saja merata masuk dalam PIPPIB. Yang bebas dari PIPPIB itu hanya Kel. Selatpanjang Barat, Kel. Selatpanjang Selatan sedikit, Kel. Selatpanjang Kota dan Kel. Selatpanjang Timur Sebagian, selebihnya seperti Desa Banglas, Banglas Barat, Alah Air, Alah Air Timur masuk kedalam PIPPIB dan ini tidak pro rakyat.
Pada bulan maret 2020, Kakanwil. BPN Provinsi Riau mengeluarkan Surat Edaran untuk kegiatan derivative pemecahan, pemisahan, peralihan, perubahan hak atas tanah dan pemasangan hak tanggungan pada sertifikat yang telah terbit untuk dihentikan sementara dalam waktu yang tidak ditentukan. Disinilah mulainya persoalan, hak tanggungan, pemecahan, jual beli lahan betul-betul dihentikan. Surat edaran ini benar-benar tidak mencerminkan Inpres Nomor 5 tahun 2019 yang hanya menyinggung Penghentian Penerbitan Hak Guna Usaha dan Hak Pakai saja, Surat Edaran Kakanwil. BPN tersebut, menghentikan semua hak-hak atas tanah, baik itu hak milik, hak guna bangunan dan hak-hak masyarakat atas tanah lainnya. Oleh karena itu, inilah kenapa IPPAT menyurati DPRD untuk mohon dukungan klarifikasi kawasan gambut di Kepulauan Meranti supaya Inpres ini dilaksanakan sebagaimana amanat Inpres yang sesungguhnya. Sehingga masyarakat yang memiliki hak milik atas tanah mereka baik Prona maupun tidak Prona tidak terganggu. Terlebih lagi saat ini dalam kondisi Covid 19, banyak masyarakat yang menjual tanah untuk memenuhi kebutuhan hidup, modal usaha, dan lain sebagainya. “Selaku PPAT tidak bisa berbuat apa-apa karena imbas dari surat edaran tersebut, sehingga tidak bisa melakukan proses balik nama dalam jual beli tanah oleh masyarakat” kata Husnalita.
Bagian Hukum dan HAM Sekretariat Daerah Kab. Kepulauan Meranti melalui Rahmawati selaku Kasubag. Bantuan Hukum menanggapi bahwa barangkali terjadi penafsiran yang berbeda oleh pihak BPN terhadap Inpres Nomor 5 tahun 2019 tersebut, untuk mengklarifikasi hal tersebut, maka BPN seharusnya hadir menjelaskan pada rapat hari ini. Selanjutnya, disampaikan bahwa Perda tentang RTRW Kabupaten Kepulauan Meranti sudah di sahkan, namun masih dalam tahap evaluasi oleh Pemerintah Pusat mengingat adanya hal-hal yang perlu direvisi dan disesuaikan dengan aturan-aturan yang terbaru dan kondisi rill di lapangan. Dalam Surat Keputusan Menteri LHK tersebut, bahwa bisa dilakukan revisi PIPPIB tersebut sehingga bisa menjadi solusi. Pemda bisa mengajukan surat permohonan untuk dilakukannya Revisi terhadap PIPPIB tersebut kepada Kementerian LHK.
Jhon Hendri selaku Kabag Tata Pemerintahan dan Otonomi Daerah menyampaikan bahwa dengan keluarnya Inpres Nomor 5 tahun 2019 ini mengundang banyak permasalahan bahkan dialami sendiri bagian tata pemerintahan dan otonomi daerah seperti ketika melaksanakan pembebasan lahan Kantor Bupati, maka Bupati menyurati untuk meminta BPN memberikan kejelasan terhadap tanah-tanah yang akan diganti rugi oleh Pemerintah Daerah sehingga berkoordinasi dengan BPN Pusat terkait boleh atau tidak, walaupun dalam aturan Inpres itu ada pengecualian. Persoalan ketika Pemda akan mensertifikatkan tanah-tanah yang akan dihibahkan kepada lembaga-lembaga instansi vertikal seperti tanah Polsek Pulau Merbau dan Polsek Rangsang Barat, walaupun dapat pengecualian bahwa itu untuk kepentingan pembangunan daerah, sampai saat ini belum bisa untuk mensertifikatkan tanah-tanah yang sudah SKGR dan SKT untuk diterbitkan sertifikatnya, padahal terhadap pengecualian-pengecualian Inpres Nomor 5 tahun 2019. Jadi agak sedikit bias terhadap penjabaran yang dibuat oleh BPN, padahal menurut Inpres Nomor 5 tahun 2019, terhadap pengecualian tersebut diperbolehkan untuk diterbitkan sertifikatnya, walaupun itu wilayah gambut.
Ketua Komisi I menyampaikan bahwa dengan kondisi hanya 4% lahan dari keseluruhan luas wilayah kabupaten kepulauan meranti yang bebas dari PIPPIB, tentu saja ini sangat miris. Sebagai kabupaten yang masih berusia sebelas tahun, masih banyak yang perlu dibangun. Seperti halnya masyarakat yang sedang membangun perekonomiannya tentu saja mesti memenuhi syarat dan melalui proses-proses tertentu seperti jual beli lahan, melakukan pinjaman dengan anggunan kepemilikan lahan sebagai modal membuka usaha, tentu saja harus ada sertifikat tanah sebagai bukti kepemilikan. Sehingga persoalan ini harus segera menemui titik temu penyeselesaiannya. Kedepan akan diagendakan kembali rapat dengar pendapat lanjutan untuk membahas dan menyelesaikan persoalan ini dengan menghadirkan berbagai pihak-pihak terkait.(Rls)
SINKAP.info | Rls