OPINI, Sinkap.info – Sekadar sebuah perumpamaan pada fiksi kisah-kisah tertulis di peradaban sejarah. Ketika cinta menjadi hukuman dan ketegasan keadilan pembelaan bagi bangsanya. Pembelaan demi kemaslahatan negerinya mengguncang dunia.
Socrates, ketika tidak ingin memberi jawaban pada ungkapan terhadap hakikat kebenaran, konon memilih diam, hingga kebenaran ikut di kematiannya. Kemudian Plato, menjadi realitas membumi mengungkap apologia bagi kebenaran Socrates. Relatifnya konon begitu.
Keadilan dan hukum tak tersampaikan Socrates, sebab konon memilih adil dalam diam di kematiannya. Cukup sudah kesabaran baginya, digempur rasialisme dari negeri bayang-bayang di gelap malam, negeri mikrofon bersuara sumbang mengguncang langit. Dunia memerah ada pembakar langit, melewati keadilan negerinya.
Sebuah negeri mengungkap kata. Siapa membela anak-anakku. Dipancung di negeri lain nun jauh di sana. Marahkah dunia ketika Usman dan Harun digantung di negeri itu, kini, telah menjadi sejarah. Adakah suara dunia bagi negeriku, ketika, saudaraku tersia-sia menjadi terhukum di negeri lain itu. Tak ada suara apapun dari negeri atas angin membela negeri demokrasi bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Negeriku, perduli pada hak kemanusiaan, adil dan beradab. Apa pendapat dunia jika 50 orang saudaraku mati dibunuh racun narkotika setiap hari diungkapkan Badan Narkotika Nasional BNN (CNN Indonesia. Rabu, 29/04/2015 20:22 WIB) Apakah dunia punya jawaban bagi keadilan untuk saudaraku itu. Wahai dunia, negeriku tidak main-main memerangi para pecundang, penyelundup dan mafia pengedar narkoba.
Nota petikan Mahkamah Konstitusi, bahwa Indonesia terikat konvensi internasional tentang narkotika, Karena itu, Indonesia tetap memberlakukan hukuman mati. Indonesia berkewajiban menjaga bangsanya, dari ancaman jaringan peredaran gelap mafia narkotika berskala internasional maupun lokal. Indonesia telah mengakui narkotika adalah kejahatan luar biasa serius terhadap kemanusiaan-extra ordinary crime. Dunia sudah tahu itu.
Langit di negeri lain itu. Bukan langit di jiwa NKRI. Langitku rumahku, tak dapat diubah menjadi musik rock ‘n roll, kepentingan tawar menawar politik saus tomat. Demokrasi impor di negeriku dikontrol oleh Pancasila-UUD 1945, hasil perjuangan bangsa berdarah-darah mempertahankan, merebut, hak-hak kemanusiaan untuk merdeka dan berdaulat di Jagad Raya ini.
Indonesia, negeri nyiur melambai agraris Bung!. Itu sebabnya, H. Mutahar, memperkenalkan lagu “Syukur”, Januari 1945, “…Akan karuniamu. Tanah Air Pusaka. Indonesia Merdeka.”
Indonesia bangsa agraris. Negeri batu akik. Negeri sawah ladang. Bangsa kesatuan, persatuan. Negeri para pujangga. Negeri berkebudayaan luhur. Subur, berhutan, lautan, gunung-gunung, pulau-pulau, berlangit, bermega, asli dan indah.
Ki Hajar Dewantara, telah memberi Indonesia pranata pendidikan menuju kualitas nasionalis, senantiasa menjaga hak-hak bersama bagi kelangsungan hidup di muka Bumi. Bakti Indonesia, menjaga perdamaian dunia, membantu bencana alam dan kemanusiaan di muka bumi ini.
Itu sebabnya diperlukan ketegasan dalam penyelesaian masalah kerusakan terumbu karang di Raja Ampat oleh kapal Caledonian Noble, berbendera negara persemakmuran Inggris, berbobot 4290 ton, 79 awak dan 102 penumpang, panjang 90 meter. (CNN Indonesia Minggu, 12/03/2017 19:57 WIB) Luar biasa hebat perilaku pelanggaran itu. Perilaku pelanggaran ekosistem itu. Mengapa pula kapal bertekno canggih itu mampu menabrak karang Raja Ampat.
Sebuah pertanyaan dan sesal kemudian tak berguna, demikian menurut peribahasa. Bukan menyoal denda atau mereka mampu membayar kerugian lingkungan. Terpenting, mari bertanya pada diri. Kenapa kapal itu masuk ke wilayah Raja Ampat. Ke mana pasukan penjaga pantai, di mana petugas lokal daerah, ada di mana, toh laut tengah surut. Tampaknya diperlukan ketegasan super tegas pemerintah Indonesia. Terkait hal memprihatinkan itu.
Indonesia negeri anti korupsi, meski membasmi kutu korupsi tak semudah membuat seni pop art. Kasus E-KTP tengah menjulang tinggi ke langit peristiwa, pelakunya tengah berebutan cuci tangan, sebab KPK tengah membidik dengan tepat dahi para pelakunya.
Itu sebabnya, jangan sombong menghina negerimu dengan tata cara koruptif, karma kepastian alam raya akan menjaring jempol kakimu sekalipun, wahai para koruptor.
Jangan menghina negeriku Bung! Jangan memata-matai negeriku. Jangan mencuri data-data negeriku. Jangan mencuri kekayaan alam negeriku. Di sini, aku lahir. Di sini aku mati. Aku tulis esai ini untuk menjaga tanah Indonesia Pertiwi, negeri para sahabat damai bagi dunia. Salam Indonesia Unit. (admin)
Sumber rilis: cnnindonesia.com
Komentar