KOLOM, SINKAP.info – Kerajaan Siak Sri Indrapura bukan sekadar entitas politik masa lalu. Ia adalah representasi budaya, spiritualitas, dan kedaulatan lokal masyarakat Melayu yang telah tumbuh sejak abad ke-18 di pesisir timur Sumatera. Namun, setelah Indonesia merdeka pada 1945, Kerajaan Siak mengalami transformasi drastis dari kerajaan berdaulat menjadi sekadar kecamatan dalam wilayah administratif Kabupaten Bengkalis.
Keputusan Sultan Syarif Kasim II untuk menyatakan bergabung dengan Republik Indonesia bukanlah tindakan yang didorong oleh paksaan, melainkan sebuah sikap patriotik yang mulia. Bahkan, ia menyerahkan sebagian besar harta kerajaan untuk membantu perjuangan negara yang baru lahir.
Namun ironisnya, setelah itu Siak Sri Indrapura justru dihapus sebagai entitas politik dan budaya yang otonom. Dalam semangat nasionalisme dan efisiensi administrasi, sistem kerajaan memang dianggap tidak relevan dengan konsep negara republik modern. Namun, pendekatan seragam terhadap semua kerajaan tradisional justru melahirkan ketimpangan penghargaan terhadap sejarah lokal.
Transformasi Siak Sri Indrapura menjadi kecamatan mungkin efisien secara birokratis, tetapi tidak peka terhadap nilai-nilai simbolik dan historis yang dimilikinya. Siak Sri Indrapura bukan kerajaan kecil biasa, pengaruhnya melintasi batas regional dan pernah menjalin komunikasi diplomatik simbolik dengan Kesultanan Utsmaniyah. Siak Sri Indrapura memiliki lembaga adat, istana megah yang masih berdiri kokoh hingga kini, serta warisan budaya yang kuat.
Menjadikan wilayah tersebut sekadar kecamatan seakan memotong benang panjang sejarah yang telah membentuk identitas masyarakatnya. Barulah pada 1999, Siak diangkat kembali sebagai kabupaten, menandai semacam pengakuan ulang terhadap warisan sejarahnya. Tapi, langkah itu terasa terlambat dan terkesan sebagai upaya reparasi administratif semata, bukan pengakuan utuh terhadap kedaulatan simbolik budaya Melayu di wilayah tersebut.
Opini ini tidak mengajak kembali ke masa lalau kerajaan, tetapi menyerukan agar negara hadir secara lebih arif dalam memperlakukan warisan sejarah. Indonesia yang bhinneka seharusnya mampu merawat mozaik sejarah lokal sebagai bagian dari kekayaan nasional. Siak Sri Indrapura adalah salah satu potongan penting dari mozaik itu dan patut mendapat pengakuan lebih dari sekadar status administratif.
Kerajaan Siak Sri Indrapura bukan sekadar halaman masa lalu dalam buku sejarah lokal. Ia adalah salah satu tonggak penting yang ikut menopang berdirinya negara Republik Indonesia. Namun, ironisnya, warisan kebudayaan dan politik kerajaan ini tak pernah mendapatkan tempat yang semestinya dalam struktur kenegaraan modern.
Hari ini, ketika wacana pembentukan Daerah Istimewa Riau (DIR) mulai menggema, kita diajak kembali menengok jejak sejarah dan menuntut keadilan bagi nilai-nilai yang pernah dilupakan. Kini, masyarakat Riau khususnya wilayah bekas kekuasaan Kerajaan Siak memendam harapan besar, pengakuan konstitusional dalam bentuk Daerah Istimewa Riau (DIR). Wacana ini bukan upaya separatisme atau nostalgia feodalisme, ini adalah usaha memperjuangkan keadilan sejarah, seperti yang telah diterima oleh Yogyakarta sebagai Daerah Istimewa karena kontribusi dan peran Sultan HB IX dalam membentuk Republik.
Jika Yogyakarta dihormati karena ketulusan dan kontribusinya, mengapa Siak Sri Indrapura yang memberi hal serupa bahkan dengan kekayaan yang nyata tidak memperoleh pengakuan yang setara?
Pembentukan DIR bisa menjadi berkah dari sejarah, bukan hanya bagi masyarakat Riau, tetapi juga bagi Indonesia secara keseluruhan. Riau adalah pusat budaya Melayu, bahasa nasional kita tumbuh dari akar Melayu Riau, dan Kerajaan Siak adalah simbol kebesaran masa lalu yang modern dan terbuka. Status daerah istimewa akan memungkinkan perlindungan lebih kuat terhadap sistem adat dan budaya Melayu, pelestarian warisan sejarah kerajaan serta urgensinya untuk pengelolaan sumber daya secara partisipatif dan berkeadilan.
Selain itu, ini menjadi bentuk penguatan narasi kebangsaan, bahwa Indonesia tidak tumbuh dari Jakarta ke daerah, melainkan dari komitmen banyak entitas lokal yang rela mengorbankan segalanya demi keutuhan republik. Masyarakat Riau tidak sedang meminta hak istimewa, tapi sedang memperjuangkan pengakuan yang adil atas sejarahnya.
Status istimewa bukan hadiah, melainkan bentuk penghormatan negara atas kontribusi yang telah diberikan. Jika republik ini ingin terus tumbuh sebagai bangsa yang besar, maka ia harus mulai belajar menoleh ke masa lalu, bukan untuk kembali ke sana, melainkan untuk memetik hikmah dan rasa terimakasih atas sejarah yang selama ini dibiarkan menggantung. Sudah saatnya Siak tak lagi dipandang sebagai catatan kaki dalam sejarah nasional, tetapi sebagai salah satu pilar utama dalam fondasi Indonesia merdeka.
Daerah Istimewa tidak harus berarti kedaulatan baru atau hak-hak khusus yang bertentangan dengan sistem negara kesatuan. Sebaliknya, ia adalah kerangka hukum untuk melindungi warisan budaya, adat istiadat, dan identitas sejarah yang telah memberi kontribusi besar terhadap republik. Dengan mengakui Daerah Istimewa Riau, kita bukan sedang memberi hadiah kepada masa lalu, tetapi sedang menyempurnakan bangunan kebangsaan agar tak hanya berdiri di atas struktur politik modern, tetapi juga di atas fondasi budaya yang kokoh.
Sudah saatnya republik ini tak lagi menunda pengakuan terhadap Daerah Istimewa Riau sebagai wilayah yang memiliki nilai sejarah yang telah lebih dulu mengakui republik yang kita cintai ini.