Oleh : Indra Efendi Rangkuti, Pengamat Olahraga Sumatera Utara
Medan, 13/09 — Momen Silaturahmi Legenda Olahraga Sumatera Utara “Awak Masih Ada” di Pos Bloc Medan menjadi kesempatan berharga bagi pecinta olahraga untuk mengenang kembali masa kejayaan balap sepeda Indonesia, khususnya Sumatera Utara, melalui sosok Sutiyono, seorang legenda yang tak lekang oleh waktu.
Sutiyono, yang mendapat julukan “The King of Mountain,” tidak hanya dikenal karena prestasi gemilangnya di lintasan balap, tetapi juga karena perjuangannya yang luar biasa di bawah bimbingan pelatih legendaris asal Italia, Maurice Lungo. Keberhasilan Sutiyono sebagai atlet sepeda profesional tak bisa dilepaskan dari kontribusi Lungo, yang sejak awal tahun 1971 telah bermukim di Medan dan mendedikasikan dirinya untuk melatih para pembalap sepeda berbakat Indonesia.
Maurice Lungo, yang pernah melatih atlet sepeda Indonesia pada Olimpiade 1960, termasuk M. Sanusi, Rusli Hamsijn, Hendrick Brocks, dan Theo Polhsupessy, melihat potensi luar biasa dalam diri Sutiyono. Sutiyono sendiri memulai kariernya dengan merakit sepeda secara mandiri dan sering kali memenangkan berbagai kejuaraan lokal di Medan. Dari sinilah Lungo menawarkan Sutiyono kesempatan untuk berlatih bersamanya, sebuah langkah yang kelak mengubah hidup Sutiyono selamanya.
Lungo, dengan pengalamannya sebagai pembalap sepeda profesional, mengajarkan teknik-teknik balap yang membantu Sutiyono menjadi atlet sepeda yang tangguh. Sutiyono sering kali menerima hadiah kecil dari Lungo seperti ban atau velg baru sebagai bentuk apresiasi atas dedikasi dan kerja kerasnya. Dengan didikan yang tepat, Sutiyono mampu mengalahkan banyak lawan di medan yang paling menantang, sehingga mendapat julukan “The King of Mountain.”
Prestasi Sutiyono kian mengkilap ketika ia meraih medali emas di Pekan Olahraga Nasional (PON) 1973, 1975, dan 1981. Ia juga berjaya di tingkat internasional, dengan meraih emas dan perunggu di ASEAN Tour de Singapore pada 1975 dan Tour of Formosa di Taiwan tahun 1976. Selain itu, Sutiyono berhasil merebut medali emas di SEA Games 1977, 1979, dan 1981, serta medali emas di Kejuaraan Balap Sepeda Asia 1977 dan perak pada 1981.
Sutiyono tidak hanya menjadi bintang di Asia, tetapi juga mencatatkan namanya di pentas dunia. Pada tahun 1978, ia tampil di Kejuaraan Dunia Balap Sepeda di Jerman dan Asian Games di New Delhi pada tahun yang sama.
Namun, di balik keberhasilannya sebagai atlet sepeda, tidak banyak yang mengetahui bahwa Sutiyono sempat menekuni olahraga sepak bola. Pada akhir 1960-an dan awal 1970-an, Sutiyono bergabung dengan klub Putra Harapan di kompetisi antar klub PSMS Medan, bersaing dengan nama-nama besar seperti Nobon, Sarman Panggabean, dan Ronny Pasla. Namun, takdir menentukan bahwa prestasi terbaiknya ada di balap sepeda, bukan sepak bola.
Setelah lebih dari satu dekade mengukir prestasi, Sutiyono memutuskan pensiun dari dunia balap sepeda pada tahun 1983. Sayangnya, sepeninggalnya, belum ada atlet balap sepeda Sumatera Utara yang mampu menyamai kejayaannya. Di akhir 1980-an hingga awal 1990-an, muncul beberapa nama seperti Sugiarto dan Sabaruddin Purba yang bersinar di tingkat nasional, namun kejayaan Sumut di arena balap sepeda masih jauh dari harapan.
Hingga kini, Sutiyono tetap mengingat jasa Maurice Lungo yang menjadi sosok penting dalam kariernya. Lungo, yang begitu mencintai Indonesia, bahkan memutuskan untuk menjadi warga negara Indonesia pada era 1970-an dan dimakamkan pada tahun 1991 di Medan dalam usia 92 tahun.
Sutiyono adalah bukti nyata bagaimana dedikasi, kerja keras, dan bimbingan yang tepat dapat mengantarkan seseorang menuju puncak kesuksesan. Meskipun sudah pensiun, namanya tetap dikenang sebagai legenda balap sepeda Indonesia, khususnya di Sumatera Utara. Bagi generasi muda, Sutiyono adalah inspirasi bahwa mimpi besar bisa tercapai, asalkan ada semangat untuk terus berusaha.
Jaya selalu olahraga Sumatera Utara!
SINKAP.info | Rls