Oleh: Dr Jannus TH Siahaan
SINKAP.info, Indonesia membutuhkan sumber pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, selain untuk keluar dari tekanan ekonomi pandemik juga untuk menjaga irama perekonomian nasional agar tidak terpuruk dan kembali ke dalam bayang-bayang resesi seperti tahun 2020 dan 2021. Begitu pula dengan perekonomian di daerah, Sumatera Utara pada umumnya dan kabupaten-kabupaten yang melingkari Danau Toba pada khususnya.
Sebagaimana pernah saya sampaikan di dalam kolom opini terdahulu, rencana besar sektor pariwisata yang dipaksakan oleh pemerintah untuk kawasan Danau Toba sejak beberapa tahun lalu nyaris berantakan alias nyaris layu sebelum sempat berkembang.
Pandemik tidak saja menekan kunjungan wisatawan ke Danau Toba, tapi ke seluruh destinasi pariwisata utama di Indonesia, tak terkecuali Bali. Begitulah faktanya di lapangan. Pariwisata sejatinya bukanlah sektor yang harus dipaksakan berdiri sendiri karena sektor pariwisata sangat bergantung kepada musim (season) dan dorongan dari sektor-sektor ekonomi lain.
Beberapa hari yang lalu tepat dihari jumat Kapolda Sumut membentuk satuan Kepolisian kawasan Pariwisata Danau Toba yang bertajuk Destinasi Pariwisata Super Prioritas Danau Toba (DPSPDT) yang didasari UU No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, PP No.5 Tahun 2011 Tentang Rencana Induk Pengembangan Nasional, Perpers No.49 Tahun 2016 tentang Badan Otorita Pengelolaan Kawasan Pariwisata Danau Toba.
Dalam hal tersebut tentu tidak ada salahnya pemerintah bereksperimen dengan sektor baru untuk Danau Toba, sebagai penambah daya dorong pertumbuhan ekonomi daerah di satu sisi dan pencegahan peningkatan pencemaran danau di sisi lain. Tapi perlu pula diingat, sektor pariwisata bukanlah sektor yang benar-benar bersih dari dosa pencemaran dan bukan pula sektor yang stabil karena sangat bergantung pada keadaan ekonomi makro, baik global maupun nasional.
Sebut saja misalnya Cina. Jumlah wisatawan dari negeri Tirai Bambu sampai tahun 2018 lalu memang sangat besar. Tapi sejak pertumbuhan perekonomian Cina mulai menurun, ditambah dengan tekanan perang dagang dengan Amerika Serikat yang membuat aktifitas banyak industri di Cina berantakan, jumlah wisatawan Cina ke berbagai destinasi dunia, termasuk Indonesia, juga menurun. Hal tersebut sangat bisa dipahami mengingat “leisures” atau berwisata bukanlah kebutuhan dasar manusia.
Berwisata memang bukan kebutuhan utama. Berwisata adalah aktifitas ekonomi lanjutan dari membaiknya tingkat kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat suatu negara. Jika perekonomian suatu negara semakin tertekan, otomatis jumlah wisatawan dari negara tersebut akan ikut menyusut. Begitu pula sebaliknya. Jadi secara strategis, jika pemerintah menetapkan sektor pariwisata sebagai sektor utama di Danau Toba, maka pemerintah harus menanggung risiko seperti hari ini, yakni terpangkasnya tingkat kunjungan wisata secara tiba-tiba akibat pandemik.
Pertanyaannya, jika hanya sektor pariwisata saja yang diberi prioritas di Danau Toba, bagaimana nasib perekonomian daerah-daerah di sekitar Danau Toba hari ini di saat pandemik? Tentu akan kelabakan seperti Bali ketika kebijakan pembatasan mobilitas diterapkan secara maksimal. Untuk itu, pemerintah memang perlu meredefinisi kebijakan strategis di Danau Toba yang memprioritaskan sektor pariwisata tanpa tedeng aling-aling.

Lalu kemudian soal pencegahan pencemaran Danau Toba. Pemerintah bersikeras berpendapat bahwa sektor pariwisata adalah sektor yang sustainable secara lingkungan, sementara usaha Keramba Jaring Apung (KJA) tidak. Sehingga, menurut pemerintah usaha pemeliharaan ikan danau dan KJA harus dikurangi secara signifikan, bahkan jika perlu malah dihentikan. Padangan semacam ini sangat distortif dan tidak berlandaskan pada fakta lapangan yang ada.
Sebagaimana pernah saya sampaikan dalam opini sebelumnya, sektor pariwisata juga berkontribusi besar terhadap pencemaran Danau Toba via limbah dari hotel-hotel dan penginapan, selain pencemaran dari sektor rumah tangga, sektor pertanian dan perkebunan via banyak sungai yang berlabuh ke Danau Toba, dan juga dari pelabuhan. Bahkan menurut data, KJA bukanlah penyumbang pencemaran danau terbesar, hanya penyumbang nomor sembilan dari semua penyumbang pencemaran danau sebagaimana yang diteliti oleh Lembaga Pengabdian Masyarakat IPB University.
Jadi jika ada kampanye-kampanye negatif tentang KJA yang menjadi penyebab utama pencemaran di Danau Toba, saya meyakini, kampanye semacam itu tidak tepat. Apalagi kalau didasari semangat untuk memperburuk citra usaha KJA di Danau Toba. Kampanye semacam ini seolah-seolah menjadi instrumen keputusasaan dari pihak-pihak tertentu yang kehilangan argumentasi ilmiah dalam menyudutkan sektor perikanan, khususnya KJA, di Danau Toba.
Mengapa saya mengatakan kehilangan argumentasi ilmiah? Pertama, karena berdasarkan penelitian institusi ilmiah bahwa sektor perikanan di Danau Toba (KJA) bukanlah sektor yang menjadi penyumbang utama pencemaran danau. Kedua, kontribusi ekonomi KJA sangat tidak terbantahkan. Usaha ikan tilapia, mulai dari pemeliharaan, pengolahan, dan perdagangan (ekspor) terbukti menjadi kontributor penting dalam postur pertumbuhan ekonomi daerah (PDRB), pertumbuhan ekonomi nasional, dan dalam postur pendapatan devisa nasional.
Dan ketiga, sektor perikanan dan KJA adalah penyerap tenaga kerja masif di daerah di satu sisi serta menjadi salah satu fondasi ekonomi dalam mengentaskan kemiskinan di daerah-daerah sekitar danau di sisi lain. Desa-desa yang awalnya terkategori miskin, sejak beralih pada usaha perikanan tilapia berubah menjadi desa-desa makmur, yang belum tentu mampu disaingi oleh kontribusi sektor lain. Penyediaan lapangan pekerjaan oleh sektor perikanan tilapia bagi ribuan masyarakat di kawasan danau memang tak terbantahkan. Perannya sangat krusial dalam menyukseskan program-program pemerintah, baik pusat maupun daerah, dalam mengurangi angka kemiskinan di daerah.
Dengan kontribusi yang sangat signifikan tersebut, hebatnya, sektor perikanan dan KJA justru hanya menjadi penyumbang kesembilan yang menyebabkan pencemaran di Danau Toba. Bukankah itu sebuah prestasi yang layak diberi penghargaan? Lantas anehnya, pemerintah justru mengambinghitamkan KJA dan sektor perikanan danau sebagai penyebab utama dan satu-satunya pencemaran danau selama ini.
Bahkan belakangan cukup sering muncul kampanye-kampanye yang tidak jelas konteksnya yang menyudutkan sektor perikanan danau dan KJA secara tidak manusiawi, mulai dari video sampai pada narasi-narasi kebencian yang berlebihan. Jika pemerintah “melek” terhadap data-data dan konteks sosial ekonomi KJA yang saya sebutkan di atas, maka pemerintah, baik pusat maupun daerah, semestinya mengambil posisi politik yang tegas.
Pertama, menjadikan sektor pariwisata sebagai sektor pelengkap, bukan sektor utama, di Danau Toba. Kedua, memberikan dukungan, baik materil maupun moril kepada sektor perikanan danau dan KJA, untuk semakin meningkatkan kontribusi ekonominya sekaligus memperbaiki performa lingkungan hidupnya. Dan ketiga, menindak para pihak yang menebar narasi-narasi kebencian pada sektor-sektor tententu di kawasan danau Toba untuk keuntungan sektor lainnya. Semoga.