Mempertegas Grand Strategi Indonesia di Tengah Relasi Panas Amerika dan China

NASIONAL, Opini533 Dilihat

 

SINKAP.Info – Oleh: Dr. Jannus TH Siahaan (Pengamat Pertahanan dan Geopolitik)

Pandangan Andi Widjajanto yang menyatakan bahwa strategi China saat ini hampir mirip dengan gaya Jepang jelang Perang Dunia II sangat layak didalami. Karena itu, “warning” dari Andi bahwa Indonesia harus bersiap diri menghadapi kemungkinan terburuk dari puncak konflik antara China dan Amerika di Pasifik juga sangat patut dipertimbangkan oleh Indonesia, terutama Kementerian Pertahanan.

Pandangan tersebut disampaikan Andi dalam acara uji materi UU Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara (PSDN) terkait komponen cadangan (Komcad). Analisisnya didasarkan atas sikap China yang melakukan rencana strategis selama 70 tahun ke depan. Tahap pertama dari tahun 1980 sampai 2000. Tahap kedua, rentang waktu antara tahun 2000 sampai 2020. Dan tahap ketiga, rentang waktu tahun 2020 sampai 2050.

Saya tentu sepakat dalam beberapa hal dengan Andi Widjajanto. Terutama tentang strategi kebangkitan China yang, bagaimanapun, berpeluang mengundang konflik tingkat tinggi di berbagai arena internasional, terutama dengan Amerika di Kawasan Pasifik. Apalagi, sejak krisis finansial 2008, China nampaknya sangat yakin bahwa Amerika sudah berada pada fase-fase “decisive decline.” Keyakinan China tersebut tentu sangat masuk akal mengingat peran Amerika di bidang ekonomi global memang secara berlahan terkikis yang imbasnya sangat terasa setelah krisis finansial 2008.

Dengan keyakinan itu, China pelan-pelan berusaha mengambil alih peran ekonomi Amerika di tingkat global dengan menjadi penyelamat ekonomi dunia di saat krisis berlangsung. Ekonomi China yang sedang naik daun ketika itu menjadi penyerap utama komoditas ekspor dari seluruh dunia, terutama sumber daya alam seperti minyak, biji besi, nikel, dan batu bara. Negara-negara yang bergantung kepada ekspor komoditas mentah, termasuk Indonesia dan Australia, sangat merasakan betapa besar peran China dalam membendung krisis ekonomi global yang bersumber dari Wall Street dan Euro Zone.

Peran tersebut mempertinggi kepercayaan diri China bahwa dalam satu atau dua dekade ke depan China akan menjadi kekuatan nomor satu dunia, terutama di bidang ekonomi. Meskipun tak semudah itu mengingat perdapatan perkapita China masih terpaut jauh dibanding negara-negara maju, peran heroik yang mainkan China di saat krisis finansial global memang melejitkan citra ekonomi negeri Tirai Bambu tersebut. Di Afrika misalnya, China kini dianggap sebagai penyelamat dan menjadi mitra ekonomi utama di mana China berdiplomasi untuk menyelamatkan supply bahan mentah dari Afrika dengan tawaran miliaran dolar investasi. Bahkan boleh jadi, gegara ekspansi ekonomi China di Afrika, peran Amerika nyaris hampir terkikis di sana.

MENARIK DIBACA:  Festival Sagu Nusantara Desa Sungai Tohor, Urun Rembuk Konsolidasi Keseriusan Terhadap Ekologi dan Potensi Sagu

Di Asia, China secara de facto mampu menetralisir pengaruh Amerika di beberapa negara. China mampu menghasilkan perjanjian unilateral maupun bilateral dengan negara-negara di Asia, termasuk ASEAN, dan menyabet banyak dukungan saat China mengajukan ide tentang Bank Investasi Infrastruktur Asia (Asia Infrastructure Investment Bank/AIIB) sebagai alternatif dari Bank Pembangunan Asia (ADB) yang menjadi simbol supremasi moneter blok barat via Tokyo. Kemudian berlanjut dengan proyek-proyek Belt and Road Initiative dan Maritime Silk Road yang menghubungkan berbagai negara di Asia, mulai dari Asia Timur, Selatan, Sentral Asia, dan Asia Tenggara.

Dengan posisi dominan tersebut, negara-negara di Asia dipaksa bermain dua kaki, yang secara substantif bermakna “netral” jika konflik China-Amerika meningkat. Negara-negara di Asia menginjakkan kaki ekonominya di China, tapi menyandarkan kaki pertahanannya di Amerika. Kedua bidang ini saling terkait dan saling bergantung. Negara-negara Asia membutuhkan mitra ekonomi (mitra dagang dan investasi) seperti China untuk menjaga gerak positif perekonomian domestik, tapi juga membutuhkan jaminan keamanan dan pertahanan dari Amerika agar China tidak asertif dan agresif terhadap kepentingan teritorial mereka.

Jadi, secara prinsipil saya bersepakat dengan Andi Widjajanto tentang kebangkitan China dan ambisi China untuk melemahkan Amerika di Pasifik. Untuk itu, saya juga bersepakat bahwa Indonesia, sebagai negara terbesar di dalam ASEAN, harus mulai “catch up” secara ekonomi dan pertahanan dengan China, terutama di kawasan kritis yang terkait langsung dengan area konflik. Tapi, saya masih belum menemukan indikasi pasti atas kemungkinan perang dalam waktu dekat dan masih meyakini bahwa Amerika dan China, bersama dengan negara-negara besar lainnya, termasuk Indonesia, akan memberikan peran maksimal agar tidak terjadi perang.

Amerika, sedari awal memang tidak menjadikan perang sebagai senjata diplomasi utama, sejak Monroe Docrine sampai Kebijakan “Open Door” John Hay (termasuk mempersuasi negara imperialis lain seperti Inggris, Perancis, Rusia, Jerman, dan Jepang untuk mempertahankan integritas teritorial China/ Dinasti Qing) yang sukses diaplikasikan oleh Teddy Roosevelt, sampai ke FDR di Perang Dunia Kedua dan Richard Nixon yang justru menggandeng China secara terbuka serta mengakui Soviet sebagai negara super power, lalu berlanjut pada “engagement policy” pasca perang dingin dan gaya “strategic competition” Donald Trump. Selama tidak diserang terlebih dahulu, Amerika akan tetap memilih diplomasi.

Amerika, sebagaimana saya meyakini, dengan segala cara akan melakukan pendekatan “balance of power” di Asia Pasifik, agar tidak ada satu kekuatan utama yang sangat dominan. Pada Russo-Japan War, Teddy Roosevelt (TR) buru-buru mengintermediasi kedua negara agar tidak ada yang mendeklarasikan diri sebagai pemenang dan menganggap dirinya penguasa Asia (Jepang). TR mendapat anugerah Nobel Perdamaian atas inisiatif tersebut, meskipun di belakang layar TR memberikan sinyal hijau kepada Jepang untuk menduduki Korea. Untuk sementara waktu, “balance of power” kembali terjaga di Asia kala itu.

MENARIK DIBACA:  Buka Lomba Orasi, Kapolri: Komitmen Polri Junjung Tinggi HAM dan Nilai Demokrasi

Di era kebangkitan Jepang situasinya berbeda. Ada Jerman dan Italia sebagai “penguat keyakinan” Jepang untuk menjadi agresif. Pun Jepang telah memulai langkah-langkah super-agresif jauh hari sebelum Amerika memutuskan memerangi Jepang pasca Pearl Harbor. Setelah Manchuria, Jepang merebut Formosa di tahun 1895 dari China, lalu Korea sepuluh tahun kemudian, dan merangkak ke teritorial China setelah itu yang memicu Amerika memberlakukan embargo minyak kepada Jepang. Embargo tersebut berimbas pemutusan hubungan diplomatik secara sepihak oleh Jepang terhadap Amerika dan memaksa Jepang untuk menduduki sumber-sumber minyak baru di Asia Tenggara, terutama Plaju (Sumsel) dan Tarakan (Kalimantan Timur), dalam aksi besar penaklukan Asia, yang semuanya bukanlah daerah kekuasaan Jepang sebelumnya.

Berbeda dengan China, baik di Hongkong, Taiwan, Sengkaku, ataupun Laut China Selatan, yang memang dulunya berada di bawah Dinasti Qing, China berusaha merebut kembali dengan cara damai. Meski demikian, saya cukup yakin, China tidak akan gegabah seperti Jepang dalam menyatukan kembali teritorial yang hilang tersebut. Yang paling mungkin terjadi adalah situasi mirip “perang dingin,” yang berbeda dengan era perang dingin antara Soviet dan Amerika, mengingat interdependensi dan interelasi antara China dan Amerika secara ekonomi sangatlah intens.

Tapi, dengan asumsi perang dingin gaya baru tersebut, saya mendukung rekomendasi Andi Widjajanto, bahwa Indonesia harus siap-siap. Indonesia mau tak mau harus mendorong ASEAN menjadi kekuatan regional seperti era Soekarno dan Seoharto (Non Blok), dengan membangun basis kekuatan pertahanan regional dan nasional dan menjadi penghubung signifikan antara China dan Amerika. Sebagaimana kita ketahui, selama perang dingin dengan Soviet, perang secara langsung antara Amerika dan Soviet tidak terjadi, tapi mendidihkan gejolak perang di negara-negara pinggiran. Untuk itu, gerakan Non Blok harus dikuatkan kembali agar tidak terseret ke dalam pusaran perang dingin gaya baru. Dengan demikian, geostrategi dan grand strategi Indonesia di bidang pertahanan dan ekonomi haruslah dipertegas dan tentunya diperjelas dengan dukungan anggaran yang masuk akal juga.

SINKAP.Info | Laporan: Faisal