OPINI, SINKAP.info – Tahun pertama kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka menjadi sorotan publik. Bukan hanya karena dinamika politik, melainkan juga karena lahirnya dua program prioritas yakni Makanan Bergizi Gratis (MBG) dan Sekolah Rakyat (SR).
Kedua program ini mengundang beragam respons, baik dukungan maupun kritik, mengingat anggaran yang digelontorkan sangat fantastis. Namun, di luar kontroversi yang muncul, keduanya patut dianalisis lebih jauh karena menyentuh langsung isu paling mendasar dalam kehidupan rakyat, yakni kesehatan gizi dan pendidikan.
Program MBG yang dikelola oleh Badan Gizi Nasional (BGN) menjadi salah satu proyek raksasa. Sasaran penerimanya sangat luas, mulai dari ibu hamil, ibu menyusui, balita, hingga anak sekolah. Pemerintah mengusulkan anggaran sebesar Rp 335 triliun pada tahun 2026, naik signifikan dari Rp 171 triliun di tahun sebelumnya. Anggaran ini akan mencakup sekitar 82,9 juta penerima manfaat.
Substansi program ini bukan sekadar memberi makanan gratis, melainkan juga strategi preventif dan promotif untuk membangun generasi yang sehat, kuat, dan cerdas sebagai fondasi menuju Indonesia Emas 2045. Menariknya, program ini diberikan secara universal tanpa memandang status sosial ekonomi. Artinya, gizi diposisikan sebagai hak semua anak bangsa, bukan privilege kalangan tertentu.
Lebih jauh, MBG menghadirkan multiplier effect yang luas. Dari aspek kesehatan, gizi seimbang terbukti berbanding lurus dengan kualitas konsentrasi dan prestasi akademik anak. Anak yang mendapat asupan protein, vitamin, dan mineral yang cukup memiliki peluang tumbuh lebih sehat dan cerdas dibanding mereka yang mengalami kekurangan gizi. Program ini pada akhirnya akan meningkatkan kualitas sumber daya manusia sejak dini.
Selain itu, MBG juga membuka peluang kerja baru bagi masyarakat miskin. Pedoman pelaksanaannya menetapkan bahwa sebagian besar tenaga kerja yang terlibat berasal dari keluarga yang terdata di Data Terpadu Sejahtera Ekonomi Nasional (DTSEN) serta para kader Posyandu untuk Distribusi Makanan bergizi bagi Ibu hamil, menyusui dan anak Balita.
Artinya, bukan hanya anak-anak yang mendapat makanan bergizi, tetapi orang tua mereka juga mendapatkan kesempatan untuk bekerja. Dengan begitu, program ini berfungsi ganda, melawan stunting sekaligus menyediakan lapangan pekerjaan.
Dampak ekonomi juga terasa karena MBG melibatkan UMKM lokal. Beras, telur, ayam, sayuran, dan bahan pangan lain yang dipasok untuk program ini berasal dari pelaku usaha kecil. Dengan alokasi ribuan paket gizi setiap hari, para pelaku UMKM mendapat kepastian pasar dari negara. Inilah yang menjadi wujud nyata ekonomi kerakyatan, di mana kebijakan negara mendorong tumbuhnya ekonomi lokal dengan melibatkan masyarakat sebagai penyedia bahan pangan.
Jika ditilik dari perspektif ekonomi makro, MBG menciptakan efek sebar atau spread effect yang nyata. Aliran dana dari APBN tidak berhenti di pusat, tetapi mengalir ke daerah-daerah. Petani, peternak, nelayan, hingga pedagang kecil ikut merasakan manfaatnya. Peningkatan daya beli masyarakat, pertumbuhan sektor pangan lokal, dan stabilitas harga menjadi tiga efek utama yang bisa dirasakan. Dengan demikian, MBG tidak berhenti pada program konsumsi, tetapi juga menjadi instrumen distribusi kesejahteraan.
Untuk memperkuat pelaksanaan program ini, BGN juga menyiapkan pembangunan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di setiap kabupaten. Total SPPG yang telah didaftarkan di portal mitra BGN (baik yang aktif maupun dalam proses pembangunan/verifikasi) mencapai 29.501 unit. Hingga September 2025, ada 7.477 unit SPPG yang sudah aktif beroperasi di seluruh Indonesia, tersebar di 38 provinsi, 509 kabupaten, dan 7.022 kecamatan.
SPPG khusus untuk wilayah 3T (tertinggal, terdepan, terluar) pemerintah merencanakan pembangunan tambahan 1.542 SPPG baru dengan dana sekitar Rp 6 triliun. Unit ini menjadi pusat distribusi, pengolahan, hingga pengawasan kualitas gizi yang disalurkan ke masyarakat. Kehadirannya di tingkat kabupaten memastikan distribusi lebih cepat, tepat sasaran, dan akuntabel.
Menariknya lagi jika pembangunan SPPG ini dilakukan berdampingan dengan pembangunan Sekolah Rakyat (SR). Integrasi kedua program ini menegaskan bahwa negara hadir bukan hanya melalui gizi sehat, tetapi juga pendidikan bermutu. Sasaran penerima manfaat pun dipertegas melalui basis data DTSEN, terutama keluarga miskin desil 1 dan 2.
Dengan skema ini, anak-anak dari kelompok masyarakat termiskin mendapatkan prioritas untuk masuk ke SR sekaligus terjamin asupan gizinya dari SPPG. Model kebijakan ini tidak hanya memutus rantai kemiskinan, tetapi juga membangun rantai kesempatan baru yang lebih setara.
Sejalan dengan MBG, program Sekolah Rakyat (SR) juga menghadirkan terobosan baru dalam dunia pendidikan. SR berusaha memberikan akses pendidikan setara bagi masyarakat miskin melalui konsep boarding school. Model ini memungkinkan anak-anak dari keluarga tidak mampu untuk bersekolah dengan fasilitas lengkap, setara, bahkan lebih baik dibanding sekolah reguler.
Data menyebutkan bahwa sudah ada 100 Sekolah Rakyat yang beroperasi dan pemerintah menargetkan 165 sekolahsudah bisa beroperasi pada akhir September 2025. Ke depan, pemerintah berkomitmen menambah 100 Sekolah Rakyat setiap tahunnya, hingga akhirnya mencapai 500 SR di kawasan-kawasan kantong masyarakat paling tertinggal yang termiskin (desil 1 dan 2).
Negara hadir sebagai penjamin hak pendidikan, sekaligus memutus rantai kemiskinan antargenerasi. Konsep pendidikan di SR menekankan keseimbangan antara akademik, keterampilan hidup, dan pembentukan karakter. Anak-anak tidak hanya belajar teori, tetapi juga dibekali kemampuan praktis yang relevan dengan kehidupan sehari-hari. Selain itu, SR juga menekankan penguatan mental dan karakter sehingga siswa menjadi pribadi yang tangguh, percaya diri, dan berjiwa nasionalis.
Keberadaan SR juga menjadi jawaban atas problem klasik kesenjangan pendidikan. Sekolah reguler seringkali menciptakan stratifikasi sosial, di mana anak dari keluarga kaya mendapat fasilitas lebih baik sementara anak miskin tertinggal. SR menutup jurang tersebut dengan memberikan akses dan fasilitas setara. Dengan demikian, SR berfungsi sebagai alat negara untuk menghapus diskriminasi dalam dunia pendidikan sekaligus menciptakan mobilitas sosial vertikal bagi anak-anak dari keluarga miskin.
Setiap siswa di SR mendapatkan jaminan makan tiga kali sehari dengan nutrisi seimbang, disertai fasilitas modern yang dibiayai penuh oleh negara. Beban orang tua pun berkurang, sementara kualitas pendidikan anak tetap terjamin. Tenaga pengajar yang direkrut pun berstandar tinggi, dengan persyaratan kompetensi akademik dan kemampuan Bahasa Inggris aktif. Harapannya, SR akan melahirkan lulusan yang mampu bersaing dengan alumni sekolah elit sekaligus tetap berpijak pada nilai kebangsaan.
Baik MBG maupun SR sama-sama menunjukkan keberpihakan negara pada rakyat kecil. Keduanya adalah investasi jangka panjang, MBG melalui kesehatan dan gizi, SR melalui pendidikan dan karakter. Meski demikian, implementasi kedua program ini tidak terlepas dari tantangan. Transparansi anggaran, kualitas distribusi, dan pengawasan publik menjadi kunci keberhasilan.
Jika dikelola dengan baik, MBG dan SR berpotensi menjadi legacy monumental Presiden Prabowo. Kedua program ini dapat meninggalkan jejak sejarah dalam pembangunan manusia Indonesia: generasi yang sehat, cerdas, berkarakter, dan berkeadilan. Dengan fondasi seperti ini, bangsa Indonesia bisa melangkah lebih percaya diri menuju visi Indonesia Emas 2045.
SINKAP.info | Rls