Pendidikan Politik di Labuhanbatu: Membangun Demokrasi Bermartabat dari Daerah

SUMATERA UTARA164 Dilihat

RANTAU PRAPAT, SINKAP.info — Demokrasi di Indonesia tidak cukup hanya diukur dari keberlangsungan pemilu lima tahunan atau aktivitas parlemen. Demokrasi sejati memerlukan fondasi kuat berupa etika dan budaya politik yang kini mulai rapuh menjelang Pemilu 2029.

Pernyataan ini disampaikan Dr. Bakhrul Khair Amal, M.Si, akademisi Universitas Negeri Medan (UNIMED), dalam kegiatan Pendidikan Politik bagi Masyarakat yang digelar Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Provinsi Sumatera Utara di Hotel Permataland, Jalan Ahmad Yani, Rantau Prapat, Kamis (11/9).

“Etika dan budaya politik ibarat dua sisi mata uang. Etika memberi landasan moral bagi penguasa, sedangkan budaya politik membentuk perilaku warga negara. Tanpa keduanya, demokrasi hanya menjadi prosedur kosong,” ujarnya.

Kegiatan ini diselenggarakan sebagai upaya meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap nilai-nilai demokrasi. Peserta terdiri dari berbagai lapisan masyarakat Kabupaten Labuhanbatu, termasuk organisasi masyarakat (Ormas), organisasi kepemudaan (OKP), mahasiswa, pelajar, dan perwakilan partai politik.

Dalam laporannya, Kabid Politik Dalam Negeri Kesbangpol Sumut, Prama Jhon Sembiring, S.STP, M.Si, menegaskan pentingnya pendidikan politik agar masyarakat tidak hanya menjadi penonton, tetapi juga aktif mengawal demokrasi.

Dr. Bakhrul menyoroti kondisi etika politik yang mulai memudar. Menurutnya, nilai-nilai seperti integritas, kejujuran, transparansi, dan akuntabilitas seharusnya menjadi kompas moral pejabat publik. Namun, kasus korupsi, nepotisme, dan politik uang masih marak, yang mengikis kepercayaan publik.

“Ketika pemimpin tidak etis, rakyat kehilangan kepercayaan. Padahal, kepercayaan publik adalah oksigen bagi demokrasi,” tegas Bakhrul.

Sementara itu, budaya politik menjadi cermin kesadaran masyarakat. Bakhrul mengingatkan bahwa literasi politik warga masih rendah, sehingga mudah terpengaruh politik uang dan hoaks.

“Tanpa budaya politik yang kritis dan rasional, demokrasi akan rapuh. Partisipasi rakyat harus lebih dari sekadar hadir di bilik suara,” ujarnya.

Dosen Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara (USU), Alwi Dahlan Ritonga, S.I.P., M.I.Pol, menambahkan bahwa sistem politik harus menjadi alat integrasi dan adaptasi sosial.

“Jika etika runtuh dan budaya politik lemah, fungsi integrasi akan terganggu, dan demokrasi kehilangan makna,” jelasnya.

Keduanya juga menyoroti peran teknologi digital. Media sosial membuka ruang partisipasi politik, namun juga berpotensi menimbulkan polarisasi dan disinformasi.

“Polarisasi Pemilu 2019 hingga 2024 adalah alarm bagi kita menjelang 2029,” ujar Bakhrul.

Selain itu, nilai-nilai demokrasi harus ditanamkan sejak dini di keluarga dan sekolah. Alwi menekankan pentingnya membangun kultur yang menumbuhkan etika publik, seperti kejujuran dan penghargaan terhadap perbedaan.

Menjelang Pemilu 2029, kedua akademisi sepakat bahwa demokrasi Indonesia menghadapi tantangan berat. Namun, mereka optimistis jika etika politik dijaga dan budaya politik diperkuat, demokrasi bermartabat bisa diwujudkan.

“Pertarungan politik boleh keras, tapi tanpa etika dan budaya politik yang sehat, demokrasi hanya akan melahirkan kekecewaan baru,” pungkas Dr. Bakhrul.