MEDAN, SINKAP.info — Fenomena pengunduran diri sejumlah Kepala Dinas di lingkungan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Pemprov Sumut) sejak awal masa kepemimpinan Gubernur Bobby Nasution menimbulkan sorotan publik. Di balik alasan formal seperti faktor kesehatan dan urusan keluarga, muncul tafsir lain mengenai dinamika kekuasaan dan perubahan budaya birokrasi di tubuh Pemprov.
Beberapa nama pejabat yang mundur di antaranya Rajali, Kepala Dinas Ketahanan Pangan, Tanaman Pangan, dan Hortikultura, serta Hasmirizal Lubis, Kepala Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman. Keduanya diketahui telah menyerahkan surat pengunduran diri dalam beberapa waktu terakhir.
Dinamika Birokrasi di Tengah Kepemimpinan Baru
Sejak dilantik sebagai Gubernur, Bobby Nasution dikenal membawa gaya kepemimpinan yang menekankan kecepatan, efisiensi, dan loyalitas tinggi. Dalam waktu singkat, sejumlah pejabat mengalami rotasi, pencopotan, hingga memilih mundur.
Pengamat sosial-politik Universitas Negeri Medan, Dr. Bakhrul Khair Amal, menilai fenomena ini bukan sekadar pergantian jabatan, melainkan refleksi dari negosiasi kekuasaan dalam birokrasi.
“Birokrasi bukan hanya mesin administrasi, tapi juga panggung sosial di mana kekuasaan dinegosiasikan dan legitimasi dibangun ulang,” ujar Bakhrul kepada media, Jumat (24/10).
Menurutnya, pengunduran diri bisa menjadi strategi sosial untuk menjaga kehormatan tanpa konfrontasi langsung dengan otoritas baru.
Tekanan Struktural dan Agensi Pejabat
Bakhrul menjelaskan, birokrat tidak sepenuhnya pasif dalam sistem kekuasaan. Banyak pejabat memilih mundur ketika nilai pribadi, tekanan politik, dan beban kinerja tidak lagi sejalan.
Alasan “fokus pada keluarga” atau “kesehatan” sering kali menjadi cara elegan untuk keluar dari situasi penuh tekanan.
“Ini bentuk role exit keluar dari peran sosial ketika jabatan tak lagi sesuai dengan ritme hidup atau nilai yang diyakini,” jelasnya.
Namun, kondisi tersebut juga menunjukkan adanya role strain, yaitu ketegangan antara tuntutan profesional, tekanan politik, dan kebutuhan pribadi.
Kontrol Sosial dan Atmosfer Kekuasaan
Bakhrul menyinggung teori Michel Foucault tentang kekuasaan modern yang bekerja melalui disiplin dan pengawasan halus. Dalam konteks Pemprov Sumut, tekanan tidak selalu datang dalam bentuk instruksi langsung, melainkan melalui atmosfer kerja yang menuntut kesesuaian nilai dan kecepatan adaptasi.
“Pejabat yang merasa tidak cocok akan menyingkir dengan sendirinya, tanpa perlu ada pemecatan. Itulah bentuk kontrol sosial yang lembut tapi efektif,” ujarnya.
Media dan Pertarungan Narasi
Perbedaan bingkai pemberitaan turut membentuk persepsi publik.
Sebagian media menyoroti pengunduran diri sebagai “penyegaran organisasi”, sementara lainnya mengaitkannya dengan ketidakharmonisan internal.
Dalam perspektif sosiologis, kata Bakhrul, cara media membingkai isu ini berpengaruh terhadap legitimasi kepemimpinan Bobby Nasution.
“Jika publik menilai ini sebagai langkah reformasi, legitimasi meningkat. Tapi jika dipersepsikan sebagai tekanan politik, kepercayaan publik bisa menurun,” jelasnya.
Dampak bagi Stabilitas Birokrasi
Pergantian pejabat secara cepat berpotensi mengganggu kesinambungan program dan menurunkan moral ASN. Kondisi ini dapat menciptakan budaya kerja reaktif, di mana loyalitas pada figur lebih dominan dibanding loyalitas terhadap sistem.
“Kalau yang berubah hanya orang, bukan sistem, maka reformasi itu bersifat kosmetik,” tegas Bakhrul.
Menuju Reformasi Birokrasi yang Sejati
Menurut Bakhrul, reformasi birokrasi tidak dapat diukur dari banyaknya pejabat yang mundur, melainkan dari kemampuan sistem menciptakan tata kelola yang transparan, meritokratis, dan manusiawi.
“Birokrasi yang sehat tidak bergantung pada figur, tapi pada sistem yang adil dan terbuka. Di situlah makna sejati reformasi,” tutupnya.







