Konflik Agraria di Pulau Rangsang Memanas, Warga Dituding Rusak Aset Perusahaan

PULAU RANGSANG, SINKAP.info — Konflik agraria antara warga Pulau Rangsang dan PT Sumatera Riang Lestari (SRL), pemasok kayu untuk APRIL Group, kembali memanas dan kini memasuki ranah hukum. Empat warga setempat dilaporkan oleh perusahaan tersebut atas dugaan perusakan aset dan penganiayaan terhadap karyawan. Namun, tuduhan ini dibantah oleh para warga yang terlibat.

Perselisihan bermula pada tahun 2022, ketika warga setempat menilai ekspansi PT SRL yang bergerak di sektor hutan tanaman industri (HTI) telah memasuki lahan garapan mereka. Ketegangan meningkat drastis pada 9 Januari 2025, saat ratusan warga menghentikan kegiatan alat berat milik perusahaan yang sedang membuat kanal.

Kanal tersebut dinilai memutuskan akses menuju kebun mereka. Warga meminta agar kanal tersebut segera ditutup dan camp pekerja dibongkar. Warga, termasuk Muid, salah seorang yang diperiksa oleh polisi, membantah adanya kerusakan fisik.

“Kami hanya meminta agar aktivitas dihentikan. Tidak ada yang merusak,” ujar Muid, yang bersama tiga warga lainnya, Anggap Dwi Yugo dan Taftazani, diperiksa pada 22 Juli 2025.

Namun, PT SRL, melalui Manager Humas Abdul Hadi, menuding empat warga tersebut melakukan intimidasi dan perusakan properti milik perusahaan. SRL juga menuduh mereka memaksa penutupan 700 meter sekat bakar yang menyebabkan kerugian hingga ratusan juta rupiah. Perusahaan menyatakan bahwa seluruh aktivitas tersebut adalah bagian dari Rencana Kerja Tahunan (RKT) yang sah dan sudah disosialisasikan kepada masyarakat.

Menurut data Jikalahari, organisasi lingkungan yang memantau konflik ini, PT SRL memiliki izin konsesi seluas 18.123 hektare di Pulau Rangsang, yang tersebar di dua kecamatan dan beberapa desa. Koordinator Jikalahari, Okto Yugo Setiyo, menyatakan bahwa konflik ini terjadi karena perusahaan gagal menyelesaikan masalah tata batas lahan sejak izin terbit pada tahun 2007.

Hal ini mengakibatkan tumpang tindih klaim lahan antara perusahaan dan masyarakat. Ia juga menilai bahwa kriminalisasi terhadap warga adalah bagian dari “skenario” perusahaan untuk memperkuat klaim konsesinya.

Pemerintah daerah sempat mencoba memfasilitasi mediasi antara kedua belah pihak, termasuk rapat yang digelar di Kantor Camat Rangsang dan rumah dinas Bupati Kepulauan Meranti. Rapat tersebut merekomendasikan penghentian sementara aktivitas perusahaan di area yang sedang disengketakan. Namun, PT SRL menolak menandatangani kesepakatan tersebut dan tetap melanjutkan operasionalnya.

Di sisi lain, APRIL Group, induk usaha PT RAPP yang membeli kayu dari SRL, menegaskan bahwa mitra pemasok mereka telah memperoleh izin yang sah dan mematuhi kebijakan Sustainable Forest Management Policy (SFMP) 2.0.

“SRL telah dan akan terus melakukan penyelesaian yang mengedepankan kepastian hukum, perlindungan hak masyarakat, serta kelangsungan operasional sesuai regulasi,” kata Aji Wihardandi, Head of Corporate Communications RAPP.

Namun, Jikalahari mendesak agar Forest Stewardship Council (FSC) menolak pengajuan ulang sertifikasi APRIL Group karena dugaan pelanggaran hak-hak masyarakat lokal. Okto Yugo Setiyo juga meminta agar DPRD Kepulauan Meranti membentuk Panitia Khusus untuk mengkaji konflik agraria di kabupaten tersebut dan merekomendasikan pencabutan izin atau pengurangan konsesi PT SRL.

“Jika ini terus dibiarkan, warga akan kehilangan lahan mereka hingga 180 tahun ke depan,” tegas Okto.

Konflik agraria yang terus memanas ini, menunjukkan ketegangan antara kepentingan perusahaan dan masyarakat lokal. Para pihak yang terlibat kini menanti langkah selanjutnya, baik melalui jalur hukum maupun mediasi yang masih berjalan.