Memaknai dan Menerima Jalan Politik Ganjar Pranowo

Opini524 Dilihat

Karir politik Ganjar Pranowo sudah berada dalam jalur yang semestinya. Sebagai politisi Ganjar pernah lama di Senayan sehingga sangat paham lika-liku pembuatan perundang-undangan atau “legislating procces.” Di sisi lain, jika ditarik maju ke tahun 2024, maka ia sudah 10 tahun menjabat sebagai Gubernur Jawa Tengah, yang juga berarti sudah sepuluh tahun berpengalaman mengorkestrasi dan mengeksekusi kebijakan alias berada di sayap eksekutif di dalam arsitektur Trias Politica.

Jadi sangat wajar jika banyak pihak yang mengaitkan beliau dengan pemilihan presiden 2024. Menjadi presiden, bagaimanapun, adalah cita-cita teknis tertinggi dari setiap politisi. Karena jika sampai ke posisi itu, semua isi kepala, ideologi, dan ide-ide pengabdian plus perjuangan seorang politisi menjadi sangat berpeluang untuk diwujudkan. Jika sebelumnya hanya bisa diwujudkan di level provinsi, dengan segala keterbatasan wewenang, kemudian jika berpindah ke istana tentu itu semua bisa diwujudkan di tingkat nasional dengan penerima manfaat yang lebih luas.

Jadi dalam kontek idealitas politik, tak ada yang salah dengan keinginan para pendukung Ganjar untuk melihat politisi idolanya berpindah ke istana. Justru aneh jika pendukungnya menyuarakan sebaliknya, alias menyuarakan agar Ganjar pensiun saja di tahun 2024. Dan aspirasi semacam itu bukan hanya milik pendukung Ganjar. Pendukung Anies Baswedan, Ridwan Kamil, atau Risma juga menyuarakan hal yang sama untuk politisi idola mereka. Jadi sampai pada tahap ini, Ganjar berada dalam tahap “wajar politik” dan tidak berdiri berseberangan dengan kehendak sejarah. Jikapun Ganjar secara personal, katakanlah di dalam hati, memang menginginkan untuk menjadi presiden, itupun sangat manusiawi dan wajar karena memang itulah jalur politik linier yang terentang di atas aspal karir politik seorang politisi, tak terkecuali Ganjar Pranowo.

Kemudian dalam kenormalan politik itu, jika proyeksi perjalanan politik Ganjar pun kemudian terlihat mulai berserangan dengan partai yang membesarkannya, PDIP, itupun menurut saya wajar-wajar saja. Dalam kacamata demokrasi intrapartai (interparty democracy), kemunculan satu nama sebagai calon tunggal di dalam konvensi partai justru aneh. Di Amerika, di dalam satu partai bahkan bisa muncul nama lebih dari lima, untuk kemudian digodok di dalam proses konvensi.

Dari sekian banyak nama di dalam Partai Republik Amerika tahun 2015, misalnya, tak ada yang menduga Donald Trump akan menjadi pemenang di babak final konvensi. Begitu pula dengan Joe Biden, yang nyaris kurang dijagokan, baik karena faktor umur maupun karena ketidakterlibatan beliau dalam konvensi di saat masih jadi wakil presiden. Tapi nyatanya demokrasi intrapartai berjalan dinamis dan membuktikan bahwa Joe Biden berhasil memenangkan kontestasi internal Partai Demokrat mengalahkan Bernie Sander dan Elizabeth Warren, sekedar menyebut dua nama besar.

Jadi sampai pada situasi hari ini, dinamika politik yang dijalani Ganjar masih dalam batas kewajaran. Dengan kata lain, ketegangan psikologi politik antara Ganjar dan Puan Maharani yang belakangan ini ramai terkuak ke ruang publik adalah dinamika yang sangat normal di dalam politik, baik dalam kacamata demokrasi secara umum maupun dalam kacamata spesifik, yakni demokrasi intrapartai. Dan menurut hemat saya, Ganjar Pranowo pun memahami secara arif dan bijak kewajaran tersebut. Terbukti Ganjar tidak reaktif dalam bersikap dan memberikan tanggapan terkait dengan riak-riak seteru psikologis tersebut.

Sebagaimana layaknya seorang Ganjar yang santun dan elok dalam bertutur, Ganjar terlihat sangat “party man” sampai detik ini, berusaha mendamaikan secara arif kepentingan besar partai dengan aspirasi-aspirasi pendukungnya yang terkadang agak berseberangan dengan aspirasi organisasional partai. Tentu Ganjar memahami betapa cukup signifikannya peran partai dalam mengantarkannya ke posisi hari ini, yang boleh jadi berbanding lurus dengan perjuangan pribadinya menuju arah yang sudah ia duduki hari ini. Dua kesadaran ini, saya kira, cukup menentukan dalam penentuan sikap Ganjar sampai hari ini.

Tapi terkadang sejarah memerlukan praktek politik yang agak “keras” dibanding kenormalan yang semestinya. Akan ada suatu waktu nanti, sebelum kontestasi 2024 tentunya, di mana Ganjar dan Puan harus menentukan sikap politik secara jelas dan tegas, berdamai atau bersaing secara sehat. Jika masa itu datang, berkaca pada fakta keras perpolitikan yang ada, Ganjar memang berada pada posisi yang kurang menguntungkan jika tetap berada pada pakem biasanya. Dengan memilih “berdamai,” maka Ganjar harus rela menjadi “bukan calon” untuk kontestasi tahun 2024. Boleh jadi masuk ke dalam jajaran “calon anggota kabinet” jika calon yang harus didukung oleh Ganjar di dalam partainya berhasil bermigrasi ke Istana. Dari konteks garis linier karir politik, opsi tersebut tidak terlalu buruk. Dari posisi Gubernur menjadi menteri, terdengar tidak terlalu buruk toh

Namun demikian, Ganjar bukan tanpa preseden jika harus memilih jalan lain dengan cara-cara yang khas Ganjar, yakni cara elok dan santun. Jokowi adalah preseden paling jelas, yang tidak salah jika dipertimbangkan oleh Ganjar dan politisi potensial lainya. Sebagaimana telah kita saksikan, Prabowo adalah pihak yang sangat “getol” memperjuangkan Jokowi bertahta di Jakarta. Prabowo menjadi salah satu tokoh sentral yang menegosiasikan agar partai pendukung Jokowi di saat jadi Walikota Solo juga ikut mendukung Jokowi di Jakarta. Walhasil, perjuangan Prabowo dan kawan-kawannya itu terbukti berhasil. Jokowi dan Ahok akhirnya berjaya di ibukota.

Namun pilihan sulit datang lebih cepat kepada Jokowi. Di tahun 2014, karena ramainya dukungan, Jokowi harus memilih untuk tetap di ibukota atau berlanjut ke istana. Sejarah memosisikan Jokowi berseberangan dengan beberapa hal, yakni berseberangan dengan keinginan partai dan berseberangan dengan cerita sejarah politik yang telah membawanya ke ibukota. Di tahun menjelang pemilihan presiden 2014, nama Ibu Megawati masih sangat kental sebagai calon tunggal PDIP dan nama Prabowo adalah nama lainya dari partai Gerindra yang santer digadang-gadang di pentas pemilihan calon presiden. Sangat bisa dibayangkan betapa sulit posisi Jokowi waktu itu.

Tapi kehendak sejarah tiada yang mengetahui secara pasti. Toh akhirnya Jokowi ikut berlaga, setelah partai mendukungnya dan partai-partai koalisi terbentuk. Di bulan Oktober 2014, Jokowi dilantik jadi presiden Indonesia. Dan berkaca pada apa yang telah terjadi sampai hari ini, semua itu berlalu, berakhir dengan baik-baik alias bisa kembali normal. Bahkan hubungan Jokowi dan Prabowo semakin erat setelah pemilihan 2019 dan dengan ibu Megawati apalagi, Jokowi berbagi peran politik secara baik dengan beliau. Pernah dikatakan Jokowi sebagai petugas partai. Tidak salah juga. Nyatanya memang dalam perspektif kepartaian, Jokowi memang kader PDIP dan bertugas memperjuangkan semaksimal mungkin platform politik partai dalam kapasitasnya sebagai presiden, walaupun dalam perspektif kenegarawanan Jokowi adalah petugas rakyat.

Singkat kata, dukungan yang muncul untuk Ganjar agar maju pada kontestasi tahun 2024 nanti adalah hal yang biasa dalam politik karena itu bagian dari kebebasan beraspirasi para pemilih. Dan sikap Ganjar yang memilih untuk melangkah secara hati-hati adalah juga hal yang wajar, dilihat dari perspektif kepartaian. Saya yakin, di satu sisi Ganjar akan bertahan sebagai Ganjar yang saya kenal, Ganjar yang elok dan santun, tapi di sisi lain Ganjar juga akan bertahan di jalur sejarah dan garis linier karir politik, sampai pada satu titik di mana semuanya akan terang benderang.

Jika pun Ganjar harus menjawab dilema politik sebagaimana pernah dipraktekan oleh Jokowi, saya yakin Ganjar masih bermain di dalam bidak catur yang sama yang sangat perlu diwajari oleh semua pihak, terutama pihak-pihak yang memandang Ganjar tak layak menempuh jalur itu. Karena pada akhirnya, sejarah akan membuktikan di mana Ganjar selayaknya berada. Dan di saat itu, semua pihak akan dengan sendirinya menjadi arif menerimanya sebagai.