Gelombang Demonstrasi dan Politik Jalanan: Fenomena Politik Baru ala Netizen

NASIONAL, Politik166 Dilihat

JAKARTA, SINKAP.info – Gelombang demonstrasi yang merebak di berbagai kota Indonesia kembali menempatkan politik jalanan sebagai barometer keresahan rakyat. Ribuan massa turun ke jalan dengan tuntutan yang cepat viral di media sosial. Namun, publik dibuat bertanya-tanya mengapa isu-isu sensitif seperti dugaan ijazah Presiden Joko Widodo, polemik dinasti Gibran Rakabuming, atau kasus yang populer disebut Fufu Fafa tidak muncul dalam daftar resmi tuntutan.

Pengamat politik Rocky Gerung melihat fenomena ini bukan sebagai gerakan spontan, melainkan tanda perubahan besar dalam cara rakyat berpolitik.

“Kita sedang menyaksikan kultur politik baru yang dikendalikan oleh isu, bukan tokoh,” ujarnya dalam diskusi di kanal FNN.

Menurut Rocky, demonstrasi kali ini mencerminkan politik anomi, politik tanpa struktur kepemimpinan resmi. Jika dulu gerakan massa diasosiasikan dengan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), serikat buruh, atau partai politik, kali ini koordinasi lebih banyak lahir dari interaksi media sosial.

“Demonstrasi lahir dari koordinasi sosial media, tanpa pemimpin formal dari partai atau organisasi,” jelas Rocky.

Generasi Muda dan Fenomena FOMO

Kondisi ini melibatkan generasi muda dengan motif berlapis. Banyak dari mereka datang ke jalan bukan karena ideologi atau afiliasi politik, melainkan fenomena fear of missing out (FOMO).

“Kalau tidak ikut demo, mereka merasa tidak eksis. Tapi jangan salah, ini bukan sekadar gaya, melainkan ekspresi radikal tentang masa depan,” katanya.

Ketimpangan Sosial sebagai Bahan Bakar Aksi

Rocky menekankan, faktor utama di balik gelombang aksi ini adalah ketidakadilan yang menumpuk. Ia menyebut disparitas ekonomi, ketimpangan sosial, dan krisis moral elit politik sebagai bahan bakar utama.

“Publik kini menuntut sesuatu yang sederhana: kebenaran dan keadilan,” ujarnya.

Ia menilai partai politik gagal menjalankan fungsi agregasi aspirasi, sehingga netizen mengambil alih peran sebagai penghubung keresahan publik.

Isu Laten yang Terabaikan

Meskipun berbagai tuntutan muncul, publik masih bertanya mengapa isu-isu laten seperti Fufu Fafa dan dugaan ijazah Jokowi tidak disentuh dalam aksi. Menurut Rocky, ketidakhadiran isu tersebut bukan berarti dilupakan.

“Itu bagian dari deep psychology publik. Kalau isu laten ini tidak dituntaskan, ia akan selalu jadi alasan bagi publik untuk kembali turun ke jalan,” jelasnya.

Tantangan bagi Presiden Prabowo

Rocky juga menyoroti beban yang harus dipikul Presiden Prabowo Subianto sebagai pemimpin baru. Menurutnya, Prabowo harus berani berjarak dari bayang-bayang pemerintahan Jokowi agar diakui sebagai pemimpin sejati.

“Kalau Prabowo ingin diakui sebagai pemimpin sejati, ia harus melepaskan diri dari warisan Jokowi. Kalau tidak, dia hanya akan jadi aktor baru dalam drama lama,” tegas Rocky.

Politik Era Netizen

Gelombang demonstrasi ini menunjukkan wajah baru demokrasi Indonesia di era politik netizen. Publik tidak lagi menunggu lobi politik atau instruksi elit. Begitu isu viral, massa bergerak turun ke jalan.

“Orang tidak lagi menunggu lobi politik. Begitu ada isu viral, mereka langsung turun ke jalan,” ungkap Rocky.

Rocky menambahkan, jaringan global yang melibatkan masyarakat sipil, akademisi, jurnalis, dan diaspora kini menjadi kekuatan baru yang tak bisa diremehkan.

Fenomena ini mencerminkan benturan antara aturan formal yang dibuat penguasa dengan nilai keadilan yang dipegang publik. Ketika keduanya tidak selaras, benturan sosial sulit dihindari.

“Indonesia sedang memasuki era di mana netizen, bukan elit, yang menentukan arah politik. Ini wajah baru demokrasi kita,” pungkas Rocky