Istana Dalam Lukisan

Sastra331 Dilihat

SASTRA, Sinkap.info – Suasana ibu kota Provinsi Riau ini begitu dingin saat pagi yang perawan masih berselimut embun dan Pagi-pagi sekali Zaki sudah siap dengan seragam sekolahnya. Hari ini adalah hari pertama dimana Zaki masuk SMP setelah tahun kemarin ia lulus dari Sekolah Dasar. Baju putih dan celana biru yang Zaki pakai sekarang memang bukanlah seragam baru, karena ada tetangga yang bersimpati pada Zaki untuk melanjutkan sekolahnya.

Meskipun demikian Zaki tak menghiraukan tentang seragamnya. Mau baru ataupun bekas dari orang lain yang penting kini Zaki bisa sekolah. Api semangat dalam dirinya tak pernah padam untuk meraih cita-cita.

Sepasang sepatu yang menutup kaki nya pun adalah sepatu yang biasanya ia pakai seperti tahun lalu. Koyak dan kusam itu sudah tentu, tetapi derap langkahnya begitu pasti dan terus Zaki ayunkan untuk berjalan menuju sekolah barunya itu.

Setelah sarapan ala kadarnya, Zaki masih duduk di bangku teras rumah kontrakan yang mereka tinggali. Seperti biasa ia menunggu Zahro, adiknya yang masih sibuk mempersiapkan PR sekolahnya.

“Makanya kalau ada PR dikerjakan, jangan main mulu,” ujar Zaki dengan ketus pada adiknya yang tengah sibuk menulis itu.

Zaki memang takut terlambat ke sekolah sebab ini adalah hari pertamanya masuk SMP.

Tak berapa lama tampak Zahro membereskan buku-bukunya.

“Udah selesai?” tanya Zaki pada Zahro.

Zahro mengangguk. Bocah kelas empat SD Itu dengan segera memasukkan buku-buku sekolah yang berserakan itu ke dalam tas lalu menentengnya.

“Zaki dan Zahro berangkat sekolah dulu Bu,” ucap Zaki sambil salaman dan mencium tangan ibunya serta begitu pula Zahro.

Rodiah tersenyum melihat anak-anaknya yang penuh semangat itu. Rodiah mengusap kepala mereka. Terbersit doa dalam hati Rodiah. ” Ya Tuhanku, wujudkan lah mimpi-mimpi kedua anakku,” benak Rodiah berucap.

Cukup jauh juga jalan yang ditempuh oleh Zaki dan Zahro hingga sampai ke sekolah mereka. Apalagi semua itu dilalui dengan berjalan kaki. Meski demikian besarnya semangat dalam hati Zaki dan Zahro telah membasuh rasa lelah mereka yang akhirnya membawa keduanya tiba di depan pintu gerbang Sekolah Dasar Negeri dimana tempat Zahro belajar.

Bel sekolah telah memanggil dengan suara deringnya. Itu tandanya pelajaran akan segera dimulai. Siswa-siswi SD Negeri itu terlihat bergegas masuk keruangan masing-masing.

Namun bagi Zaki, ia terus berjalan kaki sekitar delapan ratus meter lagi dari tempat itu untuk mencapai sekolah barunya.

Kening Zaki berkeringat dan begitu pula baju seragamnya yang putih juga basah karena keringat. Namun Zaki tak menghiraukan itu. Baginya sampai ke sekolah sudah membuatnya begitu bahagia.

Hari ini Zaki jalani dengan penuh keceriaan. Di sekolah baru kini Zaki punya teman-teman baru. Zaki selalu berupaya untuk tekun belajar demi cita-cita nya.

Saat jam sekolah usai Zaki menjemput Zahro yang telah menunggu di depan gerbang sekolah dasar tempat Zahro menimba ilmu. Kakak beradik itu nampak pulang berjalan kaki bersama-sama.

Setelah pulang sekolah, sampailah Zaki dan Zahro ke rumah mereka.
Namun keduanya terkejut saat melihat sang ibu di datangi oleh pemilik kontrakan.

“Rodiah! kali ini apa alasan mu lagi,” ujar ibu pemilik kontrak itu dengan nada tinggi.

“Sudah dua bulan kau tak bayar uang sewa rumah ini,” tambahnya sambil membentak.

“Buk! beri saya waktu, kalau nanti saya punya uang pasti akan saya bayar,” ucap Rodiah dengan bermohon.

“Apa …? Berapa lama? kapan kau akan bayar?” Ibu pemilik kontrakan itu mulai kesal pada Rodiah.

“Tidak …! sekarang juga kau harus keluar dari rumah ini karena ada orang lain yang akan menempati rumah ini.” Pemilik kontrakan itu marah dengan sangat sambil menunjuk-nunjuk wajah Rodiah.

“Tapi aku dan anak-anak ku akan tinggal dimana buk?” tanya Rodiah dengan memelas.

“Mana aku peduli, kosongkan rumah ini sekarang juga,” pekik ibu pemilik kontrakan itu.

“Dasar tak tahu diri,” caci sang pemilik kontrakan.

Sementara Zaki dan Zahro melihat ibu yang mereka cintai dibentak-bentak, dimarahi bahkan dihina, sungguh hati Zaki bagai tersayat sembilu.

Air mata Zaki jatuh seiring dengan tangisan ibunya yang terlihat bermohon dan meminta tenggang waktu pada sang pemilik kontrakan.

Hal inilah yang tak pernah ingin Zaki saksikan dalam hidupnya, meskipun sangat sering Zaki dan keluarganya diusir karena tak sanggup bayar uang kontrakan rumah.

Setelah pemilik kontrakan itu pergi, Zaki dan Zahro memeluk ibu mereka dengan tangis yang menderu.

“Zaki, Zahro! bereskan barang-barang kalian ya nak!” kata Rodiah pada kedua anaknya.

“Kemana kita akan pindah ibu? tanya Zahro.

Mendengar pertanyaan anak bungsunya itu Rodiah menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca kemudian Rodiah memeluk Zahro dengan erat.

Dalam kesedihan itu mereka tetap membereskan barang-barang milik mereka. Barang-barang mereka memang tak banyak, hanya berapa helai pakaian dan foto-foto keluarga semasa dulu.

Di sela mereka berkemas. Rodiah meraih fhoto sang suami yang berbingkai kayu. Laki-laki tersenyum dalam fhoto itu kini memang sudah tiada. Ia pergi untuk selamanya meninggalkan Rodiah dan Zahro dalam kepedihan hidup.

Kelopak mata Rodiah menggenangkan air yang siap jatuh berderai saat ia menatap fhoto suaminya itu.

Sang suami yang telah menemui ajalnya dua tahun yang lalu lantaran sakit paru-paru yang dideritanya.

Rumah mereka satu-satunya juga telah habis terjual akibat biaya perobatan suaminya saat itu. Sejak itu keluarganya terperosok kedalam kemelaratan.

Sedangkan kebutuhan hidup sehari-hari ditambah lagi biaya pendidikan Zaki dan Zahro amatlah sulit untuk Rodiah penuhi sebab selaku seorang perempuan yang hanya bekerja sebagai penjual kue, hasil yang diperoleh tidaklah seberapa.

Hari ini adalah kesekian kalinya keluarga itu diusir dan untuk kesekian kalinya pula mereka terendam dalam danau air mata akibat pengusiran-pengusiran itu.

Di sisi lain Zaki tampak sibuk membereskan barang-barangnya. Zaki meraih perlahan sebuah lukisan yang ia pajang di kamar tidurnya. Gambar sebuah rumah dalam lukisan itu adalah karya tangan Zaki sendiri.

Seperti mimpinya Zaki ingin sekali punya rumah sendiri sebagaimana yang pernah ia lukis dalam selembar buku gambar itu. Perasaan Zaki tak tega melihat ibunya dihardik dan dihina sedemikian rupa saat orang lain mengusir mereka.

Cukup lama Zaki menatap lukisan rumah yang pernah ia gambar itu. Dalam hatinya bergumam.

“Aku harus bekerja membantu ibu, apapun itu aku harus menghasilkan uang, kami harus punya rumah sendiri agar tak ada lagi yang mengusir kami, biar ibu tak pernah sedih lagi.”

Kemudian Zaki mengambil sebuah pena dari tas sekolahnya dan ia menulis kalimat di bawah lukisan yang ia buat tersebut. Ia menambahkan tulisan ‘ISTANA UNTUK IBU’. Begitulah tulisan yang Zaki tambahkan pada lukisan rumah yang tergores dalam buku gambar itu. Lalu dengan bergegas Zaki masukkan lukisan tersebut ke dalam tas sekolahnya.

“Zaki, ayo kita berangkat nak!” ajak Rodiah.

Zaki mengangguk dan akhirnya ibu dan kedua anaknya pun pergi meninggalkan rumah yang mereka tinggali itu.

Kemana mereka akan pergi?

Entahlah, Rodiah juga tak tahu kemana langkah kakinya akan dibawa hingga akhirnya malam pun tiba.

“kita istirahat di sini saja” ujar Rodiah.

Rodiah dan kedua bocah itu menginap di sebuah pos kamling yang kebetulan malam itu tidak berpenghuni.

Sementara itu Zahro berbisik pada ibunya.

“Zahro lapar buk!”

Kemudian Rodiah mengeluarkan sebagian kue yang belum sempat ia jual tadi siang. Lalu kedua anak itu makan kue dengan begitu lahapnya.

Rodiah memperhatikan kedua anaknya itu yang sedang menyantap kue buatannya. Kedua mata Rodiah kembali berlinang hingga tetesan air matanya membasahi pipi.

Tiba-tiba suara petir bergenderang.
Hujan pun turun dengan lebatnya. Rodiah memeluk kedua anaknya seakan Rodiah tengah meyakinkan pada Zaki dan Zahro bahwa tidak akan terjadi apa-apa.

Zahro yang begitu takut pada kilatan petir itu tetap memeluk ibunya dengan erat untuk mencari perlindungan. Hati Rodiah begitu pedih menyaksikan penderitaan yang dialami anak-anaknya ini. Tangis Rodiah pun tak terbendung lagi seraya hatinya berkata. “maafkan ibu nak, Semua ini karena ketidakmampuan ibu.”

Lalu Rodiah mengecup kepala kedua anaknya. Setelah itu pelukan Zaki terlepas. Zaki melihat air mata ibunya mengalir mengucur dari kelopaknya. Kemudian Zaki mengusap air mata ibunya itu dengan perlahan.

“Jangan menangis ibu! Zaki dan Zahro tidak apa-apa, kami baik-baik saja,” ucap Zaki pada ibunya

Sekali lagi Rodiah memeluk kedua anaknya dengan tangis yang pilu. Keluarga kecil itu pun tenggelam dalam kesedihan mereka, larut bersama derasnya hujan yang masih belum reda.

Malam ini sungguh terasa berat bagi keluarga itu. Hujan pun mulai reda menjelang subuh. Butir- butir embun yang menggantung di ujung dedaunan begitu indah bagai sebuah harapan Zaki yang ia gantungkan pada hari-harinya yang kelam.

Hari berangsur pagi Zaki dan Zahro bergegas ingin pergi ke sekolah. Jarak antara Pos kamling yang mereka tinggali semakin jauh dari sekolah mereka. Kali ini kedua kakak beradik itu harus berlari dan terus berlari secepat yang mereka bisa agar tak terlambat ke sekolah.

Di tengah perjalanan Zahro terlihat letih sekali hingga Zaki terpaksa menggendong Zahro menuju sekolah. Zaki terus berlari dan menggendong adiknya menuju sekolah.

Setiap hari Zaki harus berlari dan juga mengendong Zahro pergi pulang ke sekolah. Capek dan lelah sudah barang tentu Zaki rasakan namun rasa semangat yang bersarang dalam batin Zaki jauh lebih besar dari rasa letihnya.

Melihat apa yang dilakukan oleh Zaki yang terus berlari dan memacu dirinya saat pergi dan pulang dari sekolah membuat Zaki dijuluki si kuda hitam oleh teman-temannya.

Sementara di waktu lain saat Zaki dan Zahro baru pulang sekolah tiba-tiba mereka melihat sang ibu mulai merapikan barang-barang di pos kamling yang selama ini mereka tinggali.

Di tempat itu juga terlihat beberapa orang termasuk RT setempat. Zaki dan Zahro menatap ibunya seraya berjalan dan mendekat.

“Kita pindah sekarang juga, ucap Rodiah kepada kedua anaknya.

“Pos kamling ini mau di bongkar nak!” lanjut Rodiah lagi.

Zaki dan Zahro tak berkata apapun. Mereka berdua hanya mengikuti perintah ibunya dan lahirnya keluarga kecil itu terusir lagi.

Hati Rodiah kembali bergumam.

“Kemana lagi kami akan tinggal ya Tuhan.” Tanya ini terus bersarang dalam batin Rodiah.

Kemudian Rodiah melihat isi dompetnya dan ternyata hasil jualan kuenya tak akan cukup bila digunakan untuk mencari rumah kontrakan.

Sampai pada akhirnya mereka singgah ke sebuah musholla dan Rodiah memutuskan untuk menginap saja di emperan musholla itu untuk sementara waktu.

Terkadang Rodiah merasa cukup lelah dengan semua ini, namun sepasang mata kedua bocah yang sangat Rodiah cintai itu membuat ia terus memacu diri untuk tetap berjuang di anak-anaknya itu.

Malam ini setelah para jemaah telah usai sholat isya di musholla itu maka Rodiah dan kedua anaknya bersiap hendak tidur di emperan musholla tersebut, namun Zaki terlihat belum memejamkan matanya.

Zaki termenung memandangi Lukisan sebuah rumah yang selalu ia bawa dalam tas sekolahnya. Lukisan rumah sederhana yang bertuliskan ‘ ISTANA UNTUK IBU ‘. hati Zaki kembali bergumam.

“Apa yang harus kulakukan untuk meringankan beban ibu?” Bocah berusia belasan itu bertanya pada benaknya sendiri. Zaki menghela napas panjang karena Zaki pun tak mengerti lagi apa yang harus ia perbuat.

Baru tiga hari keluarga kecil ini menginap di musholla itu, akan tetapi ada sebagian masyarakat yang kurang suka dengan keberadaan mereka. beberapa warga bersama ketua RT menghampiri Rodiah dan mereka menyarankan agar Rodiah dan keluarga dapat mencari tempat lain untuk bertempat tinggal.

Rodiah yang kala itu hendak berjualan kue merasa sangat tertikam hati kecilnya saat menerima perlakukan masyarakat yang mengusir dirinya, sedangkan Zaki dan Zahro sejak pagi tadi sudah berangkat ke sekolah.

Ketika Zaki dan Zahro pulang sekolah, mereka berdua tidak menemukan ibunya di musholla itu lagi. Zaki terus berlari sembari menggendong Zahro, adiknya.

Zaki terus berlari sekuat tenaga. Mereka mencari ibunya di setiap sudut kota hingga akhirnya mereka bertemu juga dan Rodiah menceritakan apa yang sudah terjadi kepada kedua anaknya itu dengan penuh kesedihan dan berderai air mata.

Siang berganti malam dan trotoar toko menjadi lapak mereka untuk beristirahat. Pindah dari trotoar Toko yang satu ke trotoar toko yang lain dan pengusiran demi pengusiran juga mereka alami dan sepertinya hal itu sudah biasa buat mereka.

Sementara seperti biasa Zaki terus mengayunkan langkahnya berlari dengan cepat dengan menggendong Zahro agar mereka tak terlambat ke sekolah.

Pada suatu malam Zahro terserang demam. Badannya terasa begitu panas dan suhunya cukup tinggi. Zaki dan Rodiah pun terlihat panik atas kondisi Zahro ini.

Kemudian tanpa berpikir panjang lagi Zaki menggendong sang adik lalu dia berlari dan terus berlari secepat mungkin membawa Zahro ke rumah sakit. Zaki tak peduli meski meski ia harus menguak ramainya jalan raya malam itu dan kondisi hujan lebat hingga Zaki harus membuka bajunya untuk ia selimutkan ke tubuh Zahro yang semakin lama semakin menggigil.

Tanpa alas kaki Zaki yang berlari sambil menggendong sang adik akhirnya sampai jua ke rumah sakit.

Kemudian Zahro ditangani oleh pihak medis hingga demamnya mereda. Cukup lama Zahro terbaring narula datangsang ibu ke ruangan rawat. Rodiah terlambat karena memang harus menyusul dengan berjalan kaki.

Melihat kondisi Zahro yang membaik maka Zaki dan sang ibu mulai tampak seperti orang yang kebingungan. Di dalam pikiran mereka hanya satu bagaimana cara membayar biaya rumah sakit karena sudah dua hari Zahro dirawat di situ.

Zaki termenung dan terdiam di ruang tunggu sebab ia faham bahwa keluarganya memang tak punya uang dan tak punya apa-apa.

Tiba-tiba dari sisi Zaki duduk terlihat sepasang suami istri setengah baya yang sepertinya sedang bertengkar dengan salah satu dokter di rumah sakit itu.

“Kami akan berupaya semaksimal mungkin untuk menyelamatkan anak bapak,” ujar dokter

“Anak bapak banyak kehilangan darah akibat kecelakaan itu, golongan darahnya AB negatif dan pihak rumah sakit sedang mencari darah tersebut sebab persediaan darah AB negatif lagi kosong, harap bapak dapat bersabar,” ucap dokter itu menjelaskan.

Sementara itu Zaki mulai mengenali perempuan paruh baya yang sedang menangisi masa kritis anak bungsunya itu. Lalu Zaki teringat bahwa yang menangis itu adalah ibunya Hardi.

Hardi adalah Temam sekelas Zaki. di sekolah Hardi selalu membuly Zaki selama ini. Hardi kerap mengejek Zaki dan mengatakan bahwa Zaki dan keluarganya adalah seorang gembel.

“Lalu bagaimana dengan nasib Hardi anak kami dok?” Ibu itu bertanya pada dokter yang di hadapannya.

“Mohon ibu untuk bersabar, sebentar lagi mungkin kita akan dapat persediaan darah untuk anak ibu,” jawab dokter menenangkan

Kemudian Zaki menghampiri mereka dan berkata.

“Ambil darah saya saja pak dokter!”

Lalu dokter dan pasangan suami istri itu menatap Zaki yang tiba-tiba datang menyela pembicaraan mereka.

“Apa golongan darahmu juga AB negatif nak?” tanya si-Bapak

“Aku tidak tahu pak, yang pastinya aku mengenal Hardi, Hardi adalah teman sekelas ku, aku hanya ingin berbuat sesuatu untuk menolongnya,” sahut Zaki menjawab pertanyaan bapak itu.

Lalu tidak ada pilihan lain buat mereka selain melakukan pemeriksaan golongan darah Zaki dan ajaibnya ternyata Zaki juga bergolongan darah AB negatif hingga cocok untuk dilakukan transfusi darah untuk menolong Hardi yang sedang masa kritis akibat kecelakaan yang Hardi alami.

Begitu besarnya rasa terima kasih keluarga Hardi kepada Zaki yang datang bagai seorang malaikat penolong sehingga ayah Hardi yang bernama Pak Sofyan itu tak tahu lagi bagaimana cara membalas Budi baik Zaki.

Setelah sadar Pak Sofyan menceritakan tentang Zaki kepada Hardi, namun Hardi berkata.

“Sebenarnya aku tak Sudi ditolong oleh anak gembel itu ayah,” jawab Hardi dengan ketus.

“Anak gembel!” ucap Pak Sofyan terheran-heran

“Iya gembel, keluarga Zaki itu gembel,” ujar Hardi berulang-ulang.

“Bukankah Zaki itu teman sekelas mu? dan aku lihat anaknya baik, Zaki tulus menolong mu, Hardi!” lanjut Pak Sofyan lagi.

“Walaupun Zaki itu teman sekolah ku tapi aku tak suka berteman dengannya sebab dia itu seorang gembel,” sahut Hardi.

Hardi memalingkan mukanya dan menunjukkan raut wajah kebenciannya pada Zaki

Dari pembicaraan Pak Sofyan dah hari ini, akhirnya Pak Sofyan ingin tahu lebih jauh siapakah anak yang bernama Zaki ini.

Akhirnya Pak Sofyan menemui keluarga Zaki dengan mendatangi ruangan dimana Zahro adiknya Zaki dirawat dan dari situ pula Pak Sofyan mengerti bahwa keluarga Zaki memang tak punya tempat tinggal.

Sehingga Pak Sofyan bersedia menanggung biaya perobatan Zahro dan juga menawarkan keluarga Zaki untuk tinggal di rumah keluarga Pak Sofyan, kebetulan keluarga Pak Sofyan lagi butuh tenaga asisten rumah tangga untuk bantu-bantu di rumah keluarga Pak Sofyan. Hal ini Pak Sofyan lakukan untuk membalas budi baik Zaki.

Tentunya keluarga Zaki sangat berterima kasih atas kebaikan dan tawaran dari pak Sofyan ini dan kebetulan juga keluarga Pak Sofyan memilki usaha kuliner sejenis rumah makan. Untuk itu Rodiah pun menjadi seorang pembantu pada keluarga Pak Sofyan.

Zaki juga bekerja pada usaha kuliner itu. Zaki bertugas sebagai pengantar makanan yang dipesan oleh pembeli yang jaraknya cukup jauh. Zaki yang kini sudah kelas tiga SMP itu memang tidak pandai bersepeda motor dan bahkan tidak pandai pula menaiki sepeda dan cara satu-satunya yang dilakukan oleh Zaki adalah seperti biasa yakni Zaki lari sekencang mungkin untuk mengantarkan pesanan makanan kepada pelanggan dan pekerjaan seperti ini terus ia lakukan. Belum lagi ke sekolah Zaki juga terus berlari. Meskipun Pak Sofyan sering menawarkan agar Zaki diantar ke sekolah bersama Hardi namun Zaki sering menolak dan Zaki Sadar betul bahwa Hardi tidak suka padanya sampai saat ini.

Hari demi hari kian berganti dan tak terasa sudah setahun Zaki dan keluarganya tinggal bersama keluarga Pak Sofyan walaupun hari-hari yang dilaluinya tidaklah mudah akibat perlakukan Hardi yang terkadang cukup keterlaluan. Hardi kerap menghardik Zaki dan Zaki sering disuruh oleh Hardi untuk melakukan sesuatu yang tidak pada sepatutnya.

Memang apa yang dilakukan Hardi terhadap Zaki begitu menjengkelkan buat Zaki namun Zaki cukup tahu diri sebagai seorang anak pembantu yang menumpang tinggal di rumah Hardi.

Kadang-kadang ketika hati Zaki sedih akibat perlakukan Hardi padanya Zaki selalu melihat
lukisan rumah sederhana yang bertuliskan ‘ ISTANA UNTUK IBU

Alangkah indahnya jika ia, Zahro dan ibunya bisa punya rumah sendiri, pikir Zaki dalam benaknya namun apapun perlakukan Hardi haruslah Zaki terima yang penting keluarganya punya tempat bernaung. begitulah sebagain besar perasaan Zaki dalam benaknya.

Waktu terus berlalu dan Zaki pun juga terus berlari hingga sang waktu mampu membentuk bakat lari Zaki semakin terasah dan karena bakatnya itu Zaki sering memenangkan lomba lari maraton yang ia ikuti mulai tingkat sekolah bahkan tingkat Kabupaten.

Zaki mulai menabung sedikit demi sedikit untuk mewujudkan sebuah istana sederhana, rumah kebahagian buat sang ibunda tercinta seperti dalam lukisannya itu walau kini semua masih hanya sebatas impian.

Nama Zaki Ardiansyah, siswa kelas dua SMA mulai dikenal dalam dunia olahraga cabang lari maraton meskipun itu masih setingkat kabupaten, namun lambat laun karirnya mulai terlihat perkembangannya hingga ke tingkat Provinsi.

Pada suatu ketika Zaki terpilih menjadi salah satu atlit binaan di Pelatihan bakat di kota Pekanbaru dalam menghadapi Pekan Olahraga Nasional ( PON ) mewakili Provinsi Riau.

Pelatihan ini selama enam bulan. Zaki mengikuti semua program dan berbagai sesi pelatihan. Zaki tinggal di karantina di Kota Pekanbaru.

Tentu selama di asrama Zaki berlatih sungguh-sungguh. Bila ia letih maka Zaki melihat lukisan rumah sederhana yang menjadi impian keluarganya itu.

Kerinduan Zaki pada ibu dan adiknya terkadang cukup mendalam namun Zaki selalu punya harapan untuk membahagiakan keluarganya.

Di sisi lain Rodiah dan Zahro sudah tidak tinggal bersama keluarga Pak Sofyan lagi sebab perlakukan Hardi yang tak henti-hentinya menghina Zahro bahkan Hardi juga berani menghina Rodiah yang juga ibunya Zaki.

Apa yang terjadi pada keluarga Zaki tak pernah Rodiah sampaikan pada Zaki yang kini berada di karantina pelatihan Atletik nun jauh di sana.

Hingga akhirnya Zaki Ardiansyah berhasil memperoleh mendali emas dalam cabang lari maraton putra yang mengharumkan nama provinsi Riau pada perhelatan perlombaan olahraga nasional itu.

Pada puncaknya Zaki Ardiansyah di kenal sebagai atlet profesional cabang lari maraton putra yang juga turut membanggakan nama bangsa pada ajar Sea Games dan Asian Games serta yang tak terlupakan saat Zaki Ardiansyah turut menyumbang mendali emas buat bangsa dan negara di kancah olimpiade.

Saat Zaki ditanya oleh Wartawan apa yang menjadi motivasi kesuksesannya maka Zaki menunjukkan sebuah lukisan rumah sederhana yang bertuliskan ‘ ISTANA UNTUK IBU’ dan orang-orang itu tercengang melihat itu sebab Zaki sendiri tak pernah bermimpi menjadi seorang atlet pelari bahkan cita-citanya dulu ingin jadi seorang pilot namun takdir telah menuliskan jalan hidup yang harus ia lewati.

‘Usaha tak pernah mengkhianati hasil’ mungkin sebait ungkapan ini yang pantas menggambarkan perjuangan seorang Zaki Ardiansyah. Bangkit dari keterpurukan hidup hingga meraih kesuksesan.

Kini istana dalam lukisan itupun sudah terwujud dalam bentuk nyata. Rodiah yang memang sudah menua kini bernaung dalam sebuah rumah mewah hasil dari peluh dan keringat Zaki anaknya serta duka dan juga air mata dari kelamnya sebuah kemiskinan di masa lalu.

Selain itu pula kini keluarga Zaki punya usaha konveksi dan sebagian dari pendapat keluarga mereka sumbangkan untuk membangun panti jompo dan juga panti asuhan agar tak ada lagi orang yang merasakan bagaimana pedihnya tidak punya tempat tinggal.

Sementara itu hidup memang berputar. Keluarga Pak Sofyan juga bangkrut dan akhirnya Hardi menjadi seorang karyawan di perusahaan konveksi milik keluarga Zaki.

Sedangkan Zahro sekarang tumbuh menjadi perempuan cantik dan Zahro lah yang kini mengendalikan perusahan tekstil dan konveksi milik keluarga mereka.

Suatu ketika Zaki Ardiansyah berdiri menatap lukisan rumah sederhana yang bertuliskan ‘ ISTANA UNTUK IBU’ yang sengaja ia pajang di dinding rumahnya itu untuk mengenang proses dan pedih serta getirnya perjuangan hidup keluarganya. sebab besok Zaki harus terbang ke Swedia untuk mengikut kejuaraan dunia lomba lari maraton dan seperti biasa sebelum berangkat Zaki sholat dua rakaat dulu dan langsung mencium kaki ibunya yang kini hanya duduk di kursi roda sebagai bentuk memohon doa restu dari sang ibu.

“Ibu! doakan Zaki untuk pertandingan lusa di Swedia,” ujar Zaki pada ibunya.

Rodiah pun tersenyum riang melihat anaknya dengan penuh rasa kebanggan karena berjuang untuk mengharumkan nama bangsa di kancah internasional.

——————– T A M A T ———————

#cerita_ini_hanya_fiktif_belaka
#tidak_ada_perjuangan_yang_sia_sia
#pasti_ada_air_di_tengah_padang_pasir

SINKAP.info | Laporan: Fs