Menjaga Sumpah di Pundak Ihsan

KOLOM, Sastra406 Dilihat

SASTRA, Sinkap.infoSuara adzan pada suatu subuh telah menggetarkan sepasang telinga Muhammad Ihsan. Subuh yang pekat dan berembun itu dibalut dingin yang merasuk tulang.

Ihsan sudah terbiasa bangun subuh. Ihsan sering bangkit dan menghapus mimpi indahnya pada setiap subuh yang ia lewati. Ihsan beranjak dari ranjang tuanya dan segera berwudhu demi sebuah kewajibannya pada Sang Pencipta, Ihsan bergegas melaksanakan sholat subuh di sela-sela keheningan waktu itu.

Sebagai seorang pemuda, semangat Ihsan selalu membara. Meskipun Ihsan hanya pemuda dari keluarga sederhana dan seorang yatim, tapi ia adalah pemuda yang baik. Ihsan tinggal bersama Ibu dan seorang adik perempuannya yang masih sekolah di bangku SMA. Keterbatasan biaya pada keluarga Ihsan membuat pendidikannya hanya sampai SMA saja. Ihsan lulus SMA delapan tahun lalu dan kini usianya dua puluh enam Tahun.

Ternyata subuh mulai bergeser ke waktu pagi. Matahari kian tampak dan semakin jelas wujudnya. Sementara Ihsan sudah siap dengan pakaiannya. Kemeja putih lengan panjang, celana dan peci hitam sudah ia kenakan. Begitu rapinya Ihsan terlihat karena hari ini Ihsan akan dilantik sebagai seorang Pengawas Kelurahan Desa pada Pemilu kali ini.

Pengawas Kelurahan Desa biasa di singkat dengan PKD. PKD merupakan personil Panitia pengawas Pemilu yang bertugas di kelurahan atau Desa.

PKD berkewajiban untuk mengawasi proses dan tahapan penyelenggaraan Pemilu. Wilayah kerjanya berbasis Desa. PKD juga dituntut mampu untuk mencegah dan menindak setiap pelanggaran Pemilu yang terjadi di Desa sesuai kapasitasnya dan salah satunya adalah Ihsan yang dinyatakan lulus seleksi serta hari ini ia dilantik untuk diambil sumpah dan janjinya.

Ihsan tampak begitu bersemangat untuk menghadiri acara yang sakral ini. Ia terus mengayuh sepeda tua peninggalan almarhum ayahnya itu.

Cukup jauh juga jarak dari Desanya ke tempat pelantikan di ibukota Kecamatan hingga keringatnya deras mengucur, bajunya basah karena peluh dan bahkan tampak jelas kaos kutang yang membayang di balik kemeja putihnya itu.

Prosesi pelantikan pada hari ini berjalan dengan lancar. Semua PKD yang dilantik telah diambil sumpahnya. Pun begitu dengan Ihsan yang kini telah resmi menjadi seorang PKD atau pengawas pemilu untuk sebuah Desa terpencil.

Hari demi hari telah Ihsan lalui. Ihsan mulai melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya sebagai pengawas pemilu di Desa itu. Ihsan setiap hari menyusun laporan hasil pengawasan sebagai bukti aktivitas pengawasan yang sudah ia lakukan.

Dalam menyongsong pesta demokrasi lima tahunan ini, Para calon legislatif terlihat sibuk untuk menarik simpati masyarakat. Spanduk, baliho serta alat peraga kampanye lainnya tampak terpajang dan terpampang di berbagai tempat layaknya menyambut sebuah pesta yang meriah.

Kegiatan demi kegiatan banyak dilakukan oleh para calon dan tim pendukung untuk meraih hati masyarakat tak terkecuali juga seorang juragan tanah yang kaya raya bernama Kasdar.

Kasdar ialah orang terkaya di Desa di mana Ihsan tinggal. Pria lima puluh tahunan itu merupakan calon legislatif dari salah satu partai politik. Kasdar juga seorang rentenir. Kasdar berharap masyarakat akan memilihnya pada pemilu kali ini karena banyaknya masyarakat yang tersangkut hutang padanya.

Sementara itu aktivitas Ihsan mulai sibuk. Ihsan melakukan kegiatan pengawasan siang dan malam. Memang begitulah seharusnya seorang pengawas pemilu yang dituntut mampu bekerja dengan penuh waktu.

Pada awalnya semua berjalan normal-normal saja. Namun pada tahap mendekati ujung-ujung masa kampanye, tim pendukung Kasdar mulai semakin arogan. Terdengar isu bahwa banyaknya intimidasi yang dilakukan oleh tim pendukung Kasdar pada masyarakat berupa pemaksaan untuk memilih Kasdar yang berdalih hutang.

Tentunya sebagai pengawas Ihsan tak tinggal diam. Ihsan mulai menelusuri kebenaran isu yang berkembang ini. Ihsan berniat ingin mencari bukti-bukti. Ihsan mendatangi warga dan bertanya.

“Maaf pak Dullah, apa benar kemarin bapak didatangi oleh tim pendukungnya pak Kasdar?” tanya Ihsan pada salah satu warga bernama Dullah.

“Ya!” jawab Dullah dengan singkat.

“Apa mereka melakukan ancaman atau pemaksaan untuk memilih Pak Kasdar pada pemilu nanti?” tanya Ihsan kembali.

“Tidak! mereka datang baik-baik, kami berbicara di rumah ini dan setelah itu mereka pulang, itu saja,” ujar Dullah

“Maaf pak! di bawah kelopak mata kiri bapak terlihat lebam, apa itu ulah mereka?” Ihsan bertanya lagi dengan dorongan rasa ingin tahunya.

“Mataku ini akibat aku terjatuh kemarin, tidak terjadi apa-apa saat orang-orang Pak Kasdar datang kemari.” Dullah menegaskan argumennya.

Sedangkan isteri Dullah tengah berdiri di balik pintu rumahnya itu. Ia mendengarkan pembicaraan Ihsan dan suaminya. Kedua bola mata isteri Dullah telah bergenang air mata. Bibirnya terlihat bergerak-gerak kecil seperti mau mengutarakan sesuatu.

Isteri Dullah mungkin ingin bercerita tentang apa yang sebenarnya terjadi pada malam itu. Ihsan melirik perempuan berkebaya lusuh tersebut. Sesekali tampak Dullah melotot pada istrinya seakan memberi sebuah isyarat agar isterinya jangan berkata apa-apa.

Dalam benak isteri Dullah terbayang akan kejadian malam itu. Ia melihat sendiri bagaimana suaminya dipukul oleh empat laki-laki yang merupakan orang-orang Kasdar karena Dullah dianggap berhianat.

Istri Dullah ingin sekali mengungkapkan fakta itu pada Ihsan, tapi ia takut karena sang suami melarangnya bercerita dan mungkin itulah yang mengundang kesedihan hati Istri Dullah saat ini.

Ihsan sebenarnya maklum dengan situasi ini, namun Ihsan terus mencoba mencari keterangan pasti dari Dullah.

“Maaf Pak Dullah, Bapak jangan takut, saya ini pengawas pemilu, berceritalah yang sebenarnya! Bapak akan dilindungi oleh hukum,” papar Ihsan

“Saya sudah ceritakan semuanya, sekarang, kau ini maunya apa sih?” Dullah mulai tersulut emosi

“Pergi kau dari rumah ku sekarang juga!” Dullah mengusir Ihsan.

“Pergi …!” lanjut Dullah dengan membentak.

Ihsan tak bisa berbuat apa-apa lagi, Ihsan hanya pergi perlahan dan beranjak meninggalkan rumah Dullah. Ihsan pergi tanpa ada bukti yang ia kantongi.

Ada beberapa warga yang Ihsan wawancarai namun respon mereka hampir mirip dengan Dullah bahkan ada warga yang tak ingin menjawab pertanyaan Ihsan. Mereka takut pada Kasdar dan orang-orangnya yang kerap berbuat kasar pada warga di Desa itu. Walaupun isu terus berkembang namun orang-orang terkesan tertutup untuk mengungkapkan itu.

Berita pergerakan Ihsan ini mulai tercium oleh Kasdar. Kasdar merasa terganggu akan tindakan Ihsan ini. Kasdar dan orang-orangnya mulai mencari strategi untuk membungkam Ihsan.

MENARIK DIBACA:  Sejuta Rindu Buat Ayah

Pada suatu malam, Kasdar mengutus beberapa orang untuk datang ke rumah Ihsan. Kedatangan orang-orang Kasdar itu bertujuan ingin bernegosiasi dengan Ihsan.

Orang-orang Kasdar menawarkan sejumlah uang yang tak sedikit buat Ihsan agar tutup mulut dan kalau bisa Ihsan berhenti saja menjadi seorang PKD. Namun Ihsan tetap konsisten pada sumpah janjinya saat dilantik makanya Ihsan menolak tawaran orang-orang Kasdar itu meskipun sebenarnya Ihsan memang butuh uang untuk mengobati ibunya yang sedang sakit dan biaya sekolah adiknya.

Sikap Ihsan ini membuat Kasdar geram. Semenjak itu Ihsan mulai mendapat teror-teror dari orang yang tak dikenal. Terkadang Ihsan menerima pesan singkat melalui ponselnya yang bernada ancaman dan tentu tiada yang tahu pasti siapa pengirim pesan singkat itu.

Pada suatu ketika, Ihsan pulang dari kantor Panwas Kecamatan. Seperti biasa, Ihsan mengayuh sepeda bututnya karena memang Ihsan tak punya sepeda motor.

Saat melewati sebuah jalan yang sunyi menuju pulang, tiba-tiba Ihsan dihadang oleh tiga orang penunggang sepeda motor. Ketiganya tak dapat dikenali karena mereka mengetakan topeng ala ninja.

Tanpa bicara ketiga pria bertopeng itu langsung memukuli Ihsan. Ihsan tak mengerti apa sebab dan pasalnya. Ihsan tak sempat bertanya. Pria-pria berpakaian hitam dan bertopeng itu merusak sepeda Ihsan dan setelah puas menzolimi Ihsan mereka pun pergi begitu saja. Setelah itu tampak Ihsan pulang dan meringis kesakitan, ia berjalan terpincang-pincang sembari membawa sepedanya yang rusak itu.

Sesampainya di rumah, Sarifah sebagai ibu begitu terkejut setelah melihat wajah anaknya yang memar itu.

“San! kau ini kenapa nak?” tanya Sarifah dengan cemas.

“Aku dihadang dan dipukuli orang-orang bertopeng, Bu,” jawab Ihsan sambil meringis

“Tapi siapa mereka? apa salahmu?” tanya Sarifah lagi

“Aku juga tidak tahu, Bu,” ujar Ihsan

“Mereka pasti orang-orang suruhan pak Kasdar.” Tiba-tiba Asmah sang adik Ihsan menyambut ucapan Ihsan itu.

“Jangan menduga-duga, Asmah!” ucap Ihsan pada Asmah adiknya.

“Lalu siapa lagi bang? hanya Pak Kasdar yang akhir-akhir ini tak suka kalau Abang menjadi PKD bukan?” Asmah mencoba berpendapat.

Tak lama berselang, terdengar suara lembut seorang wanita muda mengucap salam dari teras rumah mereka. Asmah membuka pintu ternyata ada Nazwa yang berdiri di depan pintu itu.

Wajah Asmah sontak berkerut setelah melihat kedatangan Nazwa.

“Untuk apa kau kemari?” tanya Asmah dengan ketus kepada Nazwa

“Aku ingin bertemu Ihsan, apa Ihsan ada?” tanya Nazwa lembut.

Tiba-tiba sang Ibu muncul dari dalam rumah di tengah percakapan Asmah dan Nazwa

“Ada nak Nazwa rupanya, masuklah! Ihsan ada di dalam,” ujar Sarifah

Nazwa langsung masuk ke dalam rumah mengikut langkah Sarifah. Sementara Asmah juga masuk sambil menggerutu untuk menunjukkan rasa tidak sukanya pada Nazwa.

Sebenarnya Asmah tidak membenci Nazwa yang telah berhubungan lama dengan abangnya itu akan tetapi Asmah tidak menyukai Nazwa karena Nazwa adalah putrinya pak Kasdar yang Asmah duga telah membuat abangnya Ihsan celaka saat ini.

“Wajahmu kepada, San?” tanya Nazwa pada Ihsan

“Tanya pada ayahmu sendiri,” ketus Asmah menyambut pertanyaan Nazwa.

“Asmah …! Cukup!” sergah Sarifah pada Asmah hingga Asmah pun terdiam

“Apa hubungannya dengan ayahku?” tanya Nazwa dengan bingung.

“Ahh … tidak, Nazwa! usah kau hiraukan ucapan Asmah itu, aku tidak apa-apa, tadi aku terjatuh di perjalanan,” ucap Ihsan

“Tidak, ceritakan apa yang sebenarnya terjadi padamu, Ihsan!” pinta Nazwa pada Ihsan

Kemudian Ihsan menceritakan bahwa ia tadi dicegat oleh tiga orang pria bertopeng ala ninja yang tidak ia kenal. Mereka memukuli Ihsan dan merusak sepedanya.

“Asmah benar, ini pasti ayah yang melakukan ini padamu Ihsan!” ujar Nazwa.

“Baiklah! Aku pamit dulu, Bu” pungkas Nazwa sambil menyalami Sarifah. Perempuan cantik, putih dan berkerudung itu beranjak pulang. Ia terlihat tergesa-gesa karena Nazwa berniat ingin menemui ayahnya untuk menanyakan hal ini.

Nazwa sampai di rumahnya dan ia bertemu dengan Kasdar, sang ayah

“Ayah! Aku ingin bertanya ayah, apakah orang-orang suruhan ayah yang telah mencelakai Ihsan? tanya Nazwa pada ayahnya

“Ya! Aku tak suka dengan pemuda itu yang selalu mencampuri urusan Ayah,” jawab Kasdar pada anaknya itu.

“Ayah jahat, aku akan bilang kepada semua orang bahwa ayahlah yang telah mencelakai Ihsan,” ujar Nazwa besama tangis kekecewaanya pada sang ayah.

“Sekali kau lakukan itu, maka kau akan menyesal seumur hidupmu, Nazwa!” ancam Kasdar pada Nazwa.

“Sekarang masuk ke kamarmu dan jangan lagi berhubungan dengan pemuda yang tak tahu di untung itu, pergi …!” ucap Kasdar seraya membentak Nazwa.

Nazwa pun langsung pergi dari hadapan ayahnya dengan sejuta rasa kecewa. Sementara begitu besar rasa cintanya pada Ihsan sungguh tak bisa ia lupakan. Kini Nazwa dilema di sela pertarungan antara Ihsan sang kekasih atau ayahnya. Entah siapa yang hendak Nazwa bela karena keduanya adalah orang-orang yang ia sayangi.

Kegiatan kampanye para calon legislatif semakin jelas terlihat dan Ihsan tetap menjalankan tugasnya sebagai seorang Pengawas Pemilu.

Masyarakat Desa sepertinya terpecah-pecah akibat soal dukung mendukung calon. Warga saling sindir, tim pendukung melakukan Kampanye hitam, mereka gontok-gontokan. Itulah yang terjadi di Desa itu saat ini.

Ihsan melakukan koordinasi dengan Panwas Kecamatan terhadap situasi ini. Panwas Kecamatan merespon yang terjadi dengan meningkatkan intensitas pengawasan,membuat laporan berkala dan juga dengan melakukan program pengawasan partisipatif.

Di Desanya, Ihsan mulai melakukan pengawasan partisipatif itu dengan memberikan pendidikan pemilu kepada masyarakat Desa serta mengajak masyarakat untuk turut serta dalam pengawasan tahapan penyelenggaraan pemilu di Desa tersebut.

Ihsan juga mengkampanyekan pemilu damai dan juga tentang arti pentingnya sebuah pemilu untuk perbaikan kehidupan masyarakat di masa depan dengan memilih wakil rakyat yang kompeten dan bukan karena uang semata.

Apa yang dilakukan oleh Ihsan ini rupanya membuat Kasdar bertambah gerah. Kasdar selalu berpikir bagaimana cara menghentikan kegiatan Ihsan itu bahkan kalau bisa sekalian saja Ihsan juga secepatnya disingkirkan.

Keluarga Ihsan mulai mendapat tekanan. Teror-teror kini di terima oleh sang ibu dan adik Ihsan. Sarifah mengalami ancaman dari orang-orang yang tak dikenal setelah ia pulang dari pasar. sedangkan Asmah juga mendapat ancaman ketika di jalan selepas pulang sekolah dan pada malam harinya jendela rumah mereka dilempar pakai batu, tak ada yang tahu pasti siapa yang melakukan semua itu tapi kini Ibu dan sang adik Ihsan dicekam rasa ketakutan.

MENARIK DIBACA:  Cinta Ibu Tak Bersuara

Suatu saat Nazwa bertemu dengan Ihsan. Mereka saling melepas rindu. di ujung senja mereka berdua bercerita.

“Ihsan! Aku ingin bertanya satu hal padamu,” cetus Nazwa.

“Apakah kau membenci ayahku?” tanya Nazwa melanjutkan kata-katanya.

Ihsan menggeleng untuk menjawab pertanyaan Nazwa itu.

“Aku tak pernah membenci Ayahmu, tak pernah sama sekali,” tegas Ihsan

“Lalu, mengapa kau terus mencari bukti kesalahannya dalam pemilihan kali ini?” tanya Nazwa kembali.

“Sebagai pengawas pemilu aku harus bertanggungjawab pada tugasku,” ujar Ihsan.

“Kau tahu Nazwa! pada saat aku dilantik, aku mengucapkan sumpah dengan kata ‘Demi Allah’, hatiku bergetar, dadaku berguncang, di pundakku ada sumpah yang harus kujaga, sumpah pada Tuhan itulah yang mengikatku, mana mungkin aku berkhianat pada Tuhan,” papar Ihsan menjelaskan.

“Nazwa, ketahuilah! aku sangat mencintaimu dengan sepenuh hatiku dan itu adalah alasan yang kuat agar kau yakin bahwa aku tak mungkin membenci Ayahmu dan yang aku lakukan itu hanya menjalankan tugas dan kewajibanku, itu saja,” ucap Ihsan dengan tegas.

“Baiklah Nazwa, pulanglah! nanti ayah dan ibumu mencarimu,”

Kemudian Nazwa beranjak dari sisi Ihsan dan berpamitan pada Ihsan lalu Nazwa pun berlalu. sedangkan Ihsan masih di situ menikmati suasana senja dengan hamparan langit yang berselimut awan merah untuk mengantarkan matahari berangkat tenggelam menuju ufuk barat.

Sekarang sudah memasuki masa tenang. Pada tahapan ini tidak ada kampanye namun Kasdar dan pendukungnya tak peduli. Kasdar dan tim mendatangi masyarakat dan mulai menyebarkan uang sogokannya agar memilihnya pada pemilu nanti.

Salah satu peristiwa itu dilihat oleh Ihsan lalu Ihsan mendokumentasikan peristiwa pelanggaran Pemilu itu dalam bentuk foto dan Video dari ponselnya.

Kasdar dan timnya semakin gusar. Kasdar memerintahkan agar anak buahnya mengejar Ihsan dan kalau memungkinkan Kasdar memerintahkan juga agar menghabisi Ihsan sebelum bukti itu Ihsan serahkan kepada pihak Panwas Kecamatan.

Ihsan terus berlari dengan kedua kakinya karena dibelakangnya sudah ada tujuh orang berbadan tegap yang sedang mengejarnya. Cukup jauh jarak yang harus ia tempuh untuk sampai ke ibukota Kecamatan. Ihsan kini hanya bersembunyi di dalam semak belukar di sebuah hutan yang harus dilewatinya untuk menuju Ibukota kecamatan.

Napas Ihsan terengah-engah. ponsel-nya kehabisan baterai, keringatnya semakin bercucuran dengan deras membasahi tubuhnya.

Sementara orang-orang suruhan itu tetap mencari Ihsan ke segala penjuru. Kini nyawa Ihsan sedang terancam. Dalam persembunyian itu Ihsan terus menghidupkan ponsel-nya namun sulit sekali.

Ihsan masih dalam hutan di sebuah desa terpencil itu. Ia di sana hingga malam. orang-orang yang ingin menghabisi Ihsan itu tetap mencarinya tanpa lelah. Tengah malam buta Ihsan mencoba menyelamatkan nyawanya.

Ihsan berjalan dengan mengendap-endap dan tak terasa sudah hampir keluar dari hutan mulai dari tengah malam hingga subuh.

Tak lama setelah keluar dari hutan, Ihsan menemukan sebuah mushola tua. Musholla itu begitu sepi namun colokan listrik yang tersedia di situ. Ihsan langsung mengisi baterai ponsel-nya. Ihsan langsung menelpon Nazwa dan ia bicara dengan nada ketakutan.

“Naz! ada orang yang mau membunuhku …”

Tut …! Tut …! Tut …! ponsel tiba-tiba mati karena listrik padam serta ponsel Ihsan pun gelap dan mati.

Di ujung telpon, Nazwa hanya tercengang mendengar suara gemetar kekasihnya itu dan kecemasannya juga bertambah dengan mengetahui bahwa jiwa Ihsan kini sedang terancam. Telpon itu tiba tiba terputus.

Dalam rasa khawatirnya, Nazwa langsung menghubungi polisi dan menceritakan nestapa yang menimpa Ihsan. Polisi pun bergerak cepat hingga orang-orang suruhan Kasdar dibekuk oleh polisi.

Sedangkan bukti-bukti pelanggaran Kasdar telah Ihsan serahkan dan akhirnya di proses. Kasdar pun ikut di tangkap polisi atas percobaan pembunuhan terhadap Ihsan dan Kasdar juga terbukti melakukan intimidasi serta money politik sehingga membuat hukumannya bertambah berat. Sekarang Kasdar mendekap di jeruji besi untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Sementara itu ,Ihsan terus melakukan pengawasan partisipatif. Usaha keras Ihsan mulai menampakkan hasil. Masyarakat percaya bahwa pemilu adalah sebuah momen harapan atas sebuah perubahan.

Sebagian besar masyarakat di Desa itu hampir tak mau menerima uang dari para Caleg bahkan ada masyarakat yang menulis di pintu rumahnya dengan tulisan ‘TIDAK MENERIMA SERANGAN PAJAR’

Pemilu pun dilaksanakan. Masyarakat memberikan hak suaranya. Pemilu kali ini terasa lebih demokratis. Masyarakat tidak mau menjadi sasaran money politik. Warga mengerti bahwa pemilu adalah sebuah peristiwa yang penuh harapan.

Setelah pemilu, Ihsan menemui Nazwa. Mereka berdua kembali bercerita.

“Nazwa! Aku minta maaf atas semua yang terjadi” ujar Ihsan

“Tidak San! kau sudah melakukan hal yang benar, di penjara, semoga ayah mendapatkan hikmah dari semua peristiwa ini.” Air mata Nazwa mulai mengalir.

Ihsan hanya menatap perempuan yang ia cintai itu menangis mengenang ayahnya. lalu Ihsan berkata.

“Sekarang semua sudah terjadi, aku hanya menanti keputusanmu tentang hubungan kita,” ucap Ihsan meminta kepastian dari Nazwa.

“San! mungkin kau tahu betapa aku mencintaimu tapi aku mohon maaf, aku ingin kita putus saja.” Nazwa mengucapkan itu dengan tegas.

Ihsan terdiam dan terpaku mendengar kata-kata Nazwa itu. Batin Ihsan kini sedang menangis.

“Maafkan aku Ihsan! aku tidak bisa menjalin hubungan dengan orang yang telah memenjarakan Ayahku.” Suara Nazwa gemetar dan air matanya terus mengucur.

“Baiklah Nazwa aku terima semua keputusanmu,” pungkas Ihsan.

Perpisahan ini sungguh menyakitkan buat mereka berdua. Pasangan yang saling cinta itu menganggap bahwa mereka tak lagi bisa bersama.

Sementara Nazwa dan ibunya memutuskan pindah dari desa kecil itu karena tak kuasa menahan malu. Keluarga Nazwa pindah ke pulau Jawa dan mungkin Nazwa tak dapat lagi bertemu dengan Ihsan yang ia cintai itu.

Sedangkan Ihsan tetap tinggal di desa kecil itu dengan duka rindunya yang dalam pada Nazwa. Di sisi lain hati Ihsan selalu berharap agar pemilu menjadi pelangi yang indah dan menjadi sebuah mimpi serta harapan di tengah-tengah perbedaan.

#cerita_ini_hanya_fiktif_belaka
#ingin_nulis_sesuatu_yang_beda
#tulisan_ini_dibuat_atas_apresiasi_yang_tinggi_untuk_PKD_sebagai_ujung_tombak_pengawasan_pemilu
#semangat_terus_untuk_PKD
#SUMPAH_HARUS_DIJAGA

Komentar