SASTRA, Sinkap.info – Dialah Abdul Hamid. Seorang pria berusia empat puluh lima tahun. Hamid ini pria yang polos, pendiam dan tak banyak bicara.
Hamid tinggal di sebuah Kecamatan yang mayoritas pekerjaan penduduknya adalah nelayan. Kecamatan ini berada di tepian pesisir. Hamid menetap di sini bersama istri dan kedua putranya.
Sebenarnya Hamid memiliki tiga orang putra. Namun empat tahun lalu putra sulungnya telah meninggal dunia akibat sakit infeksi peradangan usus yang dideritanya. Kala itu sang putra masih berumur lima belas tahun.
Kini Hamid hanya memiliki dua orang putra. Yaitu Zaid dan Zuhri. Zaid yang duduk di bangku kelas satu SMP sedangkan Zuhri masih kelas empat SD. Hamid sangat menyayangi mereka.
Meskipun Hamid tinggal di masyarakat nelayan, tapi profesi Hamid bukanlah nelayan. Hamid memilih menjadi seorang tukang becak dayung karena memang hanya becak tua itulah yang ia punya.
Di tempat itu tak jamannya lagi becak dayung. Adapun becak-becak yang beroperasi sudah menggunakan sepeda bermotor. Tetapi bagi Hamid ia tetap mencari nafkah dengan becak dayung yang tua itu. Bagaimana lagi untuk membuat becak motor modalnya juga tak sedikit.
Dengan mengandalkan becak sebagai satu-satunya usaha, tentulah kehidupan Hamid sangat kekurangan. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja Hamid mesti gali lobang tutup lobang.
Walaupun begitu adanya kehidupan Hamid, tapi dalam diri Hamid terdapat satu hal yang cukup menarik. Pria ini suka melakukan sesuatu yang menurutnya baik dan bermanfaat bagi orang lain meski ia tak mendapatkan keuntungan materi dari semua itu. Intinya pria yang satu ini sangat suka menolong orang lain.
Bahkan pernah suatu ketika, Hamid terpaksa berhutang hanya untuk menolong temannya yang sedang sakit dan setelah itu hamid yang akhirnya membayar dan melunasi hutang-hutang tadi.
Hamid tak jarang berbagi apapun yang ia punya walaupun hidupnya masih pas-pasan. Terkadang melihat Hamid begitu, Zuraidah yang juga istri Hamid sering jengkel dengan perilaku Hamid ini.
“Selalu saja begitu, begitu saja terus” omel Zuraidah pada Hamid, suaminya
“Ada apa? kenapa kau marah-marah?” tanya Hamid
Lalu Zuraidah menatap tajam sang suami sembari berkata
“Kau tahu,” tadi Si Asiang datang kemari mau menagih hutang padamu”
“Katanya kau pinjam uang lima ratus ribu untuk biaya perobatan Si Udin”
“Baru lunas cicilan hutang kemarin, tujuh ratus ribu, yang kau pinjam untuk bantu biaya persalinan istri Si Wahab, besok entah siapa lagi yang kau bantu, kini kau menambah hutang lagi, pusing aku kau buat, yah..!” papar istrinya dengan kesal.
“Aku tak marah kalau kau ikut membantu kesusahan orang lain, tapi kita ini juga sangat kekurangan” kata Zuraidah melanjutkan omelannya.
“Bukankah menolong orang itu perbuatan baik?” tanya Hamid
“Iya..! iya…!
“Tapi yang kau lakukan ini namanya memaksakan diri” pungkas Zuraidah bernada tinggi sambil pergi ke dapur membawa setumpuk piring kotor yang hendak dicuci.
Hari demi hari telah berlalu sedangkan Hamid terus saja menjalani profesinya sebagai tukang becak dayung. Hari ini penghasilan Hamid bisa dikatakan lumayan.
Dari pagi sampai sore banyak beban bawaan yang diangkutnya dari gudang ikan Asiang, bahkan berkarung-karung ikan itu ia bawa ke gudang pendinginan dan itu dilakukannya berulang-ulang.
Zuraidah menyaksikan itu sebab Zuraidah juga berada di situ dan bekerja sebagai pembelah ikan di gudang Asiang untuk membuat ikan asin. Memang ini pekerjaan Zuraidah untuk membantu perekonomian keluarga. Kalau mengharapkan hasil dari suaminya saja, mana mungkin cukup.
Penghasilan yang diperoleh Hamid hari ini, sebagiannya dipotong oleh Asiang untuk menutupi hutang dan selebihnya baru menjadi upah yang diterima Hamid.
Sesampainya di rumah, Hamid membawa tiga buah sajadah baru dan beberapa mereter kain hijau yang lebar sepertinya tirai sholat. Semuanya akan ia sumbangkan ke musholla dekat rumahnya. Tak cuma itu Hamid juga membawa beberapa bungkus nasi untuk ia sedekahkan kepada beberapa anak yatim di ujung simpang.
Melihat itu, terkadang timbul juga kekaguman Zuraidah pada Hamid, soalnya kepedulian sang suami nampak begitu kental terhadap agamanya.
Di sisi lain Hamid juga membelikan Zuhri, Anak bungsunya itu sebuah mainan dan juga sebuah buku bergambar tentang azab Neraka. Pada awalnya Zuhri tak ingin membaca buku itu karena gambarnya menakutkan, tapi kata ayahnya buku itu hanya contoh. Yang pasti orang jahat akan masuk kedalam neraka itu. Akhirnya Zuhri mengerti dan kemudian membolak- balik buku itu.
Sementara uang belanja yang Hamid setor kepada istrinya hari ini adalah sisa dari semua perbelanjaannya tadi. Jumlahnya hanya sebesar dua puluh tujuh rupiah. Istrinya hanya menerima saja tanpa berkata banyak sambil tersenyum kecil seperti sedikit terpaksa.
Keesokan harinya, rezeki Hamid juga lumayan. Kali ini Hamid mendapat pesanan membawa karung-karung garam berukuran besar untuk gudang pengasinan ikan.
Sepulang dari pekerjaan itu, tampak Hamid membeli lima karung batu kerikil serta satu sak semen dengan uangnya sendiri. Hamid berkeinginan untuk menimbun jalan-jalan yang berlobang di pinggir jalan. Semua ini ia lakukan sendiri tanpa ada yang membantunya.
Yang dilakukan Hamid ini disaksikan oleh Zaid putranya sepulang sekolah dan ia terus memperhatikan apa yang dikerjakan oleh ayahnya itu. kemudian Zaid mengadukan yang ia lihat tadi kepada ibunya.
Sekali lagi telinga Hamid penuh dengan Omelan istrinya. Gubuk berdinding anyaman bambu yang menjadi rumah tinggal mereka adalah saksi bisu betapa geramnya Zuraidah kepada suaminya.
Bagaimana tidak, uang yang di bawa Hamid pulang untuk keluarganya hanya sebesar dua belas ribu perak saja.
“Yah, aku semakin bingung melihat tingkahmu” ucap istrinya
Hamid mengerutkan keningnya setelah mendengar ucapan sang istri.
“Jika tadi kau tidak membeli batu kerikil dan semen mungkin sisa dari uangmu bisa kita tabung untuk keperluan sekolah mereka” sambil menunjuk kedua putra mereka yang sedang melihat pertengkaran ayah dan ibunya.
“Aku kasihan, lobang di jalan itu cukup besar dan orang-orang sering celaka di situ” ucap Hamid menjelaskan.
“Itu bukan tanggung jawabmu yah!”
“Lagi pula ada Pemerintah yang mengurusi itu, kenapa harus ayah yang sibuk” jawab istrinya dengan ketus.
“Aku tak tega membiarkannya”
“Jika terus-terusan berlobang, bagaimana kalau ada orang yang celaka di situ?”
“Bagaimana perasaan keluarga mereka?” kata Hamid kepada istrinya.
Zuraidah hanya menggeleng melihat sifat keras kepala suaminya itu.
Sebenarnya Zuraidah tak heran dengan perangai suaminya itu. Memang begitulah Hamid sedari dulu bahkan jauh sebelum Hamid mengenal Zuraidah.
Penikahan mereka adalah hasil dari perjodohan kedua orangtua. Namun kini perlakuan Hamid terasa berpengaruh sekali bagi perekonomian keluarga. Jika dulu Zuraidah dapat memakluminya tapi kini kondisi semakin sulit karena harga-harga terus meroket sementara penghasilan selalu pas-pasan.
Sementara pada satu hari, terlihat jalanan ramai, orang-orang padat dan menyumbat jalan, khususnya ruas jalan di depan Kantor Kelurahan. Terdengar suara orang-orang riuh gemuruh. Sesekali terdengar pula suara orasi dari toa yang lantang berseru.
“Kami minta secepatnya masalah sampah diselesaikan” seruan itu terdengar dengan pengeras suara dari kerumunan.
Beberapa orang membawa spanduk bertuliskan # KAMI INGIN SEHAT, JANGAN RUSAK PARU-PARU KAMI DENGAN BAU SAMPAH # tulisan itu terpampang dan jelas untuk dibaca.
Ternyata para mahasiswa yang baru kembali dari kota bersama tokoh pemuda dan beberapa orang masyarakat sedang berunjuk rasa di depan gedung Kantor Kelurahan. Mereka menginginkan agar sampah-sampah yang bertumpuk di Pasar Tradisional dapat dibuang jauh dari pemukiman penduduk.
Dalam hal ini, terlihat seorang perwakilan aparat kelurahan sedang memberi penjelasan bahwa semua ini masih dalam proses.
Pihak Kelurahan sudah mulai mencari lokasi pembuangan akhir sampah yang luas, jauh dari pemukiman warga. Namun ini masih usulan, mengingat minimnya anggaran keuangan yang dimiliki Kelurahan sedangkan proses administrasinya masih banyak yang harus dilengkapi serta aspek-aspek lain yang butuh peninjauan.
Sebelum unjuk rasa berakhir, peserta aksi dan Pihak Kelurahan membicarakan hal ini di dalam Kantor Kelurahan.
Dari luar yang terdengar suara suara ricuh yang ada hanya perdebatan-perdebatan saja. Pertengkaran itu nyata didengar telinga. Hamid mencoba melihat kejadian itu namun ia tak mengerti apa hasil dari kesepakatan unjuk rasa tadi.
Sudah seminggu berlalu usai aksi unjuk rasa yang dipelopori mahasiswa. Namun tak jelas apa hasilnya dan apa pula ujung ceritanya. Kisah tentang sampah tak terungkap lagi walaupun baunya masih menguap.
Sementara orang-orang mulai resah bau sampah yang tercium di hidung oleh masyarakat yang ada di dekat pasar. Sedangkan yang keluar dari mulut masyarakat itu cuma keluhan dan umpatan-umpatan saja.
Dalam pikiran Hamid, permasalahan tidak akan selesai hanya dengan cara bertengkar, mengeluh dan mengumpat. Oleh karena itu Hamid terpikir untuk membuat gerobak sampah.
Hamid mulai mendesign bak sampah dari kayu sisa yang ada di dekat rumahnya dan bak sampah itu dinaikkan ke becaknya dan jadilah becak pengangkut sampah buatan Hamid sendiri.
Tanpa ada yang memerintahkan Hamid. Setiap sorenya, seusai bekerja Hamid menyempatkan diri mengangkut sampah dari pasar tradisional ke tempat yang jauh dari pemukiman warga. Lokasi itu memang ideal.
Hamid menggali lokasi itu dengan sedalam-dalam yang ia sanggup. Hamid juga bekerja sendiri tanpa bantuan orang lain. Kemudian sampah-sampah itu ia masukkan ke dalam lobang besar yang digalinya dan lalu dibakarnya.
Terkadang perbuatan baik tak selamanya dinilai dengan baik. Apa yang dilakukan oleh Hamid memunculkan berbagai pendapat dari orang-orang.
Sebagian masyarakat salut atas tindakan Hamid, sebagian lain mengatakan Hamid itu konyol dan bodoh karena bekerja tanpa digaji dan sebagian lain mengatakan Hamid adalah orang yang sok jadi pahlawan.
Bagi Hamid pendapat orang-orang tentang dirinya tidaklah penting. Ia hanya ingin berbuat baik, sekedar itu yang ingin ia lakukan.
Hamid telah menjadi pengangkut sampah selama sepuluh hari. Ia melaksanakan itu hingga badannya terasa sakit di bahu dan pinggangnya.
Pada hari berikutnya, tumpukan sampah yang ia bawa lumayan banyak sedangkan lokasi yang ditempuh ke tempat pembuangan akhir cukuplah jauh. Becak dayungnya di tengah perjalanan akhirnya rusak. Ban depan becak itu peot namun dengan semangat, Hamid dapat juga menyelesaikan sampah-sampah itu hingga terbakar.
Sekembalinya dari situ, Hamid terus menunggangi becak yang rusak tadi. Tapi tiba-tiba ia hilang keseimbangan dan akhirnya terperosok ke parit di bahu jalan.
Kaki sebelah kanannya terhimpit becak dan juga secara bersamaan terhimpit sebuah batu besar jenis Padas. Batu Padas merupakan sisa dari pembangunan parit yang baru selesai.
Cukup lama Hamid tergeletak di sana karena hari sudah menjelang senja dan situasi tempat itu sepi. Hamid terbaring kesakitan di jalan sampai akhirnya datang seorang pemuda yang kebetulan lewat dan langsung menolongnya.
Akibat kecelakaan itu, kini kaki kanan Hamid telah lumpuh dan tidak bisa bergerak lagi untuk selamanya. Zuraidah selalu merawat suaminya dengan baik di rumah. Walaupun terkadang Zuraidah marah namun sebenarnya ia sangat menyayangi suaminya itu.
Pada suatu ketika salah seorang Anggota DPR Provinsi datang berkunjung ke Kecamatan. Namanya Pak Jonathan dari Partai ‘Kulit Pisang’. Orang hebat itu terpilih pada pemilihan legislatif yang lalu. Tujuan kedatangannya untuk melaksanakan reses di Kecamatan itu.
Pada kesempatan ini Pak Jonathan juga mengunjungi salah satu sekolah SMP Swasta di kecamatan. Ternyata SMP yang dikunjungi adalah SMP tempat Zaid bersekolah.
Sekolah itu memang sebelumnya telah menjalin kerjasama dengan Pak Jonathan. SMP Swasta itu pernah mengirimkan proposal permohonan bantuan untuk membangun ruang kelas baru. Namun sampai sekarang bantuan itu belum juga dikucurkan.
Sekolah mengundang seluruh orangtua siswa agar dapat hadir pada acara yang digelar untuk menyambut kedatangan orang terhormat itu.
Hamid sebagai Ayah Zaid tentu tidak bisa datang lantaran sakit. Maka Zuraidah lah yang hadir sebagai penggantinya.
Dalam acara yang digelar sekolah, ditampilkan pula persembahan dari siswa. Siswa diharapkan akan menyampaikan ucapan terimakasih dari orangtua mereka masing-masing kepada Pak Jonathan.
Kemudian di akhir acara, salah satu siswa akan dipilih Pak Jonathan sebagai pemenang dan diberi hadiah langsung oleh Pak Jonathan.
Pihak sekolah sudah menunjuk tiga orang siswa yang akan bertugas untuk itu. Guru telah mempersiapkan naskah yang akan dibacakan.
Naskah itu berisi pujian, sanjungan dan ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya buat Pak Jonathan. Ini bertujuan agar Pak Jonathan merasa tersanjung.
Salah satu dari tiga siswa yang telah ditunjuk ternyata pulang karena sakit. Guru-guru pun merasa kebingunan. Mau tak mau karena waktu yang mendesak, maka ditunjuklah Zaid sebagai penggantinya.
Siswa pertama yang tampil mendapatkan tepuk tangan yang meriah setelah ia membacakan Naskah yang dipegangnya. Tulisan dalam naskah berupa pemujaan tingkat dewa yang disampaikan kepada Pak Jonathan.
Kemudian pada penampilan siswa yang kedua isinya tetap sama yaitu pujian yang menjulang langit buat Pak Jonathan dan tentunya juga mendapat tepukan tangan yang bergemuruh. Mendengar keduanya beliaupun nampak tersenyum senang.
Sampailah kepada giliran Zaid putra Hamid. Ia bingung bercampur cemas sebab tak ada naskah yang dipegangnya, maka Zaid pun mengatakan apa yang menjadi ucapan hatinya.
Zaid bercerita seperti ini :
“Buat Pak Jonathan, Anggota DPR yang saya hormati. Ayah saya bukanlah Superman, begitulah kata ibu saya. Ayah saya bukan siapa-siapa. Ia bukan orang terhormat, ia tak punya baju bagus dan ia tak punya kantor seperti yang Pak Jonathan punya. ayah saya hanya seorang tukang becak dayung dan sekarang ia hanya pria yang lumpuh di rumah.”
“Katanya, dulu bapak berjanji memperjuangkan kami di sini, Tapi kami tak pernah mendengar apa yang bapak lakukan untuk kami. Sedangkan Ayah saya sudah berbuat banyak untuk menolong orang-orang di sini, Sampai-sampai ibu saya berkata, ‘suamiku, berhentilah menjadi pahlawan.’ Ayah saya tak pernah berjanji apapun tapi ia tetap melakukannya.”
“Ayah saya pernah menolong perobatan Pak Udin yang sakit. membantu uang persalinan ibu Nurmiah istri Pak Wahab, menimbun jalan berlobang dengan uang sendiri dan mengangkut sampah tanpa digaji. Sedangkan Pak Jonathan tidak pernah melakukan itu. Padahal mungkin mereka telah memilih Bapak di Pemilu yang lalu tapi apa yang mereka dapat. Saya juga tak tahu Bapak ngapain saja di sana.”
“Rasanya ayah saya lebih pantas menjadi wakil rakyat, ia lebih layak dari bapak. Tapi mana mungkin, ayah saya kan bukan orang sekolahan, SD saja tidak tamat”
“Sekian, maafkan saya. Ini hanya kejujuran saya.”
Seusai Zaid bercerita begitu, semua orang tercengang. Mulut mereka ternganga-nganga serta tak ada suara tepukan tangan lagi seperti tadi. Hanya Zubaidah yang menatap kejujuran anaknya dengan mata yang berkaca-kaca.
Sementara wajah Pak Jonathan memerah karena menahan marah dan rasa malu. Pak Jonathan beserta rombongan langsung pergi begitu saja tanpa perlu memilih pemenang lomba cerita itu lagi. Pak Jonathan membentak kepala sekolah.
“Apa semua ini, kau ingin membuat aku malu ya?” sergah Pak Jonathan kepada Pak kepala sekolah.
“Saya tidak tahu Pak, ini di luar kendali saya.”
“Maafkan saya, lagi pula dia itu kan masih anak-anak, jadi jangan didengar ucapannya pak!”
Sambil menahan geram Pak Jonathan berujar
“Jangan kau harapkan sepeserpun uang dari aku, tak ada lagi bantuan untuk sekolahmu ini”
Pak kepala sekolah hanya terdiam karena pupus sudah harapnya ingin mendapat bantuan dari Pak Jonathan.
Lalu sang kepala sekolah memanggil Zaid serta memarahinya sehingga Zaid diskors selama dua Minggu tidak boleh masuk sekolah karena dinilai tidak sopan pada tamu sekolah.
Sementara Zuraidah membiarkan saja anaknya dimarahi pihak sekolah sebab ia tahu bahwa anaknya memang salah karena terlalu jujur. Kemudian ia merangkul bahu anaknya dan mereka pulang bersama sama.
#kisah_ini_hanya_fiktif
#nama_tempat_juga_fiktif
#ambil_yang_baik_buang_yang_buruk
Komentar